Sebatas Bulan


Aku menghembus nafas berat. Kadang diselingi batuk-batuk. Yah memanglah aku ini sudah tua, hampir delapan puluh. Tertiup hembusan angin sedikit saja sendi ku sudah sakit-sakit. Rapuh sekali. Makanya banyak sekali orang yang kasihan pada kakek malang sepertiku.Yang sepanjang hidupnya membujang dan sendiri saja. Mereka acap kali berkumpul untuk membicarakanku, bagaimana membuatku bahagia, bagaimana membuatku bisa bersemangat lagi. Mereka membicarakannya tepat di dekatku sehingga aku bisa dengar rencana-rencana mereka yang jujur saja membuatku sedikit tidak nyaman.

Ya, aku tau maksud baik mereka, tapi bukan itu yang ku inginkan. Seharusnya mereka belajar pada Karyo, bagaimana memperlakukanku agar aku bisa bahagia.Baiklah akan ku ceritakan tentang lelaki bernama Karyo ini. Aku mengenalnya semenjak aku masih muda , pun dengannya. Karyo tidak pernah absen menghampiriku. Ia kerap bercerita tentang hidupnya sambil mendongak ke atas, semacam mencari jawaban dari langit. Tapi tidak, aku tahu dia mencari jawaban dari Tuhan. Ternyata kehidupan Karyo ini tidak semulus yang aku kira. Secara materi memang dia berkecukupan, Bapaknya juga jadi tokoh masyarakat yang disegani. Tapi batin Karyo kerap meronta-ronta lantaran saban hari dia tahu kelakuan curang Bapaknya pada masyarakat desa. Bagaimana Bapaknya menilep uang bantuan dari pemerintah, bagaimana Bapaknya sering sekali meminta upeti untuk sesuatu yang sudah jadi kewajibannya. Ia muak, muak sekali. Tapi sebagai anak sholeh ia juga tidak tega mendamprat Bapaknya sendiri. Akhirnya ia coba bicara pelan-pelan pada Bapaknya. Bisa ditebak, bukannya membaik Bapaknya malah marah-marah, katanya Karyo sok suci lah,keminter lah. Tapi mau bagaimana? Nyatanya memang Bapaknya Karyo lebih banyak makan asam garam kehidupan daripada Karyo.

 Ia pun pergi menghampiriku. Duduk bersimpuh setelah numpang sholat, lalu bercerita panjang lebar. Aku suka menguping dialog nya dengan Tuhan “Ya Allah, maafkan aku yang kurang pandai dalam menjadi anak. Maafkan aku yang tidak bisa memperingatkan Bapak dengan cara baik-baik. Aku mohon keluasan hidayah Mu untuk Bapak, supaya kelak aku tidak mati berhutang pada Mu”. Jujur aku trenyuh. Laki-laki budiman sepertia dia jarang ada sekarang ini.

Dialog-dialognya dengan Tuhan, dan kemesraannya merangkai kata di tempatku, membuatku merasa di anggap.  Aku senang ditemani dengan cara seperti ini. Di kenalkan dengan wajah-wajah baru yang semuanya memiliki aura kebaikan. Teduh menenangkan. Untuk itulah Ia kerap mengajak anak-anak kecil main kemari. Tiap pukul empat sore biasanya mereka berkumpul, meminjam buku IQRA dan Al-Qur’an dari perpustakaanku. Lalu membacanya bersama-sama, saling menyemak, menunjukkan bagian mana yang salah mana yang benar.
“Nah yang ini bacanya ‘A... seperti ada yang di tahan pada pangkal tenggorokan. Bukan Nga. Kalau yang ini di baca Ba , tpis saja. Tidak usah pakai hembusan angin. Ba bukan Bha”. Ia lalu mengambil selembar kertas setelah itu menyebutkan huruf Ba di depan kertas itu “nah coba perhatikan, kalau huruf Ba kita benar kertas ini tidak akan bergoyang, karena tidak ada hembusan angin. Tapi kalau kita bilang Bha... Nah lihat lihat, bergoyang kan? Berarti Ba nya belum tepat”, anak-anak mengangguk paham. Mereka pulang dengan membawa ilmu Makharijul huruf. Karyo lalu memandangku sambil tersenyum. “Inshaa Allah besok aku bawa lebih banyak lagi orang buat menemanimu”. Aku tersenyum, dalam hati bersyukur tak henti-henti. Terimakasih ya Allah kau kirimkan seorang sahabat seperti Karyo.

Ya dulu saat ada Karyo, aku kebanjiran tamu terutama hari Jumat. Wah membludak luar biasa. Aku tidak pernah bingung bagaimana menyuguh tamu-tamu itu, karena Karyo selalu membantu. Singkat cerita aku dan Karyo menua bersama ia menikah dengan tetangga depan rumahnya dan dikaruniai seorang anak. Saat anaknya berusia dua puluhan, Karyo meninggal. Aku sedih bukan kepalang ia bahkan disholatkan di sini. Warga desa pilu menatapku. Aku tidak ikut mengantarnya ke pemakaman, karena aku tau aku tidak akan kuasa menatapnya pelan-pelan dikebumikan.

 Sore hari seorang pemuda menghampiriku yang sendirian. Dia anak Karyo, dia datang kemari menyapaku. Dan menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Bapak bilang supaya aku selalu menjagamu, merawatmu” ia lalu menyeka air mata dengan punggung tangannya, “tapi maaf, aku harus kuliah di Ibu kota. Maaf aku tidak bisa memenuhi wasiat Bapak”. Aku mengangguk, mengijinkannya pergi. Ya, aku juga tidak punya hak menawan anak orang yang bermasa depan cerah hanya untuk merawat lelaki tua yang sakit-sakitan sepertiku.
Sepeninggal Karyo aku kesepian lagi. Memang masih ada beberapa yang menyambangiku, tapi tidak seperti Karyo dulu. Mereka hanya datang bila ada perlu. Lalu cepat-cepat pergi setelahnya. Jarang sekali kulihat orang yang bisa berdialog dengan Tuhan sepanjang Karyo. Karyo memang istimewa, semoga kematiannya khusnul Khatimah.

Angin malam berhembus membungkus seluruh tubuh rentaku. Kedinginan. Tidak ada seorang pun yang mau berlama-lama di sini. Isya sudah lewat beberapa saat lalu, dan aku hanya mendengar, “rencana pemugaran masjidnya jadi Pak?”, kata seorang lelaki. “Jadi lah, sebentar lagi kan Ramadhan. Biar gantengan dikit lah, Jadi kalau ada musafir nggak malu-maluin. Kasian juga kan masjidnya kalau gini-gini aja”, jawab lelaki disebelahnya. “Haha betul itu. Infaq masjid kan tujuannya untuk memakmurkan masjid kita”. Mereka tertawa, bersamaan dengan desah nafasku yang makin berat. Dari tahun- ke tahun selalu di pugar, buat apa kalau aku hanya di tengok saat Bulan Ramadhan?

#refleksijelangramadhan

sumber gambar: google

Comments