Larik Kecewa!

Ibu melambaikan tangannya padaku. Kali ini dengan penuh sesak haru, yang membuatnya berkali-kali menarik kerah daster untuk melap air mata dan sesekali ingus. Aku tersenyum sehangat mentari di kala hujan, membalas lambaian tangan ibu yang nampak bangga padaku. Ini hari pertama aku bekerja sebagai penyiar. Bagi Ibu ini adalah kerja mulia. Ia merasa anaknya ini akan memikul amanah sebagai pahlawan yang menerangi sisi gelap otak-otak manusia yang tak tersentuh peradaban. Ia merasakan betul hal itu. Enam puluh lima tahun dalam hidupnya, termasuk ketika ia masih dalam perut simbah. Radio menjadi satu-satunya pengantar informasi yang ia tahu, penghubung antara dunia luar dan kehidupannya, serta pemberi berita tentang harga sekilo cabe merah di pasar Beringharjo. Masih dengan titik air mata berderai, ia merelakan punggungku pergi di bawa motor Honda pitung berwarna merah. Menyusuri jalan sempit yang meliuk rumit.


Secepat bayanganku pergi, Ibu masuk kedalam mengambil radio usangnya. Mendekapnya erat bagai mendekapku dikala aku masih balita, dan duduk berselonjor diatas tikar yang bolong sana-sini di gigiti tikus. Tangan kasar ibu yang kecoklatan, mencoba memutar tunel radio, mencari suara anaknya yang konon katanya bisa terdengar di seantero Jogjakarta. Nihil tak ia temukan suaraku. Ia putar-putar lagi tunel radio itu. Kini ia mulai juga minta bantuan antena, yang semenjak dulu hanya diam tertidur nyenyak dalam posisinya. Ia gusar, suara anaknya tak terdengar walau lirih. Ia coba menunggu, berharap suaraku menyapa tapi terlalu lama suaraku tak jua ada, Ia lelah, menyerah dan akhirnya terlelap di atas kotak ajaib itu.

"Bu..."

Sapaku lembut membangunkan Ibu, tak perlu mengetuk pintu, karena pintu rumah kami tak bisa diketuk. Ianya hanya terbuat dari sisa karung beras yang disatukan, lalu di kaitkan pada paku di gawang pintu dengan tali rafia. Ibu sedikit terkesiap, sorot matanya menanyaiku dari atas hingga bawah. Ia menarikku, menunjuk radio dengan wajah bingung. Tanpa kata, tapi aku tahu maksudnya. Aku coba meraih benda kesayangan Ibu, memutar tunelnya dan menemukan frekwensi dimana suaraku harusnya berada. Terdengar suara Andi, teman baruku ditempat kerja.

"Di sini Ibu, suara Tanya nanti ada di sini"

Terangku sambil tersenyum dan menyerahkan radio itu, Ibu menatapku kembali, ada juta harap dalam bola matanya yang mengabur dimakan usia. Kaca-kaca penuh doa yang tertanam dalam sorotnya coba ia alirkan untukku yang kini ia anggap sebagai pahlawan. Aku memegang tangannya membiarkan kulit kami menyatu melekat, berbagi hangat. Kuciumi tangannya yang bau khas bumbu. Ia membalas itu semua dengan belaian halus di rambutku. Itulah cara komunikasi kami, tidak banyak kata yang terucap. Kalaupun ada yang harus diucapkan itu hanya berasal dariku, searah saja. Kini kudekatkan telingaku kedadanya, kedua tangan ku kulingkarkan dipinggang rampingnya. Kurasakan detak itu naik turun, dan aku ingin selalu begitu, selamanya. Dari Ibu aku belajar untuk mendengar saja, itu membuatku besar tanpa banyak mengenal kosa kata. Kini aku dipaksa mengolah kata, tiap hari minimal dua kali enampuluh menit, dalam sebuah ruang siar yang tak pernah terbayangkan oleh Ibu. Tapi aku bahagia, ini mimpi Ibu yang bujaksana.

"Besok Tanya siaran lagi Bu, jam Sembilan pagi. Ibu denger ya" 

Ia mengangguk cepat sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang jarang, tak perlu berpikir dua kali untuk itu, sama mudahnya dengan memasak sayur Asem kesukaanku. Aku meraih lagi radio Ibu, mencarikan suara penyiar favorit kesayangan Ibu di RRI, stasiun radio yang tak pernah absen menemani malam-malam Ibu dalam sunyi setelah ditinggal Bapak. Kini radio favorit Ibu tambah satu, radio tempatku bekerja.

                                                                                       ***
Lagi-lagi ia melepas kepergianku tanpa kata, hanya senyum disela setitik air mata ditambah doa dalam hati. Pelan aku menyusuri jalanan kota Jogja. Angin semilir merasuk lewat celah kemaja tipisku yang melambai-lambai, sejuk. Terpaan mentari menyentuh hangat pipiku membuat bersemangat, satu-satunya alat mewah yang kupunya walkmen sepaket dengan earphon nya, sedari tadi menemani perjalanku. Terdengar lagu Laskar Pelangi dari Nidji yang diputarkan oleh rekan siarku, Aku terbawa, lagu itu berbicara tentang mimpi yang kugemari, yang dulu kucari dan kini kutemui. Harapan telah Ibu letakkan dipundakku, untuk menjadi pelita dalam gulita, menyebar informasi bagi mereka yang hanya mengenal dunia suara, menjadi pahlawan yang menyampaikan berita ataupun cerita yang berguna. 

Ku keraskan volume radio ku, hanya suara pelantun saja yang terdengar merdu, ditengah jalan aku hidup dalam duniaku sendiri. Sampai pada akhirnya aku merasa ada yang aneh, seorang lelaki bersepeda disebrang pertigaan itu nampak mengajakku berbicara, aku tak mendengarnya hanya komat kamit mulutnya saja yang nampak meluap-luap. Ku lepaskan earphon ku Ia berteriak bersama dengan bunyi klakson yang terdengar keras sekali dari arah kananku, terlambat Truk besar itu tinggal selangkah menyentuh tubuh ku.
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita didunia... 
Selamanya
Sayup  suara Nidji masih terngiang ditelinga, kini agak tak jelas lagi bagai kaset lama yang diputar berjuta kali, semakin lama semakin melirih, jauh menjauh dalam lorong gelap tak berujung, berterbangan diudara menyatu dengan suara isak atau teriak orang-orang. Lamat pergi, aku tertawa membayangkan surga, aku tau cinta kita selamanya, walau raga kita tidak, aku menutup mata bersyukur pada yang kuasa. Jauh sudah, hilang jejak langkah, suara-suara itu lenyap sekejap.
                                                                                       ***
Dirumah tepat jam sembilan pagi, Ibu bersemangat mendengar suaraku. Tak tanggung ia bahkan mengajak beberapa tetangga yang kerap mencibirku sebagai benalu. Ibu ingin tau bagaimana wajah mereka ketika suaraku keluar dari speaker kotak ajaib itu. Bagi Ibu aku yang ter membangga kan. Bagi Ibu aku sang pahlawan, bagi Ibu aku kawan sejati dalam puluhan tahun diam. Sudah sepuluh menit lewat dari pukul sembilan, tetanggaku mulai malas, kasak kusuk tak jelas, menyakiti hati ibu secara non verbal.

"mpun lah Bu, mboten usah ditunggu. Paling Tanya niku namung goroh kalih sampeyan" (1)

Ibu geram dalam hati, ia menatap ketiga tetangga ku dalam-dalam, meminta mereka untuk sabar sebentar lagi. 

"mpun Bu, kula ajeng ngedusi anak jhe. Malah kon ngrungok'e radio. Oh iyo, Tanya utang kalih kula limang atus ewu dereng dibayar, jarene dina iki. Awas nek ngapusi meneh, sik utang sak durunge yo urung dibayar" (2)

Ibu sudah tak ingin menahan mereka lagi. Jari-jarinya terlalu lemas untuk menyadari bahwa apa yang mereka katakan benar. Terbukti hingga kini suaraku tak terdengar diradio. Ibu mulai cemas, memeluk radio erat-erat bagai memelukku sehari lalu. Berharap tiba-tiba suaraku muncul menyapa. Satu jam berlalu tepat jarum pendek mengarah angka sepuluh dan jarum panjang di angka duabelas, suaraku tetap tak terdengar. Sejauh itu jarakku dengan Ibu kini, bahkan lebih jauh lagi mungkin bagai pukul enam di jam analog. Detak jantung ibu berdetak lebih cepat, ia kecewa pada pahlawannya. Ia sedih tertipu anaknya sendiri tubuh Ibu terkulai lemas, dengan bekas aliran sungai air mata yang menganak dipipinya. Lagi-lagi diam menyergapi rumah kecil kami, ibu keletihan dalam sunyi, menungguku pulang dalam peluknya dalam pangkuannya. Ibu terjaga bersiap mendengar lagi dan lagi penjelasanku, bersiap membelai rambutku dan memaafkan ku. Ibu terjaga lama, tanpa tau apa-apa...

Aku sudah berlayar entah kemana, takdir itu sudah ditetapkan jauh-jauh hari sejak daun didepan rumah tetanggaku mulai gugur mencium tanah.

Illustration soucer : klik disini

(1) Udah lah Bu nggak usah ditunggu, paling Tanya cuma bohong!
(2) Saya tuh, mau mandiin anak. Kok disuruh denger radio. Oh iya Tanya punya hutang sma saya 500 ribu, katanya mau dibayar hari ini, awas kalau bohong lagi, utang yang sebelumnya juga belum dibayar!

Comments

Post a Comment