Nyatanya Kita Berkompetisi
Beberapa hari ini , otak dan pikiran ane baru hanyut ama kata-kata nya Cak Nun. Yup secara nggak sengaja ane nemu buku beliau yang judulnya "Demokrasi La Roiba Fih" di kantor. Udah buku lama sih, tahun 2009 pas anget-angetnya pemilu tuh. Well, satu hal yang ane pesankan ke kalian yang juga mau baca bukunya Cak Nun ataupun budayawan lain. Dewasalah, Open Minded lah, karena bisa jadi apa yang mereka sampaikan itu benar-benar "nampak seperti" bertentangan dengan apa yang kita yakini. Tapi apa iya beneran bertentangan? nah! ini lah yang perlu kita cerna hati-hati. Budayawan itu menyampaikan sesuatu tidak secara telanjang, nggak straight to the point. Bahasa mereka diatur sedemikian rupa, indah dan bersayap (kek pembalut). Jadi kita dituntut untuk bener-bener nyari, apa sih sebenernya maksud mereka?.
Untuk masalah dewasa, kenapa harus dewasa dalam membaca buku karya budayawan? ya karena anak-anak ga bakal ngerti maksud yang terkandung dari setiap kata-kata yang ditulis. Karena kalaupun kita tua tapi jiwa kita ke kanak-kanak an kita akan gampang emosi dan rawan untuk mengkafirkan orang lain. Gimana enggak, dalam salah satu bab, Cak Nun itu bilang, bahwa kewajiban untuk mempercayai Tuhan itu adalah kewajiban individu, kalau ada diantara kita yang tidak percaya Tuhan negara ga akan menghukum. Tapi ketika kita tidak melakukan aturan negara, maka hukum akan bertindak. Kesimpulannya hukum maupun demokrasi di negara kita tingkatannya lebih tinggi dari Tuhan. Nah Lo?? kafir nggak? kafir kan?. Bakal gampang banget buat kita bilang bahwa kata-kata CakNun itu adalah suatu yang menyesatkan. Lha wong uda jelas dia menyekutukan Tuhan kok!. Tapi, coba di baca lebih seksama lagi, coba di cari esensinya... coba jangan keburu pengen mengkafirkan orang, coba lebih dewasa lagi.
Oke tulisan diatas adalah panduan untuk membaca buku budayawan. Sekarang mari kita pindah kebawah, masih mau bahas buku Demokrasi La Roiba Fih tapi dari cerita yang agak beda.
Ada sebuah tulisan yang mengisahkan tentang wartawan yang datang ke TK nya mbak Novia Kolopaking, waktu itu mereka ngelihat si anak TK yang unyu unyu itu, baru latihan marching band, nah nyeletuklah si wartawan "Mbak murid-muridnya ini udah pernah juara dimana aja?", dengan tegas mbak Kolopaking njawab "walah..jangan sampe juara mas, saya itu bikin sekolah bukan supaya siswa yang satu kelihatan lebih jelek dai siswa yang lain. Anak saya saja dak pernah saya biarkan merasa lebih unggul dari yang lainnya, jadi manusia itu kita harus saling menghormati, bisa menghargai kelebihan seseorang tanpa harus dinampak-nampakkan"
Pas baca itu, ane lumayan meng aamiin i sih. Bener juga, sekolah itu bukan cuma buat tau siapa lebih baik dari siapa atau siapa lebih lemah dari siapa. Tapi untuk bahu membahu menjadi yang sama-sama baik, sehingga nantinya tidak ada kata winner yang sialnya harus selalu dipasangkan dengan kata loser. Pilihannya cuma satu All the winners or all the losers!
Tapi, setelah ane ndodok dan gujengan cagak, serta mengingat-ingat apa yang terjadi dalam kehidupan ane. Ane yakin dalam kehidupan nyata itu kita selalu berkompetisi, kalo di acara ESQ sih biasanya kita diputerin film tentang milyaran sperma (ga yakin juga sih, ga pernah ngitung) yang sama-sama berjuang tapi pada akhirnya hanya satu yang berhasil ketemu sel telur dan jadilah kita, Taraaa!!! we are the winner. Setelah mbrojol dan gedhe, kita dituntut buat berkompetisi masuk SD/SMP/SMA/PTN favorit. Belum lagi nanti kalo udah lulus kuliah, beh... nyari kerja ampun ampunan deh, persaingannya ketat seperti legging. Kecuali bapak ente bos perusahaan besar, dan dengan sekali tunjuk ente bisa duduk di kursi empuk direksi, well challenge nya beda lah ya... udah dapet kerja musti berkompetisi lagi buat dapetin pujaan hati (kalo doski most wanted, kalo enggak... ga usah diceritain lah), banyak lah ya... contoh dari kompetisi itu.
Yang jelas faktanya adalah kita berkompetisi. Ane setengah saja meng aamiin i Mbak Kolopaking, karna setengahnya lagi ane rasa mendidik anak-anak untuk siap menang dan siap kalah itu suatu hal yang juga penting. Mengajarkan mereka inti dari kompetisi itu adalah sebuah kewajiban. Karna mereka nggak akan selamanya menang atau diberi tepuk tangan fantasi oleh orang-orang, suatu saat nanti mereka juga akan lepas ke sebuah rimba dimana hanya yang kuat yang bisa menang dan mereka harus siap untuk itu semua, menang ataupun kalah. Siap menang tandanya siap untuk tidak jumawa, siap untuk arif dan bijaksana. Siap kalah artinya siap untuk lapang dada, menerima kenyataan dan yakin bahwa segala sesuatu itu dipergilirkan seperti siang dan malam, pagi dan sore.
Yang jelas faktanya adalah kita berkompetisi. Ane setengah saja meng aamiin i Mbak Kolopaking, karna setengahnya lagi ane rasa mendidik anak-anak untuk siap menang dan siap kalah itu suatu hal yang juga penting. Mengajarkan mereka inti dari kompetisi itu adalah sebuah kewajiban. Karna mereka nggak akan selamanya menang atau diberi tepuk tangan fantasi oleh orang-orang, suatu saat nanti mereka juga akan lepas ke sebuah rimba dimana hanya yang kuat yang bisa menang dan mereka harus siap untuk itu semua, menang ataupun kalah. Siap menang tandanya siap untuk tidak jumawa, siap untuk arif dan bijaksana. Siap kalah artinya siap untuk lapang dada, menerima kenyataan dan yakin bahwa segala sesuatu itu dipergilirkan seperti siang dan malam, pagi dan sore.
Salah satu caranya adalah membiarkan mereka ikut perlombaan-perlombaan, kita bukan didik anak2 untuk selalu jadi pemenang, kita didik mereka untuk melakukan persiapan sebaik mungkin, perkara hasil kita bisikkan pada mereka bahwa Allah selalu memberi hasil terbaik untuk hamba Nya.
sumber gambar: google
setuju dhit. bacaan beginian butuh wawasan yang luas. parameter juaranya kolopaking sempit begitu ya menurutku dhit. klo aku mungkin g mau nyekolahin anakku di sekolah seperti itu.
ReplyDeletebener, mbak wawasan luas itu penting banget. Nah kalo masalah nyekolahin anak, tergantung orangtuanya juga sih mbak. Kadang ada juga orang tua yang ga siap bersaing, anaknya yang kalah dia yang mewek :D
Deletekadang (saya) membaca sebuah buku dua tiga kali, bukan untuk menghafalkan tapi untuk memahami maksud penulis. Mencoba menerjemahkan ambiguitas penulis.
ReplyDeleteMasalah untuk anak TK yang ikut lomba, kok saya malah setuju sama Novia Kolopaking. Secara seperti pengalaman saya jaga anak, anak di usia 1-7 itu rentan sekali terhadap kekalahan. Di sini (di Hong Kong) anak usia kindergarten setahu saya tidak diikutkan dalam lomba di sekolahnya. Tapi talent show atau pameran itu sering kali. Jadi pengenalan tentang kompetisi dalam hidup ini memang enggak segampang itu diberikan kepada anak, melainkan bertahap.
nuwun mbakyu sudah mampir. Memang harus ada jalan tengah untuk mengajarkan masalah kompetisi ke anak, takutnya kalau tidak dididik dari kecil, besarnya kaget :)
Delete