Happy B'day
pict : klik |
Manusia punya hak dan
kewajiban. Hak yang paling hak adalah hidup dan kewajiban yang paling
wajib adalah mati. Aku belum pernah menyaksikan atau mendengar seseorang
melanggar kewajibannya untuk mati. Saat seorang coba melanggar
kewajiban untuk memakai helm, kewajiban mati datang lewat kepalanya yang
pecah di bawah roda truk. Saat kewajiban untuk tidak mengonsumsi
narkoba dilanggar kewajiban mati menghampiri lewat sendi-sendi yang
ngilu dan sakau yang mengiris. Jadi kita bisa melawan kewajiban apapun
kecuali mati.
Dan diam-diam selama beberapa hari ini aku tertarik untuk mati. Selama ini banyak orang yang merasa terpaksa harus mati. Orang yang ditinggalkan tidak siap, kita sendiri akhirnya tersiksa karena ternyata bekal kebaikan yang dikumpulkan tidak cukup. Mungkin kalau kita mati dengan suka rela akan lain ceritanya. Kita bisa jauh – jauh hari memberitahu orang tersayang, kita bisa menentukan di mana dan bagaimana kita mati. Kita bisa meminta siapa saja untuk melihat kita untuk terakhir kalinya. Dan yang terpenting kita bisa menghitung apakah bekal kebaikan kita akan cukup atau tidak.
Menurut kepercayaan Mesir kuno, seseorang yang mati tidak begitu saja mati. Ada pengadilan Tuhan yang harus ditempuh dulu sebelum orang mati bisa melanjutkan kehidupannya (atau kematiannya). Pengadilan Tuhan ini dipimpin oleh Ozares. Ozares tidak sendiri banyak tangan-tangan lain yang membantu seperti Tut yang merupakan dewa hikmah dan ilmu, lalu Anubes si pemimpin pemakaman orang mati dan guide orang mati di akhirat, Hures putra Ozares dan juga Ma’at dewi hakikat dan keadilan. Rupanya meskipun sudah di bantu empat dewa lain Ozares belum bisa memutuskan perkara kematian ini. Maka dihadirkanlah 42 hakim lagi untuk membantu.
Pengadilan Tuhan terbuka untuk siapa saja. Gendut, kurus, berkumis, botak, kaya, miskin, raja, budak—semua tanpa terkecuali. Di sana si mayat aka menyaksikan dirinya diadili, kejahatan dan kebaikan selama dia hidup ditimbang. Kalau timbangan kebaikan lebih berat ia akan hidup bahagia seperti Ozares, tapi kalau timbangan kejahatan yang lebih berat, maka ia akan disiksa dan dimakan binatang buas.
Tentu saja hakim-hakim itu tidak bisa dibeli seperti di Indonesia, karena yang membeli hukumpun akan menghadapi pengadilan Tuhan juga. Aku sangat berminat dengan pengadilan Tuhan ini. Dan aku sudah memutuskan bahwa aku ingin, kelak di pengadilan Tuhan timbangan kebaikanku bisa lebih berat dari kejahatan.
Sejak beberapa hari yang lalu aku sudah mulai menyusun rencana untuk kematianku. Aku mulai menghitung kebaikan-kebaikan yang poinnya besar lalu melakukannya dan aku menghindari melakukan kejahatan sekecil apapun. Aku juga sudah mulai berpamitan pada orang-orang tersayang seperti Mama dan Papa, sayang mereka hanya menganggapku bercanda. Hanya Isabel kucing Persiaku yang nampak sedih.
Untuk masalah tempat, aku ingin mati di tempat kos temanku karena di sana banyak sekali kenangan – kenangan tentang persahabatan kami. Selain Papa, Mama sahabatku lah orang yang selanjutnya kucintai. Aku juga memberi kehormatan pada sahabatku untuk menyaksikanku meregang nyawa. Aku berjanji padanya, kalau aku mati dan nanti tiba-tiba bisa hidup lagi, akan kuceritakan perihal pengadilan Tuhan. Masalah caranya, sebenarnya ada beberapa opsi – mulai dari gantung diri, sampai menembak kepala dengan pistol. Tapi aku pilih yang paling klasik saja, menyayat nadi.
Aku memutuskan hari ini untuk mati dan menghadapi pengadilan Tuhan. Hari ulangtahunku yang ke tujuh belas, bloody sweet seventeen akan jadi tema ulangtahun dan kematianku. Pisau, tali untuk mengatupkan mulutku yang mungkin menganga saat mati sudah kusiapkan.
**
Aku sedang bercerita santai pada Ana di kamar kosnya. Sepuluh menit lagi waktu ku untuk pergi. Ku lihat Ana nampak frustasi dan berlinang air mata. Kenapa sih harus begitu? Toh semua orang juga wajib mati, aku hanya memutuskan untuk menjalani kewajiban dengan caraku. Seharusnya dia menghargai itu.
“Pisaunya tajem baget nih Na, baru gue asah kemarin”
“Sher, gue mohon lo berhenti ya”
“Lo selalu dukung gue dalam hal apapun, kenapa yang ini nggak?”
“Bahaya Sher, lo mainan nyawa”
“Justru gue memberi kepastian”
“Pikirin Mama Papa Lo!”
“Mereka nggak peduli”
“Pikirin gue!”
“Lo gue kasih kehormatan buat lihat fenomena kematian secara langsung. Sini deh Na, mendekat”
Sambil pasang tampak takut karena melihat pisau yang berkilat-kilat, Ana mendekatiku yang duduk dipinggir jendela. Ia mendekatiku ragu-ragu lalu merengkuhku sambil terisak-isak.
“Na, lo temen terbaik gue. Bukan, lo sahabat gue. Lo lihat aliran sungai di bawah kosan lo deres banget? Ini tandanya Tuhan emang merestui rencana gue. Gue mau kalau nanti gue udah mati lo langsung dorong jasad gue kesana. Biar ikut aliran sungai”
“Jangan Sher jangan, gue mohon...” Ana tidak hanya menangis sekarang. Dia teriak-teriak histeris. Tinggal lima detik lagi.
“Lo diem Na, gue akan mulai hitung mundur dari lima”, Ana diam menutup mulutnya. Tidak tahu lagi bagaimana mencegahku. Aku mulai melipat lengan kemejaku tinggi-tinggi dan membalikkan telapak tangan menghadap langit yang waktu itu cerah luar biasa. Mata pisau kuletakkan persis di atas nadiku.
“Lima, empat, tinga, dua, satu..."
"Crooootttt!!!!” Darah merah mengucur deras. Terciprat kemana-mana bahkan mukaku...
“Auuh... sakit” lirihku. Pandanganku mulai kabur, ada air yang menggenang di sana. Mulut Ana nampak komat kamit menyampaikan sesuatu padaku tapi sudah tidak jelas dan sulit terdengar. Aku benci keadaan seperti ini. Tapi ini membuatku menyadari satu hal kematian adalah hal yang indah ternyata. Indah dalam arti sebenarnya.
**
Setelah beberapa saat aku turun dari bingkai jendela, menghampiri Ana yang tergeletak tak berdaya di bawah kakiku. Wajahnya mulai pucat. Tubuhnya sedikit mengejang.
“Sakit ya Na?” tanyaku sambil berjongkok. Persis di kupingnya.
“Sh...sh...” ia megap-megap tak jelas. Pisau itu tertancap kuat tepat di jantungnya. Aku merasa bersalah karena ternyata aku kurang lama mengasah pisau, itu membuatnya tidak segera lewat. Sekarang dia sudah benar-benar diam.
“Selamat mengahadapi pengadilan Tuhan ya Na. Salam untuk Ozares”, aku menutup matanya yang membelalak lalu mengikat mulutnya yang menganga dengan tali yang kubawa. Perlahan kuseret tubuhnya yang masih mengeluarkan darah, kubopong sebentar dan “Ugh...” kulempar ke sungai, alirannya nampak antusias menyambut jasad Ana. Dengan perlahan aku membersikan tanganku yang berlumur darah dengan mengusapkannya pada tembok. Sambil mengamati jasad Ana yang timbul tenggelam terbawa arus sungai.
Kamu tau Na, lima detik terakhir saat kamu hanya menutup mulutmu dengan tangan dan tidak melakukan apapun untuk mencegahku, aku tahu kamu sahabat yang paling baik karena kamu bahkan mendukung usahaku untuk bunuh diri. Kamu sangat totalitas sebagai sahabat. Itulah yang membuatku berubah pikiran. Kamu orang baik Na, That’s why I send you first. Dalam keabadian.
Oh iya btw, selamat ulang tahun yang ke tujuh belas untuk kita berdua ya. Tahun kemarin kita masih merayakannya sama-sama di atas roller coaster. Mulai hari ini dan tahun-tahun kedepan aku tahu aku harus sendiri.
Aku coba meraih tas yang ada di atas ranjang. Ada kotak berisi cup cake yang rencananya akan kuberikan untuk Ana tapi semuanya berubah, aku duduk lemas di atas genangan darah Ana, mengambil korek dari saku celana dan menyalakan lilin di atas cup cake cantik dengan angka 17 dari fondan...
"Happy birthday to you"
aku menyanyi sambil tersengal lemah, air mata ini asin campur getir
"Happy birthday to you"
aku mulai memegang cup cake dengan tangan kiri lalu memakannya sedikit demi sedikit dari bawah
Happy Birthday- happy birthday
tenggorokkanku mulai terasa seperti dicekik
"Happy birthday to you"
rasanya mual, sebentar lagi aku pasti ambruk
"Fuh,,," lilinnya mati. Dan sisa cupcake itu menggelinding tenggelam dalam campuran darah dan busa-busa.
Dan diam-diam selama beberapa hari ini aku tertarik untuk mati. Selama ini banyak orang yang merasa terpaksa harus mati. Orang yang ditinggalkan tidak siap, kita sendiri akhirnya tersiksa karena ternyata bekal kebaikan yang dikumpulkan tidak cukup. Mungkin kalau kita mati dengan suka rela akan lain ceritanya. Kita bisa jauh – jauh hari memberitahu orang tersayang, kita bisa menentukan di mana dan bagaimana kita mati. Kita bisa meminta siapa saja untuk melihat kita untuk terakhir kalinya. Dan yang terpenting kita bisa menghitung apakah bekal kebaikan kita akan cukup atau tidak.
Menurut kepercayaan Mesir kuno, seseorang yang mati tidak begitu saja mati. Ada pengadilan Tuhan yang harus ditempuh dulu sebelum orang mati bisa melanjutkan kehidupannya (atau kematiannya). Pengadilan Tuhan ini dipimpin oleh Ozares. Ozares tidak sendiri banyak tangan-tangan lain yang membantu seperti Tut yang merupakan dewa hikmah dan ilmu, lalu Anubes si pemimpin pemakaman orang mati dan guide orang mati di akhirat, Hures putra Ozares dan juga Ma’at dewi hakikat dan keadilan. Rupanya meskipun sudah di bantu empat dewa lain Ozares belum bisa memutuskan perkara kematian ini. Maka dihadirkanlah 42 hakim lagi untuk membantu.
Pengadilan Tuhan terbuka untuk siapa saja. Gendut, kurus, berkumis, botak, kaya, miskin, raja, budak—semua tanpa terkecuali. Di sana si mayat aka menyaksikan dirinya diadili, kejahatan dan kebaikan selama dia hidup ditimbang. Kalau timbangan kebaikan lebih berat ia akan hidup bahagia seperti Ozares, tapi kalau timbangan kejahatan yang lebih berat, maka ia akan disiksa dan dimakan binatang buas.
Tentu saja hakim-hakim itu tidak bisa dibeli seperti di Indonesia, karena yang membeli hukumpun akan menghadapi pengadilan Tuhan juga. Aku sangat berminat dengan pengadilan Tuhan ini. Dan aku sudah memutuskan bahwa aku ingin, kelak di pengadilan Tuhan timbangan kebaikanku bisa lebih berat dari kejahatan.
Sejak beberapa hari yang lalu aku sudah mulai menyusun rencana untuk kematianku. Aku mulai menghitung kebaikan-kebaikan yang poinnya besar lalu melakukannya dan aku menghindari melakukan kejahatan sekecil apapun. Aku juga sudah mulai berpamitan pada orang-orang tersayang seperti Mama dan Papa, sayang mereka hanya menganggapku bercanda. Hanya Isabel kucing Persiaku yang nampak sedih.
Untuk masalah tempat, aku ingin mati di tempat kos temanku karena di sana banyak sekali kenangan – kenangan tentang persahabatan kami. Selain Papa, Mama sahabatku lah orang yang selanjutnya kucintai. Aku juga memberi kehormatan pada sahabatku untuk menyaksikanku meregang nyawa. Aku berjanji padanya, kalau aku mati dan nanti tiba-tiba bisa hidup lagi, akan kuceritakan perihal pengadilan Tuhan. Masalah caranya, sebenarnya ada beberapa opsi – mulai dari gantung diri, sampai menembak kepala dengan pistol. Tapi aku pilih yang paling klasik saja, menyayat nadi.
Aku memutuskan hari ini untuk mati dan menghadapi pengadilan Tuhan. Hari ulangtahunku yang ke tujuh belas, bloody sweet seventeen akan jadi tema ulangtahun dan kematianku. Pisau, tali untuk mengatupkan mulutku yang mungkin menganga saat mati sudah kusiapkan.
**
Aku sedang bercerita santai pada Ana di kamar kosnya. Sepuluh menit lagi waktu ku untuk pergi. Ku lihat Ana nampak frustasi dan berlinang air mata. Kenapa sih harus begitu? Toh semua orang juga wajib mati, aku hanya memutuskan untuk menjalani kewajiban dengan caraku. Seharusnya dia menghargai itu.
“Pisaunya tajem baget nih Na, baru gue asah kemarin”
“Sher, gue mohon lo berhenti ya”
“Lo selalu dukung gue dalam hal apapun, kenapa yang ini nggak?”
“Bahaya Sher, lo mainan nyawa”
“Justru gue memberi kepastian”
“Pikirin Mama Papa Lo!”
“Mereka nggak peduli”
“Pikirin gue!”
“Lo gue kasih kehormatan buat lihat fenomena kematian secara langsung. Sini deh Na, mendekat”
Sambil pasang tampak takut karena melihat pisau yang berkilat-kilat, Ana mendekatiku yang duduk dipinggir jendela. Ia mendekatiku ragu-ragu lalu merengkuhku sambil terisak-isak.
“Na, lo temen terbaik gue. Bukan, lo sahabat gue. Lo lihat aliran sungai di bawah kosan lo deres banget? Ini tandanya Tuhan emang merestui rencana gue. Gue mau kalau nanti gue udah mati lo langsung dorong jasad gue kesana. Biar ikut aliran sungai”
“Jangan Sher jangan, gue mohon...” Ana tidak hanya menangis sekarang. Dia teriak-teriak histeris. Tinggal lima detik lagi.
“Lo diem Na, gue akan mulai hitung mundur dari lima”, Ana diam menutup mulutnya. Tidak tahu lagi bagaimana mencegahku. Aku mulai melipat lengan kemejaku tinggi-tinggi dan membalikkan telapak tangan menghadap langit yang waktu itu cerah luar biasa. Mata pisau kuletakkan persis di atas nadiku.
“Lima, empat, tinga, dua, satu..."
"Crooootttt!!!!” Darah merah mengucur deras. Terciprat kemana-mana bahkan mukaku...
“Auuh... sakit” lirihku. Pandanganku mulai kabur, ada air yang menggenang di sana. Mulut Ana nampak komat kamit menyampaikan sesuatu padaku tapi sudah tidak jelas dan sulit terdengar. Aku benci keadaan seperti ini. Tapi ini membuatku menyadari satu hal kematian adalah hal yang indah ternyata. Indah dalam arti sebenarnya.
**
Setelah beberapa saat aku turun dari bingkai jendela, menghampiri Ana yang tergeletak tak berdaya di bawah kakiku. Wajahnya mulai pucat. Tubuhnya sedikit mengejang.
“Sakit ya Na?” tanyaku sambil berjongkok. Persis di kupingnya.
“Sh...sh...” ia megap-megap tak jelas. Pisau itu tertancap kuat tepat di jantungnya. Aku merasa bersalah karena ternyata aku kurang lama mengasah pisau, itu membuatnya tidak segera lewat. Sekarang dia sudah benar-benar diam.
“Selamat mengahadapi pengadilan Tuhan ya Na. Salam untuk Ozares”, aku menutup matanya yang membelalak lalu mengikat mulutnya yang menganga dengan tali yang kubawa. Perlahan kuseret tubuhnya yang masih mengeluarkan darah, kubopong sebentar dan “Ugh...” kulempar ke sungai, alirannya nampak antusias menyambut jasad Ana. Dengan perlahan aku membersikan tanganku yang berlumur darah dengan mengusapkannya pada tembok. Sambil mengamati jasad Ana yang timbul tenggelam terbawa arus sungai.
Kamu tau Na, lima detik terakhir saat kamu hanya menutup mulutmu dengan tangan dan tidak melakukan apapun untuk mencegahku, aku tahu kamu sahabat yang paling baik karena kamu bahkan mendukung usahaku untuk bunuh diri. Kamu sangat totalitas sebagai sahabat. Itulah yang membuatku berubah pikiran. Kamu orang baik Na, That’s why I send you first. Dalam keabadian.
Oh iya btw, selamat ulang tahun yang ke tujuh belas untuk kita berdua ya. Tahun kemarin kita masih merayakannya sama-sama di atas roller coaster. Mulai hari ini dan tahun-tahun kedepan aku tahu aku harus sendiri.
Aku coba meraih tas yang ada di atas ranjang. Ada kotak berisi cup cake yang rencananya akan kuberikan untuk Ana tapi semuanya berubah, aku duduk lemas di atas genangan darah Ana, mengambil korek dari saku celana dan menyalakan lilin di atas cup cake cantik dengan angka 17 dari fondan...
"Happy birthday to you"
aku menyanyi sambil tersengal lemah, air mata ini asin campur getir
"Happy birthday to you"
aku mulai memegang cup cake dengan tangan kiri lalu memakannya sedikit demi sedikit dari bawah
Happy Birthday- happy birthday
tenggorokkanku mulai terasa seperti dicekik
"Happy birthday to you"
rasanya mual, sebentar lagi aku pasti ambruk
"Fuh,,," lilinnya mati. Dan sisa cupcake itu menggelinding tenggelam dalam campuran darah dan busa-busa.
Comments
Post a Comment