Sebuah Senja di Bangku Taman Bersamamu


Sebuah bangku taman di depan sana, yang warna coklat kayunya mulai pudar, sedikit berbalut lumut hijau meng hitam, menyimpan memori tentang kita. Saat bias  keemasan bermain-main di atas kepala kita. Banyak sepeda berseliweran di jalan. Dan terdengar suara tawa yang berderai-derai dari segerombolan orang di ujung sana. Saat itulah kau ajak aku bicara dari hati ke hati. Saat semua orang hidup dalam hidup mereka. Kau memilih untuk hidup dalam hidupku. Tidak ada yang lebih indah dari memandang mata coklatmu yang semakin terang tertembus sinar mentari. Merasakan lembutnya belaian jari jemarimu menyusupi helai demi helai rambutku.


Suara cicit burung yang bertengger di pohon rindang yang menaungi kita memperamai senja favorit kita. Gugur-gugur daunnya bersorak menemani kita berdua. Cemburu pada keakraban hati kita yang terbalut dalam kehangatan cinta.

Mataku mengerjap-ngerjap, memperhatikan bentuk bibirmu tiap kau bicara. “Adek, besok kalau sudah besar mau jadi apa?”, lalu aku yang waktu itu baru berusia lima tahun berceloteh tak menentu. Ingin jadi artis, ingin jadi presiden, ingin jadi dokter. Tangan mungilku bergerak bebas memperagakan berbagai macam hal yang ingin ku lakukan. Kau tahu saat aku kecil aku berani bermimpi menjadi apapun. Aku bahkan berani bermimpi menjadi awan, yang ingin selalu menahan hujan agar tak jatuh pada momen senja favorit kita. Agar kita bisa berdua lebih lama. Agar kita tidak lekas-lekas pulang dalam basah, dan duduk berdua sambil bertatapan dan menahan senyum karena dimarah Ibu. Akhirnya bibirmu itu yang tadinya hanya tersenyum simpul mendadak membuka lebih lebar, diiringi suara tawa yang membahana. Rambut bergelombangmu bergerak-gerak mengikuti tubuh yang berguncang karena bahagia. “Jadilah apapun yang kau mau, tapi yang terpenting jadilah orang baik yang suka menolong dan jujur”. Itu kata-kata yang tertancap dalam labirin-labirin otakku. Kau harus percaya, aku memiliki ingatan gajah yang luar biasa kuatnya.

Sudah berapa tahun sejak saat itu, Ayah. Sewindu mungkin, atau sedasawarsa, atau dua putaran dasawarsa? Lebih kurasa. Karena gadis kecil yang dulu kau bopong setiap sorenya di atas bahumu yang kuat, kini sudah menjadi wanita dewasa. Yang mengenal rupa-rupa dunia. Suatu kali kerap merasa lebih tau segalanya darimu. Tapi nyatanya setiap kali aku buntu, aku tetap kembali padamu. Pada nasihat-nasihat bijakmu. Lihatlah kini, aku yang membelai rambut keperakanmu yang bergelombang. Menyalurkan hangat tubuhku lewat tangan yang tertempel di pipimu. Senja ternyata tak hanya jadi sebuah penanda waktu favorit kita. Senja kini sudah tersemat di usiamu. Melihat kerut-kerut di wajah dan tanganmu, aku sadar begitu banyak cinta yang sudah kau habiskan untukku. Begitu banyak cara pula yang kau lakukan untuk menunjukkan rasa sayang itu. Membawaku ke bangku taman tiap senja, adalah salah satunya. Kadang rasa cinta itu juga kau salurkan lewat marah yang tegas, atau lewat raut wajah cemas saat aku mengeluh pusing kepala, atau batuk-batuk. Kau bersama Ibu bahu membahu berjaga semalaman untuk menjagaiku. Mengganti kompres dikepalaku. Hingga esok paginya aku bisa tersenyum lagi seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Betapa memilikimu adalah anugrah terindah dari Tuhan yang tak ingin ku tukar dengan apapun. Aku sangat ingin membalas segala perlakuan romantismu pada putri kecilmu ini. Tapi sekeras aku berusaha, tak seinci pun yang kulakukan mendekati besarnya yang sudah kau berikan. Hai ayah, ayo kita kesana lagi. Duduk di atas bangku taman yang warna coklat kayunya sudah mulai memudar dan sedikit berbalut lumut yang hijau menghitam. Aku yakin rasanya masih tetap sama- selama ada kau di sana. Burung dan daun-daun akan tetap mengenali cinta yang sama. Bahkan mataharipun masih tetap setia terbenam di sebelah barat. Kali ini biarkan aku yang membimbing tanganmu. Memapahmu yang kakinya tak sekuat dulu lagi. Membawamu ke bangku itu dan mendengarkan lagi segala hal yang ingin kau katakan.Hidup dalam hidupmu. Berbagi banyak rahasia, tentang kekasihku, tentang kekasihmu. Ah Ayah, betapa saat-saat bersamamu menjadi sebuah hadiah di tengah rutinitas hidup yang kadang membosankan. Aku ingin memelukmu selama yang aku bisa. Hingga gelap datang dan memaksa kita untuk pulang. Karena Ibu yang sama tuanya denganmu sudah memasakkan masakan teristimewa untuk keluarganya tercinta.

Sumber gambar: klik

Comments

Post a Comment