Kamu, Hujan dan Matahari



“Dan hujan selalu begini. Menguarkan bau selokan yang tajam. Menyengat menusuk hidung.”

Kamu malah seperti asik menikmatinya. Sengaja keluar duduk di teras depan sambil membawa kopi pekat berampas tanpa gula.

 “Coba nikmati, betapa indah formasi hujan itu. Awalnya dia datang dari sungai di segala penjuru. Terhisap oleh awan yang setelahnya menggemuk kelabu. Lalu langit seolah kompak , ikut-ikutan merengut dengan jubah hitamnya. Tik... tik... tik... bunyi hujan, di atas genteng”,  ah bagus, bahkan kamu bisa menyanyikan kegundahan. Bagiku hujan itu suram. Repot. Cucian tidak kering, dingin, dan satu lagi bau selokan itu. Ya, Tuhan, apa kamu tidak bisa mencium betapa selokan itu luar biasa menyengat saat hujan?


“Coba sebentar saja matikan indra penciummu. Buka lebar pandanganmu. Lihat itu, bidadari sedang menari-nari di jalanan. Tangan lentiknya menggapai-gapai, kaki jenjangnya terayun seirama. Cantik sekali, coba lihat, ayo coba lihat. Mumpung pemandangan ini gratis dari Tuhan.”

Baiklah, di rumah ini hanya ada kamu dan aku. Urusan seremeh hujan tidak akan kubiarkan merusak malam ini. Aku coba menjapitkan telunjuk dengan jempolku ke hidung. Lalu memandangi hujan yang turun beramai-ramai.


“Kenapa hujan selalu datang keroyokan? Apakah hujan terlalu takut menghadapi amarah manusia sendirian?”

“Hujan itu setia kawan. Mereka memang selalu turun membawa rombongan. Bukan karena takut, hanya ingin menunjukkan pada manusia bahwa dengan bergandengan semua bisa lebih mudah dilakukan. Dengan bersama-sama ada sebuah kekuatan besar. Jalanan di depan kita tidak akan tersingkir debunya hanya dengan hujan yang turun sendirian kan?”

Begitu asiknya kamu memuji hujan, sampai tidak merasa kopi pekat berampas tanpa gulamu sudah tandas.

“Sini kubuatkan lagi?”
“Apanya?”
“Kopi...”

Kamu tersenyum menghadapku. Senyuman itu yang membuatku memilihmu. Betapapun kita berbeda di segala arah mata angin. Aku suka utara dengan gunung yang kokoh mencengkram bumi, kamu mencintai selatan bersama gulungan ombak yang menari-nari. Aku suka hangatnya teh berdaun mint, kamu suka kopi pahit dengan ampas yang mengendap di dasar gelas. Aku suka mendengarkan musik, kamu suka membaca. Aku suka matahari, kamu suka hujan. Hanya satu yang sama dalam hidup kita, kamu suka tersenyum dan aku menyukainya.

“Hei?”
“Ya?”
“Mengapa tidak nanti-nanti saja membuat kopinya. Lihat hujannya sebentar lagi pulang. Kesukaanmu akan datang. Tentu indah melihat kesukaanmu dan kesukaan ku bisa berdamai seperti kita sekarang”

Lalu aku duduk saja disebelahmu. Menurut. Sudah lupa pada bau selokan yang menyengat. Atau mungkin indra penciumku mulai menyesuaikan diri. Ah, aku hanya berharap bisa melihat matahari menyembul naik, diiringi rintik hujan kesukaanmu yang berangsur menipis. Ternyata mereka bisa berdamai. Ternyata tarian bidadari yang tertembus cahaya matahari begitu indahnya. Ternyata Tuhan tau bagaimana membuatku mencintai segala ciptaanNya. Memang tidak ada yang patut kubenci. Yang boleh hanyalah kusukai, atau sangat amat kusukai. Kolaborasi alam ini ditambah adanya kamu, sungguh mempesona. Dan hangat.

*Untuk para pluviophile
gambar : titian.wordpress.com

Comments