Setua Senja
Senja ini aku menatapmu dengan selaksa
cinta yang meletup-letup. Berlompatan ingin berlomba keluar dan menjamah tangan
putih mu yang tinggal tersisa kulitnya saja, itupun tak sepenuhnya menempel
lekat di kediammannya. Kepingan bias surya yang segera ingin berganti jaga
dengan purnama, menghangatkan dada kita. Mendidihkan kembali darah kita,
menggejolakkan hasrat yang tersembunyi dalam satu tempat yang tak satupun orang
bisa menyentuhya. Tempat yang selama puluhan tahun ini coba kutelusuri, namun
tak kunjung terkuak juga. Mungkin kamu juga begitu Sayang..., tak ada satupun
dari kita yang tau dimanakah Tuhan menyimpankan untuk kita sebongkah cinta yang
terbentuk dari serat-serat rindu, akal juga mungkin nafsu. Bisa jadi Ia
mengelabui kita, bisa jadi segala tempat dimana cinta bersemayam itu
digenggamNya sendiri. Tapi, saat aku menatap rona langit disenja ini, sambil
terpesona dengan upaya merpati jantan mengejar betinanya, aku bersyukur pada
Tuhan, walaupun tempat itu digenggamNya, tapi Ia memutuskan untuk melepaskan
isi dari tempat itu kepelukanku. Kamu. Dan itu lebih dari cukup.
Bibirmu tersenyum manis selegit teh
pagi yang kuminum tadi. Walau gurat-gurat halus melintang diwajahmu, pesonanya
tak pudar dilumat waktu. Dalam jeda yang sedikit lama, aku menatap keindahan
lukisan Tuhan yang terpapar dimatamu, pipimu, hidungmu dan mulutmu. Kita saling
bergenggaman, menautkan jemari yang mulai sedikit gemetar, menikmati
senja kita yang hangat di bawah rindang sebuah taman yang kita cipta sendiri di
belakang rumah. Gugur dedaunan turut meramaikan perayaan cinta kita. Bangku
putih panjang ini setia menopang punggung-punggung lapuk kita. Impianku kala
belia rupanya menjadi prioritas Tuhan. Aku bisa berada disandingmu hingga
usiamu yang ke delapan puluh, dan aku tujuhpuluh. Bersama-sama menghabiskan
masa menunggu penjemputan paksa yang tak ada niat untuk ku ajukan, namun tak
bisa juga kutangguhkan. Tak ada kata yang terucap diantara kita, hening, hanya
tatap mata yang beradu, frekuensi hati yang menyatu, suara degup jantung yang
terdengar seirama, dan hangatnya gesekan kulit layu kita yang terasa.
Syal yang kau kenakan itu, hadiah ulang tahunmu yang ke 70, sudah
sepuluh tahun yang lalu, saat kau mulai sering mengeluh kedinginan dan minta
kuhangatkan dengan ramuan jahe tiap malam, saat tiap bangun tidur kau mulai
sering menyambangi kamar mandi untuk membuang dahakmu yang mengganggu sejak
petang. Warnanya sudah memudar dari coklat tua menjadi coklat susu, benangnya
tercerabut sana-sini namun dengan binar bahagia kau selalu mengenakannya,
seakan syal itu baru kau dapatkan semenit lalu.
Selain syal, peci putih itu juga tersemat bersahaja di atas kepalamu,
menutupi rambut tipis abu-abu yang tiap pagi hanya kuusap, tanpa perlu kusisir
dan kau tidak pernah protes untuk itu. Aku merapatkan lagi dudukku, ingin
menghisap seluruh hangat tubuhmu mengalirkannya ke setiap nadi ku,
membangkitkan syaraf-syaraf yang tersimpul meredup. Merapatkan kaki-kaki kita,
melingkarkan tanganku ke pinggangmu yang kau sambut dengan lemah tanpa tenaga,
bukan karna kau tak suka, tapi otot-otot itu terlalu sakit untuk memelukku
erat. Kepalaku tenggelam dalam kecilnya dada tua mu. Detak jantung mu semakin
terdengar nyata, ritmenya menenangkan, kalau tak ingat tubuhku berat, mungkin
aku akan menyadar pasrah dan terlelap disana. deg...deg...deg...deg... aku
semakin merangsek maju lagi, masih tercandu dengan detak jantungmu.
Deg...deg...deg...deg... kali ini aku coba membersihkan telingaku,
kupikir telingaku bermasalah, tapi sejatinya degup jantungmu yang melemah. Ku
dorong maju lagi tubuhku, kurapatkan telinga ku lagi ke arah jantungmu, kini
mulai kubuka kancing kemejamu dengan sedikit tergesa namun tetap lembut.
Memastikan bahwa lubang telingaku berada tepat diatas kulitmu, melekat tanpa
secuil penghalang, tapi semakin aku mendekat degup jatungmu semakin
melemah...melemah...dan...aku menyadari kamu sudah dijemput paksa. Langit senja
tetap merona, tak berniat menunjukkan duka, ia tau hakikat kematian yang tak
seharusnya ditetesi air mata, karna mati artinya hidup kembali, ditempat yang
baru.
Saat itu Bibirmu terkatup tenang, air
mukamu juga, dalam pejam dan diam engkau beranjak ke destinasi berikutnya,
hanya tanganmu yang terasa berat menyentuh kepalaku, menandakan bahwa
saat mereka menjemputmu kau sekuat tenaga memberi tanda dengan membelaiku
.Kini aku tau kau menantiku diujung sana, tanpa pamit tanpa lambaian tangan.
Hangat tubuh mu kuhisap habis sudah, menjelma jadi beku dan dingin yang
menusuk-nusuk. Setiap yang Ia ciptakan akan kembali pada Nya. Aku meyakini
keputusan itu. Hanya masalah waktu sampai nanti aku menyusulmu ke dermaga itu,
pelabuhan terakhir kita. Dimana kita menjelma kembali menjadi muda mudi dalam
atmosfer asmara yang kentara... tanpa pernah beranjak tua... tanpa harus saling
menangisi kepergian. Syal itu kusampirkan dibahuku dan bahumu, aku bersadar
lembut ditubuhmu yang tertopang lengan kursi putih kita, di syal ini masih
melekat baumu, yang tak akan kucuci hingga kelak aku dijemput paksa juga.
Tenang sayang, tak akan lama.... mungkin nanti malam. Dan aku tersenyum damai
membayangkan detik-detik pertemuan kita.
Sumber gambar: google
aku, sukaaa tulisan iniiii... :'D
ReplyDeletemakasih...tapi sejujurnya tulisan ini terinspirasi dari tulisan2 mbak Risna :)
Deletecerita pendek yang manis... :D
ReplyDeleteTerus semangat berkarya! :D
saya jatuh hati dengan gaya menulis semacam ini!
ReplyDeletearoma perpisahannya yang dalam itu nancap sekali.
aishh.
beruntungnya saya tersesat di sini.
nice effort :)
ngeklik label "nyoba fiksi" baru satu postingan ya?
Deletekamu harus sering-sering :D
banyak bang di geser anak panahnya... eheheh... :D
Deletesetuju sama uchank, manis ceritanya tapi lebih manis kalau eydnya mulai dirapikan lagi hehe saran ya.
ReplyDeleteiya Bang Uzay, baru belajar EYD nya :D
Delete