Posts

Showing posts from May, 2015

Mencintai Perokok

Image
Hei, selamat malam dan selamat hari tanpa tembakau. Berbicara tentang tembakau, saya langsung teringat pada produk hasil olahannya. Rokok.  Saya yakin kita semua akrab dengan benda ini, dan penghisapnya. Tidak perlu jauh-jauh, ia yang menghisap rokok bisa jadi ayah , paman , atau sahabat yang sangat kita sayang. Bagi seorang non perokok, tentu kita bertanya-tanya, apa sih enaknya merokok? Kok bisa sih ada orang yang sudah tahu bahaya merokok tapi tetap memilih merokok? Atau mungkin kita juga sering mencibir, menyalahkan, menganggap seolah perokok itu orang yang sangat bodoh dan tidak berguna. Tidak ada baik-baiknya. Saya khilaf, pernah seperti itu. Begitu benci terhadap perokok, berteriak lantang (meski hanya lewat tulisan) bahwa perokok itu dzalim, pendosa dan sebagainya, namun, setelah menyadari bahwa di rumah Bapak juga sering membawa bungkus rokok, saya jadi merenung, apa iya saya harus membenci bapak hanya karena merokok? Apa iya, saya harus memandang bapak be

Kamu Tidak Sendiri, Setidaknya Kita Akan Jadi Baik Bersama

Image
Dalam hidup selalu ada yang harus diperbaiki. Tidak mungkin tidak, bahkan orang-orang yang kita anggap hebat. Orang-orang yang di mata kita sempurna, semua punya salah, bedanya dengan kita, mungkin mereka segera sadar akan kesalahannya, lalu melakukan proses perubahan sebelum kesalahan itu muncul di permukaan. Kita, mari tanya pada diri. Sebersahabat apa kita pada kelemahan-kelemahan kita, kesalahan kita, sehingga kita merasa tidak tega untuk beranjak meninggalkannya? Ada beberapa hal yang menghalangi seseorang untuk berubah jadi lebih baik. Pertama, seperti yang saya sebutkan di awal, kita merasa nyaman dengan kelemahan kita, menganggapnya seperti sahabat, seperti bayang-bayang yang mustahil untuk ditinggalkan. Yang kedua, kita merasa sendiri. Dan kita merasa lemah saat harus baik sendiri. Mengubah kelemahan jadi hal yang lebih baik tentu tidak semudah mengucapkannya, ketika kita sudah berusaha, tapi lingkungan tidak mendukung, bahkan mereka mampu bersenang-senang

Mengembalikan Privasi ke Laci Pribadi

Image
Kita hidup di era sempit privasi. Di mana hal-hal pribadi menjadi barang mewah yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang teguh. Mereka yang saat ini mungkin dianggap aneh. Nggak up to date, nggak kekinian.  Kehidupan belakangan menggiring manusia untuk lebih terbuka. Bebas berekspresi, sehingga batas pribadi dan umum menjadi kabur.  Ambilah contoh pasangan suami istri. Tidak jarang kita dapati orang yang baru menikah misalnya, atau yang sudah lama juga, menunjukkan kasih sayang mereka melalui sosial media. Semua orang seolah harus tahu aktivitas kasih sayang tersebut. Di mana si suami mengirimkan pesan ke dinding facebook istrinya, beruntung sekali saya dapat istri yang cantik, shalihah, baik, istriku I LOVE UUU muah . Lalu nanti istrinya menjawab dengan jawaban tak kalah mesra, hingga percakapan-percakapan khas suami istri itupun (Yang seharusnya bisa dilakukan secara pribadi, berdua saja) berlanjut di ranah publik. Awalnya saya pikir itu keren, bahkan saya pernah berkeing

Pengalaman Pertama Donor Darah

Image
Postingan ini tidak saya niatkan apa-apa selain untuk, pamer. Muahaha... nggak lah, saya hanya norak saja karena ini pertama kalinya saya donor darah dan saya ingin sharing ke teman-teman yang sudah punya niat untuk donor tapi masih malu-malu meong, atau takyut. Perjalanan saya dengan donor darah lumayan panjang sebenarnya, saya punya teman sekantor yang darahnya sudah sering dihisap. Sampai-sampai dia dapat penghargaan. Wow. Setiap dia posting kegiatan donor darahnya sebenarnya hati saya meronta-ronta, ingin juga. Tapi apa daya rasa takut ternyata lebih mendominasi. Selalu bayak alasan untuk tidak donor, 1. Saya tidak tahu sepenting apa donor darah itu. Ya, saya tahu bahwa donor darah bisa membantu saudara kita yang sakit atau bahkan hampir meninggal, tapi, kan pendonor sudah banyak, saya rasa ketika saya tidak donorpun tidak masalah. 2. Alasan klasik, jarum. Gede-gede gini saya takut sama jarum lo. Tahu kan mitos jarum yang melegenda itu? Mulai dari yang menyakit

Seminggu Bersama Mikail

Image
"Aku ingin jadi ayah." Hah?! Bicara apa anak ini? Ia menoleh ke arahku sambil menunjukkan mulutnya yang cemong terkena es krim coklat, tangannya juga terlihat kotor dan lengket, jorok. Aku hanya meliriknya, kami berdua sedang duduk bersisihan di sebuah bangku taman dengan danau buatan terhampar di depan.  "Boleh kan, Yah, aku jadi ayah seperti ayah?" Ujarnya sekali lagi. Nadanya terdengar begitu polos. "Memang siapa sih yang bilang kalau aku ini ayahmu?" "Ibu." Sekarang anak kecil ini memutar lidahnya, menyapu pinggiran bibir sampai bersih. Ya, Tuhan, masak sih anak jorok ini anakku? Hm, menurut sebuah keterangan yang dibawanya, dia memang anakku. Tapi setelah kuingat-ingat dia anak yang tidak sengaja kubuat. Maksudnya, waktu itu kami (aku dan ibu dari anak ini)  sama-sama tidak menyangka bahwa apa yang kami lakukan  sembilan tahun silam di toilet sekolah bisa menghasilkan makhluk ajaib seperti ini. Makhluk yang m

Jangan Lupa Jatuh Cinta, Kak!

Image
Itu kata seorang pramusaji di sebuah kedai dessert kecang merah. Saya sempat diam sepersekian detik lantas mengonfirmasi ulang pernyataannya, "apa mbak?" "Jangan lupa jatuh cinta, kak." Ulangnya dengan senyum ramah. Lalu saya mengangguk dan membalas senyumnya sambil kembali ke meja. Jangan lupa jatuh cinta? Batin saya. Ada-ada saja. Pernyataan kecil itu meskipun mungkin menjadi semacam template yang disapakan pada semua pengunjung, bisa jadi memiliki efek yang berbeda bagi masing-masing hati. Saya akui saat itu cukup terkejut , mengingat template baku yang sering saya dengar adalah, "Terimakasih, selamat datang kembali." Maka, "Jangan lupa jatuh cinta" terasa tidak sekadar basa-basi. Dia berhasil membangkitkan sesuatu dalam otak saya yang sudah tertidur cukup lama. Gara-gara itu saya jadi berpikir, benar juga, kapan ya  terakhir kali saya jatuh cinta? :) Saya memang tidak sedang jatuh cinta saat ini, bahkan sudah lama say

Secangkir Coklat Panas Di Pagi Hari

Image
Ada hal-hal kecil yang bisa kita lakukan di awal hari, untuk membuat perasaan kita senang. Memang tidak bisa menjamin apakah hal itu akan mempertahankan mood kita sampai penghujung hari. Membuat masalah tiba-tiba lenyap dan menggantinya dengan ceria. Tapi setidaknya ketika kita mengawali hari dengan kebahagiaan, maka kita telah mengawalinya dengan kebaikan. Itulah yang membuat saya bersyukur sebagai muslim, bahwa shalat subuh dikerjakan sangat awal, sebelum kita bertemu dengan banyak orang, sebelum kita banyak mendapatkan suntikan emosi dari luar. Kita diminta untuk menenangkan diri dulu, dengan gerakan-gerakan ringan yang diulang, lalu duduk bersimpuh, berterimakasih atas nafas yang masih ada, serta memohon bekal keselamatan dan kebahagiaan untuk menjalani hari. Kita meramu emosi positif, sebelum, saat dan setelah shalat. Untuk kedamaian di dalam yang akan ditularkan ke luar, pada orang-orang yang nantinya bertemu kita setelah pintu rumah ditutup. :) Selain itu hal-hal

Melepaskan Dan Terus Berjalan

Image
Apa yang Anda rasakan setelah berhasil berbagi pada sesama?  Merasa lebih lapangkah, merasa lebih tenang, atau... Kenapa saya tambahkan kata "berhasil" pada saat kita bisa berbagi? Karena sesungguhnya jalan menuju ke arah berbagi tidaklah sesedarhana yang kita pikirkan. Berbagi, di saat diri kita sendiri belum merasa cukup adalah pergolakan lumayan panjang antara ragu dan yakin. Ragu, karena alarm bawah sadar kita berteriak untuk menyelamatkan diri sendiri. Tapi yakin karena sebagian sisi hati kita menenangkan, bahwa yang keluar tidak akan membuat kita kekurangan. Saat kita mampu membungkam alarm, dan serta merta menjalankan bisikan hati, maka saat itu kita telah berhasil melawan diri kita sendiri. Menundukkan ego besar dan membuatnya merasa pasrah. Tapi ternyata berhasil berbagi saja belum cukup, ada yang harus dijaga setelahnya. Apa? Hati. Hati merupakan satu organ kecil dalam tubuh namun begitu kompleks. Bermacam perasaan terolah di sana sampai kadan