Dua Ramadhan
Aku membaca lagi surat kusam itu
hati-hati. Seharusnya di masa ini aku bisa tersenyum tiap senja di teras rumah,
memetik gitar untukmu, merayumu dengan
suaraku yang merdu mendayu walau sedikit serak dan menerima secangkir teh panas
yang khusus kau siapkan untuk lelaki tua sepertiku. Setelah itu kita duduk
berdua, berdampingan, tidak terpisah walau oleh meja kecil di depan rumah. Kita
tidak berjarak, lekat. Seperti mentari yang pelan-pelan juga
mendekatkan tubuhnya, menenggelamkan diri pada malam yang ikut merapat naik. Berpadu
dalam tenang namun diam-diam saling mengaitkan hati. Lalu anak lelaki kita
pulang. Mencium takzim kedua tangan kita, masuk sebentar ke dalam rumah. Lalu
keluar lagi menceritakan semua yang ia alami seharian. Dengan bersemangat. Sampai pada akhirnya kita
melihat wajahnya merona, saat ia menceritakan tentang hatinya yang mungkin
sudah berhasil dicuri oleh seorang wanita pemalu, yang hanya bicara bila ada
perlu. Lalu pura-pura tidak kenal saat berpapasan di jalan. Persis seperti mu
dulu. Tawa kita berderai hingga air mata pun ikut mengurai. Tiap senja kita
berkumpul sebagai keluarga yang selalu bahagia keterlaluan.
Itu seharusnya. Tapi lihatlah, lelaki
tua ini di senja hari bukannya duduk di
teras menikmati secangkir teh panas dari istri tercinta tapi malah sibuk
membaca kembali surat-surat tua dari mu yang kau kirim dua puluh lima tahun
silam. Aku belum terlalu tua sebenarnya. Tahun lalu lima puluh tujuh. Tapi
tidur sendiri di kamar sambil memandangi fotomu ternyata bisa membuatku menua
lebih cepat. Raga dan pikiranku lebih tepatnya.
Aku sudah memutuskan untuk tidak berhubungan
lagi dengan segala sesuatu yang ada hubungannya denganmu (kecuali memandang
fotomu tentu saja. Itu kebiasaan yang mustahil diubah). Termasuk membaca surat
usang yang waktu itu membuatku menyesal setengah mati. Namun siang tadi saat
aku menabungkan hasil kerjaku di sebuah bank. Seorang satpam yang membukakan
pintu tersenyum padaku. Ku taksir usianya sekitar dua lima. Gagah, rupawan. Dan
kau tau apa, dia mirip sekali denganmu.
Aku memandangnya agak lama. Ia sampai
kikuk dan menanyaiku berkali-kali “ada yang bisa saya bantu?”. Aku menggeleng
dan segera menyelesaikan hajatku. Saat aku hendak keluar dan melewatinya, aku
menatapnya sekali lagi, agak lekat. “Anda mirip seseorang” kataku. Ia hanya
tersenyum “siapa Pak?”. “Istriku”. Jawabku sambil berlalu, di dadanya ada name
tag bertuliskan Ramadhan R.
Sayang, dia yang menggerakkanku untuk
membuka lagi buntalan surat-suratmu. Yang artinya membuka kotak kerinduanku
padamu. Kau harus tau, tak ada satupun suratmu yang tercecer. Mulai awal kau
menulis surat tiap bulan lalu jarang-jarang dan yang terakhir kau kirim pada H
minus tiga ramadhan. Setelah itu tidak pernah ada surat-surat lagi. Tidak
pernah.
Di surat terakhir itu, aku tahu kau
meneteskan air mata. Tulisan-tulisan itu nampak kabur terkena air. Tapi aku
menangkap pesanmu.
“Mas,
sebentar lagi aku melahirkan. Kandunganku sudah sembilan bulan lebih. Ampuni
aku yang tidak tau bahwa dalam tubuhku ada dirimu waktu itu. Ampuni aku yang
berdosa ini, yang telah meninggalkanmu. Tapi ini anak kita yang akan menjadi
penerus kita. Mengasuh kita saat tua... Jika laki-laki akan kunamai dia
Ramadhan, jika perempuan Ramadhani. Semoga kau tak keberatan, nama itu ku pilih
karena sebentar lagi bulan ramadhan.Sekali lagi ku harap mas berkenan.”
Tentu saja aku berkenan. Ramadhan nama
yang megah, agung. Nama bulan yang sangat mulia. Besok entah lusa juga
ramadhan, dua kubu Islam terbesar di Indonesia sedang mengadakan sidang
masing-masing. Pun pemerintah. Aku memilih patuh pada pemerintah saja. Seperti
kata Rasul seharusnya kita memang mematuhi pemerintah.
Mengingat kata Rasul, hatiku bagai
dirajam sembilu. Di manakah kepatuhanku pada wasiat Rasul dua puluh lima tahun
lalu? Saat kau mengeluh karena aku lebih suka duduk-duduk di depan rumah
menghabiskan waktu dengan merokok dan ngobrol dengan tetangga yang lewat,
daripada mencari sesuap nasi untukmu. Di manakah kesadaranku sebagai suami,
saat dengan mudahnya memaksamu membagi-bagi uang hasil ngamen yang luar biasa
minim untuk keperluan rumah tangga yang luar biasa besar? Tagihan listrik,
tagihan telpon, makan sehari-hari dan aku masih mengambil sebagiannya untuk
sekedar mabuk bersama teman-teman di jalan. Betapa ajaran agama dan wasiat Rasul
baru bisa ku terima saat kau sudah memutuskan untuk pergi. Meninggalkanku.
Mencari penghidupan yang lebih baik.
Bukan, bukan salahmu. Tentu saja ini
salahku yang bodoh. Yang hanya pandai membual tentang “masa depan cerah” yang
aku janjikan padamu. Sehingga kamu yang anak baik-baik dan manis, mau menikah
denganku. Pengamen kumal yang tidak punya apa-apa. Dulu aku sering marah saat
kamu selalu minta maaf karena tidak bisa membuatkanku teh hangat. “Duitnya di
atur yang bener dong. Nggak becus banget sih? Masa beli teh aja nggak mampu!”,
kamu hanya diam lalu masuk dan keluar dengan kertas berisi coretan-coretan
pengeluaran bulanan. Hasilnya minus. Aku menelan ludah, “Ya tapi kan aku udah
usaha!” kataku mengelak. Kulihat air matamu menetes. Kau tidak pernah melawan
kata-kataku, tapi dari tangisanmu aku tau kau memendam luka. Sungguh aku
mencintaimu. Aku hanya tidak tau bahwa cinta itu membawa konsekwensi. Bahwa
cinta itu bukan sekedar aku merayumu lalu tidak melirik wanita lain. Cinta itu
menerimamu, memberimu hati dan memberi hati berarti memperhatikan jiwa dan
ragamu. Dan sebagai suami aku gagal.
Aku tau aku gagal saat aku membaca kisah
tentang Rasul yang begitu tanggung jawab pada keluarganya. Ia adalah tulang
punggung yang kuat. Tidak rapuh sepertiku. Saat kau memutuskan untuk pergi aku
tau kau juga terluka sama sepertiku yang diam tapi diam-diam berlari mencari
jurang pelarian. Bunuh diri!
Saat itulah Allah menampakkan kasih
sayangnya. Harusnya aku mati tertabrak mobil, tapi lelaki di balik kemudi itu
sungguh gesit mengerem mobilnya. Aku di bawanya pulang. Aku di kenalkan pada
keluarganya. Aku diliputi kehangatan kasih keluarga yang selama ini tidak
pernah kudapatkan. Mulai hari itu aku bekerja di rumahnya sebagai tukang kebun.
Tidak mengamen lagi. Lalu kadang-kadang juga diminta bantu-bantu di masjid
terdekat. Saat membersihkan atap lemari, sebuah buku tidak sengaja jatuh. Itu
tentang Rasul, istriku. Itu tentang Rasul yang membuatku sangat merasa bersalah
padamu. Aku geram pada diri sendiri.
Taukah kamu aku adalah lelaki beristri
yang tak beristri, mereka merasa aku perlu dikasihani jadilah aku ditugasi
untuk merawat kos-kosan keluarga mereka, sekaligus menjadi penghuni di sana.
Sampai saat ini.
Tahun demi tahun gajiku dari menjadi
Bapak kos ku tabung untuk menjemputmu pulang. Aku tidak tahu apakah aku masih
berhak. Aku sudah tua pula. Tapi senyummu di foto setiap malam seperti
memintaku untuk memelukmu lagi.
Ah... kertas suratmu basah lagi.
Tulisannya kabur lagi. Tapi aku masih bisa membaca kata Ramadhan di sana. Pasti
dia sudah dewasa sekarang. Sama seperti satpam yang kulihat di bank tadi siang.
Sumpah mati wajahnya mirip sekali denganmu. Apakah aku terlalu rindu padamu ya?
Sampai-sampai segala sesuatu menjadi berpusat padamu. Mungkin.
Aku mengembalikan buntalan surat dari
mu di bawah baju saat seseorang mengucap salam dari luar sana.
Aku bergegas ke depan, mungkin
seseorang sedang cari tempat kos.
“Waalaikumussalam...” satpam tadi?
“Ah Bapak yang di Bank tadi siang ya?
Wah dunia ini sungguh sempit ternyata. Saya sedang cari kos ada kamar kosong?”
ia tersenyum dengan caramu.
“Ya, masuk-masuk” kataku sedikit
bergetar, entah karena terlampau senang, entah karena tua.
Kami duduk di teras. Dadaku berdesir,
aku melihatmu di wajahnya. Benarkah dia...
“Kenalkan Pak, nama saya Ramadhan
Raharja”
Aku semakin menelan ludah. Mataku
berkaca-kaca. Beni anak kos mengahampiri
kami.
“Pak Raharja, saya mau bayar tagihan
kos”
Ramadhan menatapku cepat merasa
memiliki nama yang sama denganku. Bisa kupastikan dia Ramadhan kita, Sayang.
Dia menjemputku. Terimakasih sudah mengirimnya. Sayup-sayup terdengar berita
dari radio dalam rumah, pemerintah menetapkan bulan Ramadhan jatuh esok hari.
(Cerpen ini ane ikutkan di sebuah lomba dan kalah. Nah makanya ane bikin soundcloud ngabisin jatah gagal. Kalah dalam sebuah kompetisi itu nggak ada rugi nya. Toh lombanya gretongan juga. Walaupun kalah at least ada karya yang akhirnya jadi dan bisa kita pelajari. Jadi tetap semangaaat. U yeah. #malahcurhat)
Comments
Post a Comment