Taman Pelangi
Dentum suara
petasan membelah langit Jogja malam ini. Tak hanya itu, bunga api warna-warni
yang entah disulut oleh siapa bertaburan indah mempercantik pekatnya langit
kota. Gerimis tidak berhenti sejak satu jam lalu. Namun bukankah skenario Tuhan
yang seperti ini maha sempurna? Langit indah dimalam hari ditemani
rintik-rintik hujan di sebuah tempat yang penuh dengan lampion berbagai rupa
saat pergantian tahun. Bukankah ini romantis?
Aku duduk
sendiri di atas bangku panjang berwarna coklat, di dalam sebuah kafe yang mau
tak mau harus buka hingga dini hari. Ini malam tahun baru teman, tentu saja
muda mudi baru keluar jam sembilan malam, dan mungkin enggan pulang hingga
subuh. Kalau kafe ini tutup seperti jam biasa, berapa ratus ribu yang mereka
buang sia-sia.
Latte ku
yang kedua. Aku berjanji pada Ibu untuk tidak banyak-banyak minum kopi, Aku
ingin pesan secangkir lagi tapi urung.
Aku segera sadar ada yang harus kujaga, bukan hanya diriku sendiri, ada yang
lain yang harus kupedulikan. Maka untuk berikutnya aku memesan air mineral.
Sudah satu
jam lebih aku disini sejak pukul sepuluh, ayah berjanji menjemputku pukul Satu
dini hari. Aku yakin pantatku tak akan pegal ditempat ini, toh setahun lalu
tepat ditanggal yang sama aku pernah berada disini dari sore hingga pagi.
Berlarian riang, foto sana sini bak model majalah remaja, makan ini itu, duduk
dan memesan kopi di kafe ini. Bedanya
aku tidak sendiri, ada dia yang duduk disampingku, ada dia yang membantu
merapikan kuciran kudaku, ada dia yang melingkarkan cicin di jari manisku.
---
Dia adalah
siswa baru di sekolahku. Datang dari Jakarta. Dari perkenalannya aku tahu namanya
Bahana, wajahnya tampan seperti tokoh-tokoh yang ada di komik Jepang.
Sebentar-sebentar, kalau ku amati lebih seksama wajahnya mirip sekali dengan
salah satu tokoh di serial Slam Dunk, ah iya dia mirip sekali dengan Rukawa.
Tubuhnya tinggi atletis, matanya sedikit sipit, kulitnya putih bersih tanpa
sedikitpun noda atau jerawat di wajah. Aku yakin, jika ia mendaftar sebagai
model iklan pembersih wajah pasti akan dipertimbangkan. Tapi apa yang bisa
dilakukan oleh anak kelas satu SMP yang akan naik ke kelas dua, setampan-tampan
dia, wajahnya masih terlalu kanak-kanak untuk jualan sabun wajah. Bahana duduk
tepat di sebelahku. Ia meletakkan tas di atas meja sambil mengulurkan tangan,
“Bahana, tapi boleh di panggil Bana”, aku menyambut uluran tangan Bahana sambil
tersenyum melihat lirikan sirik teman-teman perempuanku di kelas “Jasmin,
panggil saja Jasmin”.
Satu jam
duapuluh menit duduk di sebelah Bahana, aku tau dia sangat rajin mencatat.
Apapun selalu ia catat, termasuk hal-hal yang tidak penting. Ah mungkin ada
otak seorang obeserver nyangkut di kepalanya. Yang kedua, Bahana tidak banyak
bicara. Kalau dia tau aku butuh sesuatu ia langsung tanggap menyodorkan tanpa
banyak berkata-kata. Seperti tadi ketika aku salah mencatat, dan uring-uringan
karena lupa membawa Tip Ex, Bahana langsung membukakan kotak pensilnya untukku.
Ada lagi yang bisa kusimpulkan dari seorang Bahana, tapi aku tidak yakin. Kalau
aku tidak salah tebak Bahana suka mengkliping foto-foto dari majalah, bindernya
dipenuhi oleh hal-hal semacam itu.
Istirahat
tiba, Serly dan Dania menghampiri mejaku. Ber ehem-ehem ria. Aku menyikut
lengan Bahana, ia sedikit kaget sampai akhirnya sadar ada dua gadis salah
tingkah yang mengajak kenalan. Bahana mengulurkan tangan terlebih dulu, yang
disambut dengan wajah berbinar dari mereka berdua. Dasar genit. Tiga menit
menunggu tidak sepatah katapun keluar dari mulut Bahana, mereka jengah dan
akhirnya pergi meninggalkan kami.
“Kamu nggak
jajan Min?”,tanya Bahana ragu-ragu. Aku melotot kesal “Bana, tolong jangan
panggil Min. Emangnya namaku Mimin? Panggil yang lengkap Jasmin. J-A-S-M-I-N”.
Bahana tertawa “O...ow... galak juga si Mimin, eh Jasmin. Maaf-maaf, Jasmin
nggak jajan?”. Kalau tadi aku sempat bilang si Bahana ini pendiam, berarti aku
khilaf, Bahana ini ga ada pendiam-pendiamnya dia rese. “Aku nggak pernah jajan”,
“ buat apa jajan kalau bisa bawa bekal
sendiri” kataku dan Bahana hampir bersamaan, aku bengong, kok bisa kami
berdua sekompak itu? Tawa kami pecah. Ia mengeluarkan sekotak nasi goreng
dengan telur dadar, ragu-ragu aku juga mengeluarkan menu yang sama. Aku
menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kok
bisa samaan sih? Mulai detik itu kami sepakat mengatur menu bekal makanan
supaya bervariasi dan kami bisa saling mencicipi.
Istirahat
lima belas menit rasanya kurang untuk ngobrol dengan Bahana, ternyata Bahana
asik. Banyak hal baru yang aku pelajari dari dia. Dia juga hebat, foto-foto
dari majalah yang ada di bindernya semua hasil jepretannya. Bukan kliping dari
majalah hehe. Iya, Bahana adalah seorang fotografer muda berbakat. Beberapa
fotonya sudah nampang di majalah nasional, bahkan katanya ada juga satu majalah
internasional yang memuat hasil karyanya “Berarti kamu tukang poto ya?”,
tanyaku asal sambil membolak – balik foto di binder Bahana. Bahana nampak
berfikir sebentar, ia menggigit ujung bibirnya, belakangan aku tahu, itu adalah
gaya khas Bahana ketika berfikir. “Sebenernya ada istilah yang lebih keren sih,
fotografer. Bukan tukang foto. Tapi kayaknya disebut tukang foto juga nggak
masalah” Bahana tersenyum menjawab pertanyaanku. Aku menyeringai nakal “Bana,
mulai sekarang aku mau panggil kamu Popo, kependekan dari poto-poto, gimana?
Lebih keren kan?” Bahana mendengus sebal “Oke, nggak masalah. Tapi aku juga manggil
kamu Mimin ya... soalnya ukuran kamu mini” balas dia asal, sambil nyengir puas
dan menepuk pundakku. Sial. Tapi kesepakatan sudah kami buat, masalah panggilan
dan juga persahabatan kami.
Bahana
adalah sahabat yang menyenangkan juga menenangkan. Aku dan Bahana selalu saling
dukung dalam hal apapun, aku mati-matian mempelajari ilmu fotografi agar bisa
nyambung saat ngobrol dengannya. Bahana juga tidak pernah lelah maupun bosan
memberi masukan atau pujian untuk corat coret desain baju yang kubuat, aku
memang bercita-cita ingin menjadi desainer terkenal.
Hampir lima
semester kami bersahabat, kelulusan SMP pun tiba. Bahana menyarankanku untuk
masuk SMK agar bakat desainku lebih terasah. “Min, kamu pasti bisa jadi
desainer terkenal. Desain-desain baju bikinan kamu tuh nggak kalah sama
karyanya siapa itu Anne... Anne...”, “Anne Avantie” kataku menimpali. “ Nah
Anne Avantie, yah meskipun kadang masih aneh dan ga jelas, tapi aku yakin kamu
pasti bisa jadi desainer terkenal kok”, “Adow..adow...sakit Min” Ia menjerit
sambil menepis tanganku yang sudah berhasil mecubit pinggangnya gara-gara
mengatai desainku aneh dan tidak jelas, enak saja.
Sejurus kemudian ia memegang kedua pundakku
menatapku serius, ada kesungguhan dari sorot matanya “Min kamu masuk SMK ya”.
Mataku berkaca-kaca, aku yakin dia bilang begitu pasti karena dibujuk Ibu, Ibu
tau anaknya yang satu ini tidak mau sekolah, kalau tidak bersama-sama dengan
Bahana, sahabat karibnya. Satu-satunya lelaki yang mengisi kehidupannya setelah
ayah. Aku melepaskan tangan Bahana, “Nggak mau Popo, aku maunya sekolah bareng
kamu, sebangku sama kamu, main bareng kamu...” tanpa terasa air mataku sudah
mengalir campur ingus, aku terisak-isak kepayahan. Dadaku naik turun
tersengal-sengal. “Aduh Min, cengeng sama jorok kamu tuh nggak ilang-ilang ya,
nih dilap ingusnya”, Bahana menyodorkan tisu padaku. Bahana mengajakku untuk
duduk di pinggir kolam ikan belakang sekolah “Min, denger baik-baik.
Persahabatan itu kaya siang dan matahari, malam dan bulan. Mereka tidak menyatu
tapi mereka selalu bertemu. Mereka memiliki tugas berbeda tapi berpadu dan
tidak saling menyakiti. Min kalau kamu masih nganggep aku sahabat, kamu masuk
SMK! Deal?”, itu kalimat perintah, aku mengangguk pelan. Kasian Bahana, pasti
semalam dia memikirkan kalimat gombal sok puitis tentang sahabat itu
mati-matian. Mana nggak nyambung lagi bulan matahari siang malam apa coba?
Kami
berpisah mulai saat itu, Bahana kembali ke Jakarta. Aku melepasnya untuk
terakhir kali di bandara Adi Sucipto, Papa Bahana menghadiahkanku Hand Phone
agar aku dan Bahana tetap bisa terhubung. Kami tetap bersahabat dan tetap
karib.
Tiga tahun
sejak perpisahanku dengan Bahana, ia sangat sering berkunjung ke Jogja.
Mengajakku foto sana-foto sini, jepret ini – jepret itu. Membidik lampu kota dan
objek lainnya. Hasilnya, “Bangga Po, punya temen kaya kamu. Ga salah kamu
berhenti sekolah dan fokus untuk belajar fotografi, hasil jepretan kamu
brilliant” pujiku ikhlas. Yang dipuji hanya mesam-mesem, tidak merasa hebat
sama sekali. “Mimin Mimin, kamu ga inget dulu waktu orangtuaku habis-habisan
menentang aku, siapa yang ngebelain dan kasih argumen ke mereka, siapa yang
bilang kalau kesuksesan itu bukan dilihat dari berapa banyak gelar yang dia
dapat, tapi sebahagia apa hidupnya? kamu Min, kamu yang bikin aku bisa kaya
sekarang. Makasih Mimin”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kok si
Bahana jadi berlebihan gini ya?
Aku
menjalani kuliah di salah satu universitas negri di Jogja jurusan desain
busana. Bahana, aktif mengisi seminar fotografi dimana-mana, sekarang dia
sering terbang Amerika, Prancis, Malaysia, Jepang. Menyenangkan ya?
Bahana
datang ke Jogja membawa oleh-oleh dari London. Sesungguhnya hari itu aku malas
menemuinya, entah sejak kapan aku suka deg-degan kalau mengingat Bahana.
Mengingat saran-sarannya, mengingat perhatiannya. Kalau dipikir-pikir Bahana
lumayan juga, wajah khas Rukawanya semakin dewasa, sekarang dia sudah
benar-benar cocok untuk jualan sabun wajah. Sikapnya, jangan ditanya. Ia lelaki
paling lelaki yang pernah kutemui. Pekerja keras, tanggap, cekatan, bisa tegas
ketika harus tegas, namun mudah lunak dan mengalah dalam situasi tertentu. Ia
baik tidak hanya padaku tapi pada semua orang, bedanya di depan orang lain ia
lebih banyak menjadi pribadi pendiam. Sehingga orang lain akan menganggapnya
dewa sempurna tanpa cela. Tapi didepanku, yah terlepas dari sikap-sikap baik
yang dia punya, jailnya setengah mati. Pernah suatu ketika saat kami SMP Bahana
sengaja melepas ban sepedaku dan bersama teman-teman lelaki kami, mengikatkan
ban ku di atas pohon. Jadilah siang itu aku pulang dibonceng Bahana. Baru
paginya ia membenahi sepedaku. Anak kurangajar.
Bila
kuingat-ingat sepertinya Bahana belum pernah punya pacar. Ah bahkan bercerita
tentang perempuan yang ia sukapun belum pernah. Masa sih lelaki sesempurna
Bahana belum ada yang punya. Di Jakarta kan perempuannya cantik-cantik, mungkin
ada salah satu yang singgah di hati Bahana? Loh kenapa aku harus bingung, aku
kan sahabatnya, aku puya hak untuk tau lebih dulu siapa wanita yang disukai
Bahana. Bahana harus cerita kepada sahabatnya ini. Dan aku akan siap-siap
menjadi pendengar terbaik atas kisah cinta Bahana. Aku tersenyum hambar di depan
cermin. Dalam hati aku berharap semoga tidak
ada kisah cinta apa-apa dari Bahana, kalau ada pasti membosankan. Tolong jangan
ada kisah apapun kumohon. Tolonglah Bahana cerita apapun kecuali masalah
cinta.
Pukul 16.00
Bahana akan menjemputku. Entah apa yang menyebabkanku kali ini berdandan lebih
cantik, aku yang biasanya cuek dengan pakaian yang kukenakan kini mulai coba
memadupadankan dengan baik. Tapi aku juga tidak mau berlebihan, kemeja kuning
gading dengan celana jeans tiga perempat berwarna hitam, dan sepatu flat yang
berwarna senada dengan kemeja. Rambutku biasa saja ku kucir kuda. Sedikit bedak
dan pulasan lip gloss yang langsung kuhapus kasar dengan punggung tangan. Ah
apa-apaan sih Jasmin, cuma mau ketemu Popo aja ribet.
Bahana sudah
duduk manis dikursi ruang tamu, blazer coklat tua sangat pas dipadukan dengan
kaos bermodel v neck warna hitam. Ia menggunakan celana jeans yang pas tapi
tidak ketat. Rukawa Indonesia, sudah siap kencan. Apa? Bukan kencan kami berdua
hanya akan jalan-jalan seperti biasa. Sahabat mana ada yang kencan Jasmin.
Bahana tersenyum padaku, aku sedikit gugup, sejak kapan dia punya senyum
semanis itu. Biasanya biasa saja.
“Wow, ibu
desainer kita sekarang udah pinter dandan ya, kamu cantik Min”,aku hampir
menimpuk Bahana dengan sepatu flatku. Aduh Bahana, dia pasti tidak tau kalau
akhir-akhir ini aku sedikit pemalu dan sensitif. Kata-kata Bahana barusan
efeknya magis. “Ya ampun Min kamu tuh dipuji bukannya bilang makasih malah mau
nimpuk aku”, “Ya,ya makasih... aku emang cantik dari lahir” jawabku ketus.
Setelah berpamitan pada ibu kami berangkat. Kali ini tidak dengan sepeda
seperti ketika Bahana mengerjaiku waktu itu. Mobil sedan warna hitam metalik
mengantarkan kami membelah kota gudeg tercinta.
Sepi, aku
diam, Bahana diam. Di dalam mobil kami hanya memutar lagu Adelaide Sky Aditya
Sofyan berulang-ulang itu lagu favorit kami. “Gimana kuliahmu Min?” akhirnya
Bahana memutuskan memecah kebekuan diantara kami. “Eh?” aku yang kaget
gelagapan menjawab patah-patah “La..lanca..r Po”, “Alhamdulillah, baguslah.
Besok-besok boleh dong minta di deasinin Jas?”, aku melirik Bahana, yang
dilirik fokus memperhatikan jalan di depan sambil tersenyum, “Jas apa?”, “Jas
nikah dong Mimin” katanya sambil menatapku hangat. “Untuk kamu gratis Po”
kataku lirih tak bersemangat. Ada sesuatu kurang nyaman yag menelusup, entah ia menangkap gelagatku atau
tidak.
Harapanku
masih sama semoga tidak ada kisah cinta membosankan dari Bahana di tempat ini,
di sebuah monumen yang bagian depannya disulap menjadi taman bermain yang
lengkap dengan bom bom car, ratusan lampion berbagai rupa dan juga kafe-kafe
tenda. Taman Pelangi. Dari gerbang masuk Bahana sudah sibuk jepret ini itu,
menjepret Bak sampah, lampion-lampion, balon-balon, anak menangis, semua jadi
objek jepretan Bahana, kecuali aku.
“Cekrek”, terasa blitz kamera sedikit menyialukan mata. “Belom siap Po...” Bahana tertawa jail. Sesi foto-foto
berjalan lancar, setelah itu kami memutuskan untuk menyewa sepeda tandem
mengelilingi monumen Jogja Kembali. Puas bersepeda, kami main petak umpet.
Norak memang mengingat kami sudah dewasa. Tapi kami kangen dengan masa-masa
kecil kami. Tidak terasa adzan maghrib berkumandang Taman Pelangi makin ramai,
hari ini taggal 31 Desember tak kurang dari enam jam lagi, kami akan merayakan
tahun baru. “Min ayok sholat” ajak Bahana, aku menggeleng “baru dapet” bisikku lirih.
“Oh baru dapet” katanya keras-keras, pengunjung lain sontak menoleh kearah
kami. Aku melempar Bahana dengan bungkus popcorn ditanganku, awas ya. Bahana
berjingkit dan lari menjauh sambil tertawa-tawa.
Saat aku
sendiri, aku teringat lagi tentang jas nikah Bahana. Oh jadi dia sudah punya
calon? Aku tidak cemburu. Sungguh aku tidak cemburu. Aku hanya kesal kenapa dia
tidak cerita padaku? Aku kan sahabatnya, sahabat satu-satunya Bahana. Jas nikah
yang cocok buat Bahana sepertinya tidak ada, pasti semua jelek dipakai Bahana,
apalagi kalau nanti aku diminta mendesainkan gaun pengantin mempelai perempuan,
rasanya tidak bisa pasti tidak ada yang cocok, aku yakin. Ah aku gagal
mensugesti diriku sendiri, aku benar-benar cemburu. Setelah bertahun-tahun kami
bersama rasanya aku belum siap ada orang ketiga diantara kami, meskipun itu
kekasih Bahana yang tentu saja harus kuanggap sahabat juga. Kenapa urusannya
selalu kacau kalau menyangkut perasaan. Yah mungkin nanti kalau aku sudah tau
siapa calon Bahana, aku bisa mulai belajar menerima dia diantara kami. Dan aku
juga akan berbaik hati mendesainkan gaun pengantin untuknya, tidak gratis tentu
saja, kan sahabatku hanya Bahana bukan calon istrinya.
Sudah hampir
satu jam aku menunggu, Adzan Isya sudah berkumandang. Jangan-jangan Bahana
kabur, jangan-jangan dari jauh dia menertawai wajah cemasku. Tolong Bahana,
mood ku sedang tidak baik aku sedang tidak ingin bercanda.
“Bip bip” Ada sms masuk dari Bahana “Sorry Min lupa bilang aku sekalian sholat Isya, kalau
kamu mau makan pesen dulu aja. Ok?”. Sepertinya Bahana semakin relijius.
Apakah ini pengaruh dari calonnya? Baguslah kalo Bahana jadi alim. Seingatku
waktu SMP dulu dia masih sering bolos sholat Jumat. Aku balas singkat sms nya “Iye Pak Kyai”. Aku makan ayam rica-rica sendiri dan
memesankan satu porsi sup jagung untuk Bahana. Dari dulu Bahana tidak suka
makan daging, entah ayam, entah sapi, kambing, ikan juga tidak doyan. Nyaris
jadi vegetarian dia.
Cekrek,
Bahana datang sambil memotretku yang sedang makan. “Po, kalo mau motret tuh
bilang-bilang dong”, protesku “Nggak ah, bagus gini natural”. Gawat aku mulai
deg-degan lagi. “Ini sup buat aku Min?”, “I..i iya” jawabku gugup. Bahana
memperhatikan wajahku “Kamu ga sakit kan Min? dari tadi kayaknya kamu gugup
gitu”, dengan santainya ia menyetuh keningku dengan punggung tangannya “normal
kok”, kali ini ia bicara serius “kalo kamu sakit kita pulang sekarang Min” aku
menggeleng. Setelah dipaksa akhirnya aku mengalah untuk memakai blazer Bahana.
Ragu-ragu
aku bertanya “Jas nikahnya, mau dipake kapan Po?” kataku sambil
mengetuk-etukkan jari di atas meja, Ia menghentikan menyeruput sup jagung dan
mengigit ujung bibirnya, “dua bulan lagi lah”. Oh jadi beneran udah ada
calonnya?. “Orang mana?” tanyaku sejurus kemudian, tidak menyelidik tidak
memaksanya untuk menjawab. Bahkan kalau boleh jujur aku ingin Bahana diam saja
dan tidak menjawab. “Jogja” jawabnya ringan. Aku benar-benar ingin menyiramkan
latte di cangkirku ke wajahnya. Orang Jogja dan bisa-bisanya dia tidak cerita.
“Nanti habis makan aku cerita” sambungnya setelah melihat perubahan wajahku.
“Dia orang
Jogja Min, udah lama kenal sih, udah lama suka juga” aku menelan ludah, kelu. “
Anaknya baik, riang. Cuma di depan dia aku bisa jadi diri sendiri Min” aku
mulai menata hati, ternyata Bahana yang yang didepanku masih belum seutuhnya
menjadi diri sendiri, ada wanita lain yang lebih dia percaya, “aku bolak-balik
Jogja Jakarta juga cuma buat ketemu dia Min”, aku tau mataku mulai
berkaca-kaca, sebesar itu pengorbanan Bahana untuk wanita yang tak kukenal itu.
“Namanya...” “Selamat ya Po, kamu udah gede sekarang, udah mau nikah bentar
lagi” aku memotong perkataanya sambil beranjak pergi menjauh dari riuhnya hati
yang menyakitkan Sisanya aku tidak mau dengar lagi, nama wanita itu tidak
penting. Aku beranjak benar-benar akan berpaling menjauh sebelum akhirnya Bahana meraih
tanganku“Namanya Jasmin, Min”, kata Bahana “semoga kamu nggak lupa sama nama
asli kamu”, katanya sambil tersenyum. Riuh sesak itu berubah jadi gelora yang
berbunga. Aku masih tidak percaya. Jasmin? aku? aku belum tau apakah aku mencintainya atau tidak. Tapi mendengar namaku disebut sebagai calon pendampingnya, entah mengapa aku tidak marah atau keberatan. Harus kuakui aku senang. Senaaaang!
Malam itu dengan latar suara sorak sorai
hitung mundur dari angka kesepuluh, sembilan, delapan dan seterusnya, di bawah
gemintang malam dan pendar-pendar kembang api .
Kami resmi menaikkan level dari sepasang sahabat ke sepasang kekasih. Tidak ada
peluk-peluk norak gaya sinetron, kami merayakannya dengan minum kopi di bangku
panjang warna coklat di dalam sebuah kafe di Taman Pelangi. Hari ini tanggal 1
Januari 2011
---
Paginya
Bahana pamit pulang, cincin emas yang sudah ia lingkarkan di jari manisku
semalam menjadi pengikat kami. Ia akan pergi untuk workshop fotografi di
Toronto dalam waktu yang tidak sebentar. Dua bulan. Yah baru jadian, udah
ditinggal pergi batinku. Tapi aku senang sekarang semuanya jelas. Jelas bahwa
kami ternyata memang saling mencintai. Aku memutuskan untuk mencintainya semalam. Oke mungkin perasaan itu sudah kutabung sejak dulu, aku hanya enggan mengakui. Dan sekarang aku mengakuinya.
Aku tidak
bisa mengantarkan kepergian Bahana, kebetulan pagi ini ada kelas. Bahana tidak
marah ia hanya bilang “Yang rajin Min kuliahnya, kejar terus mimpi jadi
desainernya, dua bulan lagi aku balik ke Indonesia. Kamu siap-siap jadi Bu
Bahana ya”, aku tersipu malu, Bu Bahana? Kok kayanya nggak enak ya ditelinga.
Kurang keren. “Iya Po, kamu juga workshopnya yang bener, begitu sampai Toronto
jangan lupa kasih kabar. Nanti aku kasih tau cara irit telpon ke Indonesia”
kataku sambil tersenyum bangga, bisa kasih petuah. “Kita skype an aja ya yang gratis”
katanya sambil membenarkan kucir kudaku yang longgar, telak, kok nggak
kepikiran ya ada sarana gratisan. “Ya..ya, dasar nggak modal”, Ia hanya
tersenyum, masuk ke mobil dan melambaikan tangan.
--
Tiga bulan
selepas kepergian Bahana. Belum pernah sekalipun ia memberi kabar. Skype juga
tidak pernah. Aku telepon Papa-Mamanya tidak aktif, telepon Bahana apalagi.
Telepon rumahnya yang di Jakarta diangkat tapi menurut keterangan yang ku dapat
keluarga Bahana sudah pindah, entah kemana pemilik yang baru tidak tahu.
Aku hampir
gila, setelah kejadian tiga bulan lalu, sejak malam itu cincin emas ini tidak
pernah kulepas, mandipun kupakai. Ia harapan satu-satunya yang membuatku
percaya bahwa Bahana akan kembali. Takut gila beneran, aku mulai mengikuti
ajakan teman ku untuk rajin datang ke pengajian. Mendekatkan diri pada Allah,
mulai belajar sholat lima waktu secara rutin.
Empat bulan
setelah kejadian malam itu, banyak perkembangan yang terjadi, tidak hanya
sholat, aku terbiasa puasa sunnah, alhamdulillah. Hatiku juga jadi lebih
tenang. Hingga kini aku tidak pernah lelah menghubungi dan mencari tau dimana
Bahana dan keluarganya. Aku tidak akan membiarkan sedikitpun pikiran negatif
tentang Bahana masuk ke dalam otakku, aku tau siapa Bahana, aku mengenalnya lebih
dari sangat dekat.
Lima bulan
berlalu, aku melihat cincin yang melingkar di jari manisku. Aku menggumam pelan
“Udah lima bulan Po, kamu kemana?”, dimanapun kamu Bahana semoga setelah kamu
kembali ke Indonesia kamu masih mengenaliku, aku memutuskan untuk berjilbab.
Sebentar
lagi ujian semester dan aku mulai sedikit melupakan hubunganku dengan Bahana
yang semakin tidak jelas, aku hanya ingat ketika aku melihat cincin ditanganku.
Sarah sahabat baruku menyarankanku untuk total melupakanmu Bahana, mungkin di
sana kamu sudah menemukan wanita lain yang lebih baik, mungkin sudah ada yang
menjadi Mrs Bahana di luar sana.
Aku menepis
pikiran-pikiran negatif itu. Tapi entahlah dari kajian yang ku dapat selama
ini, setauku ikatan yang sah hanyalah ikatan pernikahan. Maka janji-janji kita
di Taman Pelangi waktu itu, di bawah gemintang yang berkelip genit menggoda,
ketika kembang api berbunga suka ria. Semua tidak bermakna apa-apa Bahana. Kita
bukan suami istri Bahana.
Genap satu
semester kau pergi tanpa kabar, dengan lemas, aku melepas cincin pemberianmu,
bukan aku tidak percaya lagi padamu. Tapi aku memutuskan untuk memutus hubungan
kita, sayangnya secara sepihak karena kamu sulit dihubungi. Aku hanya
menginginkan proses yang halal bagi ku. Enam bulan rasanya cukup untuk merubah
pola pikirku. Aku meletakkan cincin itu di kotak perhiasan milikku. Aku
menyimpannya Bahana, suatu saat kalau kamu pulang dan kita tidak berjodoh aku
akan mengembalikannya. Hari ini aku berangkat kekampus dengan atasan kemeja
putih polos, rok panjang bermotif bunga kecil-kecil dan jilbab biru langit
menutup dada.
--
“Jasmin”
Sarah berteriak memanggilku sambil tergopoh-gopoh saat aku sedang menyalin
catatan teman di kelas. Aku menatapnya heran “di..di bawah...”, aku masih
menatapnya penuh tanya, “Bahana,di bawah ada” kalimatnya mulai kacau. Tapi aku
tau maksudnya ia melihat Bahana di bawah, Benarkah?. Deg. Jantungku berdegup
lebih cepat, kalau itu benar dia, apa yang harus kulakukan saat aku bertemu
dengannya nanti? Menamparnya, meminta penjelasan kenapa ia kabur selama ini? Memintanya
duduk dan membelikannya kopi, mengajak ngobrol biasa seperti tidak terjadi
apa-apa, Atau langsung bilang “Bahana diantara kita sekarang tidak ada hubungan
apa-apa”. Wajahku pias, aku panik, aku tidak siap. Sarah menenangkanku “Oke
tenang Jasmin, ingat semanis apapun kata-katanya jangan termakan rayuan gombal
oke, hubungan yang sah hanyanlah pernikahan, segera minta putus, kalau kalian
berjodoh kalian pasti bersatu lagi dalam ikatan yang halal. Pernikahan Jasmin”,
Sarah sibuk mewanti-wanti ku seperti nenek-nenek yang mewanti-wanti cucunya
agar tidak pulang lewat jam sembilan malam. Aku mengangguk Sarah benar. Aku
juga tidak akan marah atas sikap tidak tanggung jawabnya kabur berbulan-bulan.
Aku melangkah mantap kebawah dari atas kulihat ia berdiri gagah, masih seperti
dahulu, dengan matanya yang sedikit sipit dan kulitnya yang putih bersih,
bedanya sekarang ia sedikit berjenggot. Oh Rukawa memelihara jenggot, sejak
kapan?
Ia menyadari
kehadiranku tatapan kami beradu, aku segera mengalihkan pandangan beristighfar.
Ia tampak tersenyum senang melihatku. Kami duduk ditemani Sarah. “Maaf” itu kata
pertama yang keluar dari mulutnya setelah ia pergi meninggalkanku selama
berbulan-bulan. “Iya Po, aku maafin” jawabku malu-malu. Aku melihatnya melirik
tangan kiriku tepat di jari manisku. “Cincinnya?”, tanyanya penasaran. “Ada di
rumah Po” ia bernapas lega. Ia panjang lebar menceritakan yang terjadi selama
enam bulan terakhir. Aku dan Sarah sama-sama berlinang air mata, bedanya aku menangis
sambil mengeluarkan ingus. “Aduh... Min, masih juga jorok ya, nih di lap
ingusnya”, Bahana menyodorkan tisu. Sarah pelan-pelan mentertawaiku. Aku gemas,
dan mencubit paha Sarah, yang dicubit meringis kesakitan, biar tau rasa.
“Aku seneng
Min kamu sekarang udah berjilbab, sebenernya aku mau bilang kamu tambah cantik,
tapi perempuan berjilbab nggak bisa dipuji sembarangan kan?” kata Bahana sambil
tertawa kecil. Aku menatap Bahana dengan tatapan iba, tapi aku segera
mengalihkan pandangan saat ia sadar aku mengamatinya, aku takut dia
tersinggung. Bahana, Ia memaksakan diri untuk tegar ditengah kondisinya yang
seperti ini. Aku urung bilang putus, nanti saja toh katanya malam nanti ia akan
kerumah.
--
Kali ini
Bahana menepati janjinya, tepat pukul 19.15 ia tiba dirumah, Ibu yang sudah
kuceritakan tentang segala sesuatu yang menimpa Bahana dan keluarganya langsung
memeluk Bahana erat-erat, seperti memeluk anaknya sendiri. Bahana menangis
haru, ia mengusapkan air mata yang menetes di mata ibu. Aku kembali menggunakan
cincin Bahana di jari manisku.
Ibu akhirnya
meninggalkan kami berdua. “Udah lama ya Po, kamu nggak kerumah ini”, “iya”,
katanya sambil terus mengusap air mata yang membuat wajahnya sembab. Ia memang
lelaki yang mudah terharu. “Popo, udah gede kok masih cengeng, nih di lap air
matanya” kataku sambil menyodorkan tisu. Ia menerimanya sambil tertawa. Sungguh
Ia tak tahu di lubuk hatiku yang paling dalam aku mati-matian berusaha untuk
tidak menangis... “Po”, “Min”. Kami bicara hampir bersamaan, “Oke ladies first”
, “Oh No..no... guest first” kataku meyakinkan. Ia berdehem sebentar “Setelah
ngasih tau semuanya ke kamu, sebenernya aku laki-laki yang paling nggak tau
malu, kalau aku tetap melakukan hal ini. Tapi nggak bisa nggak Min, aku harus
bilang ini ke kamu” Aku menggeser posisi dudukku membuat diriku senyaman
mungkin karena apapun bisa terjadi beberapa detik kedepan. “Mimin” ia menatapku
serius. “Kamu masih mau membina hubungan serius sama aku nggak? kita menikah,
meskipun entah sampai berapa lama. Kamu berhak menolak Min. Toh aku memang udah
nggak ada harapan lagi”, ia berlutut di hapanku memohon ku untuk
menikahinyanya. Aku tidak bisa tahan lagi, aku menangis kali ini . Ajaib! ingusku
tidak keluar. Keputusan cepat harus kubuat.
Siang tadi
ia bercerita, begitu tiba di Toronto ia merasa ada yang tidak beres dengan
dirinya, sebenarnya hal itu sering ia rasakan di Indonesia tapi ia abai. Untuk
yang kesekian kalinya Bahana muntah darah, takut mengganggu workshopnya ia
melakukan check up, kanker hati adalah diagnosis dokter. Ia lemas, shock. Ia
tidak tega menghubungiku. Maka ia segera menghubungi keluarga. Malangnya tepat
disaat yang bersamaan bisnis Papa Bahana ditipu orang, semua hartanya ludes.
Rumah, mobil disita. Ia tidak jadi mengabarkan tentang penyakitnya, takut
memperkeruh suasana, ia hanya bilang akan tinggal di Toronto lebih lama. Beruntung
Papanya orang yang cerdas dan hemat, ia masih punya tabungan yang cukup untuk
membeli rumah baru yang jauh lebih kecil, keluarga Bahana memulai bisnisnya
lagi dari nol. Biaya untuk pengobatan Bahana tidak kecil, ratusan juta. Sampai
saat ini ia masih merahasiakan penyakitnya pada keluarganya. Diam-diam selama
di sana ia menjadi fotografer freelance, alhamdulillah, karya-karya nya mendapat
apresiasi positif. Ia melakukan oprasi pertama yang bisa menyambung hidupnya
hingga saat ini. Ratusan juta sudah dia keluarkan, Bahana juga orang yang suka
menabung ia masih punya sisa uang yang bisa ia gunakan untuk menghidupi
keluarga kecil kami katanya.
Bukan, bukan
masalah finansial. Aku tetap akan menerima Bahana walaupun ia jatuh miskin.
Tapi sakitnya, aku berpacu dengan waktu, aku akan selalu was-was terhadapnya.
Jujur dari hati terdalam hanya Bahana yang bisa membuatku jatuh cinta setiap
hari, yang bisa membuat aku tersenyum. Tapi menikah dengan orang sakit
merupakan kebodohan. Aku tidak mau menikah atas dasar iba, aku juga berhak
bahagia, berhak memiliki suami yang panjang umur, yang bisa bersama-sama
membesarkan anak-anak kami. Bahana masih berlutut di depanku, menunggu jawaban
dariku. Keputusan sudah kubuat.
Aku
melepaskan cincin dari jari manisku, Bahana tersentak, namun ia tersenyum
meraihnya. Memasukkannya kedalam saku, aku tau ini berat baginya, bagiku bahkan
bagi ibu dan ayah yang dari tadi mengintip dari balik tirai ruang keluarga. Ia
beranjak setelah mengucapkan terimakasih. Selangkah sebelum ia benar-benar
meninggalkan rumah “Po”, ia tidak menoleh. Aku tahu perasaannya sama denganku
beberapa bulan silam saat di Taman Pelangi, ketika ia bercerita panjang lebar
dengan gadis yang dicintainya, yang ternyata aku. “Po, bawa lagi cincin itu
besok Ahad, bawa keluargamu juga. Kita menikah kita cari penghulu secepatnya
masih ada waktu tiga hari. Menikah siri pun tak masalah yang penting sah dulu,
untuk pencatatan sipil kita lakukan bersama lain waktu. Pasti bisa”, Wajahnya
berubah merekah cerah, seperti pualam yang terkena sorot mentari di pagi hari.
Ia mengangguk mantap dan melangkah pergi. Kulihat ayah dan ibu berpelukan
senang. Aku juga senang, aku lega, biar saja ada orang yang berkata aku bodoh.
Aku tau ini cinta, dan hanya orang-orang yang sadar cinta yang bisa membedakan
mana yang bodoh mana yang benar-benar cinta.
--
Resmi sudah
Bahana menjadi suamiku. Aku tinggal dirumah baru Bahana, kecil tapi nyaman.
“Sorry ya Min, udah nggak ada AC lagi sekarang, besok aku beliin kipas angin”,
“Alah ... aku nggak butuh kipas angin mas Po, Kaliurang kan udah dingin”,
sekarang panggilanku ke Bahana berubah, ada embel-embel mas. Biar lebih sopan,
gimanapun kan Bahana itu suamiku.
Setelah sebulan
tinggal di pondok mertua indah, Bahana memboyongku ke rumah baru kami. Hanya
aku dan dia. Jangan ditanya apa yang kami lakukan. Semua orang juga tau. Aku
sangat bahagia menikah dengan Bahana, ia bisa menjadi imam yang baik bagiku. Ia
juga lelaki yang lurus, berkali-kali ada tawaran untuk memotret model dengan
bayaran sangat tinggi, berkali-kali pula ditolaknya. Katanya, sayang kalo
matanya nggak ikut masuk surga. Aku terkekeh “PD banget mas”. Aku rutin
menemani mas Bahana check up ke Dokter, progresnya bagus. Ia juga semakin sehat
sudah jarang batuk-batuk dan mengeluh sakit lambung lagi.
Malam itu
tepat empat bulan kami menikah, belum ada tanda-tanda aku hamil. Mas Bahana
tenang, tidak menyoalkannya. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, nyinyir dan jail.
“Udah empat bulan lho... isinya kemana?”, ada juga yang menyarankan , “Priksa
di sini lho mbak Jasmin, uampuh manjur”, ada juga yang terang-terangan mengatai
“mesaake yo sik lanang Bagus, sik wedok ayu, tapi kok gabug”. Aku menagis di
pundak mas Bahana semalaman, ia membenarkan kucir kudaku yang longgar. “Min,
anak itu titipan Allah, Allah tau yang terbaik untuk kita. Jangan nangis Min.
Insya Allah kalau waktunya udah pas, Allah akan kasih kita titipan paling
berharga itu”, “Tapi mas Po malu nggak di katai tetangga-tetangga kita?”
tanyaku sambil terus menangis, ingusku juga ikut mengalir “Kamu malu nggak?”
tanya mas Bahana balik. Aku menggeleng. “Nah aku lebih malu kalo istriku keluar
rumah ingusan kaya gini” Mas Bahana me lap ingusku dengan kaosnya, sambil
tertawa “ Iih jorok, tisunya mana?”, “Tisunya abis” katanya santai. Ia melepas
kaosnya dan melemparnya ke ember. Malam itu kami bercanda sampai pagi.
Setelah
kuhitung-hitung, tepat, aku sudah telat hampir dua minggu. Maka aku memutuskan
untuk ke dokter, sebenernya nggak baik sih, pergi tanpa sepengetahuan suami,
tapi aku tidak ingin ada dua orang yang kecewa di depan dokter.
“Selamat Bu
Jasmin, anda positif hamil”, Alhamdulillah aku sujud syukur saat itu juga.
“Belum ada sebulan Bu Jasmin jadi masih rawan, dijaga baik-baik ya” Aku
mengangguk. Perasaan ini membuncah buncah dalam dada, mas Bahana harus tau
secepatnya.
Keluar dari ruang priksa aku segera menghubungi kecintaanku .Tut....tut...tut... teleponya tidak aktif. Tumben. Aku telpon Mama,
Papa, Ibu, semua tidak aktif. Kok bisa gitu? Aku telepon Bapak, kok tidak
diangkat juga ...
Hand phone ku terjatuh, tanganku tiba-tiba lemas. beberapa
perawat berlari – lari mendorong seseorang yang sangat mirip dengan mas Bahana
di atas ranjang, aku segera berlari, tapi aku tau aku tidak sendiri, maka aku
tetap menyusul secepat mungkin tanpa membahayakan bayi dalam kandunganku. Di
depan ICU sudah berdiri Papa, Mama, Bapak, Ibu. “Jasmin tau darimana?” Wajah Mama kaget melihatku, tapi ia reflek memeluk, jadi aku sengaja tidak diberitahu? Aku ingin marah tapi percuma. Aku
adalah istri mas Bahana, aku adalah orang yang seharusnya tau pertama kali apa
yang terjadi pada suamiku. Kata Ibu mas Bahana pingsan di sofa saat mengantar
makan siang kerumahku.
“Keluarga?”
kata dokter yang memeriksa Mas Bahana. Sudah dua jam kami menunggu, ketika
dipanggil kami semua berdiri. “Saya istrinya Dok”, Dokter bicara dengan nada penuh simpati , katanya harapan mas
Bahana untuk sembuh sangat kecil. Ia koma. Aku pias, pening, tiba-tiba semua
gelap suara Ibu yang memanggil-manggil namaku semakin lama- semakin terdengar jauh - jauh dan kini, sunyi.
--
Pagi yang
indah, mentari baru saja menyembul dari ufuk timur, belum terang tapi juga
tidak gelap, aku joging ringan bersama mas Bahana, kami beli Bubur Ayam di
pinggir jalan. Ah nikmatnya. Perjalanan pulang kami memilih untuk santai kami
hanya jalan-jalan saja, sepanjang perjalanan mas Bahana menggandengku sama
sekali tidak berniat melepaskan. Sampai dirumah setelah mandi, aku ngobrol
santai dengan mas Bahana. Ini pasti jadi kejutan baginya. “ Mas tadi tetangga
depan masih kasak kusuk tentang kita”, mas Bahana menatapku bingung, kok
tiba-tiba jadi ngomongin masalah tetangga “Kalau kamu sakit hati dan terganggu,
mereka harus aku tegur Min”, ups “bukan-bukan” aku menenangkan mas Bahana, aku
membelai lembut dadanya, katanya kalau lelaki sedang marah belailah dadanya,
niscaya marahnya reda dan ia akan kembali tenang. Manjur. “Sekarang aku nggak
khawatir lagi mas, dan sebenernya nggak peduli juga sih sama mereka, aku cuma
peduli sama hubungan kita bertiga”, mas Bahana menatapku dengan serius, aku
mengeluarkan surat keterangan dari dokter yang menyatakan aku positif hamil ,
mas Bahana berkaca-kaca.
Aku tau mas selama ini kamu juga cemas menanti, tapi
lelaki tetap harus terlihat lebih tegar kan? Ia memelukku erat sambil berbisik
“Nakal ya priksa ke dokter nggak ngajak-ngajak”, aku mengerling menggoda, “Aku
takut mas kalo hasilnya nggak sesuai harapan, entar mas Po nangis di depan
dokter, aku kan malu”, ia menjitak lembut kepala ku sambil membenarkan ekor
kudaku yang longgar.
Kami berdua
sepakat kalau anak kami laki-laki, akan kami beri nama Anugrah, kalau Perempuan
namanya Rahmah.
--
Jam
menunjukkan pukul 00.00 kepalaku pening tapi daru baunya aku tahu, sekarang aku masih di rumah sakit. Astaghfirullah, aku belum sholat, aku
mengingat-ingat Ashar, Maghrib, Isya.
Mas Bahana, mana mas Bahana, aku bangun
bergegas ingin menemui mas Bahana, aku harus tanya, kalau aku terlewat tiga
sholat maka apa yang harus kulakukan? Kalau dijamak caranya bagaimana? Saat
seperti ini aku membutuhkan petunjuk imamku. Ibu yang tertidur di sampingku,
mengucap hamdalah berkali-kali ketika tau aku siuman. “Mas Po mana bu?” Tanyaku
tak sabar, “Aku tolong dianter ke mas Po Bu”, Ibu menatapku iba. “Nanti Jasmin
kamu belum sehat, belum boleh jalan-jalan. O iya kata dokter kamu hamil?” aku
mengangguk senang, “Mas Po belum tau Bu, aku harus bilang dulu ke mas Po, nanti
dia marah kalau yang tau ibu duluan”, aku tertawa renyah. Ibu mengusap kepalaku
“Mas Po di ruangan mana Bu?”, “Ada di ruangan yang sana” kata Ibu.
“Astaghfirullah, aku belum sholat Bu, Ashar, Maghrib, Isya. Aku harus tanya mas
Po cara jamaknya gimana?”, “Sholat Isya aja nduk, yang lain nggak wajib diganti
kan kamu nggak sadar”, aku menepuk jidatku sendiri. “Oh iya ya... mas Po udah
sholat Isya Bu?”, Ibu mengangguk.
“Ya udah aku
wudhu dulu Bu” ibu membantuku wudhu ditempat tidur.
Selesai salam, Hp ku bunyi
tak henti – henti, “Bip-bip”,”Bip-bip” banyak sms masuk. Kalimat pertama “Innalillahi wa innaillaihi rojiun”, “Ada yang
meninggal Bu” aku berujar pada ibu. “Siapa?”tanya ibu. Wajahku yang tadinya datar mulai memanas. Janutungku yang tadinya normal, kini seperti berhenti, aku menangis tergugu saat menscroll sms ke bawah “turut
berduka mbak, atas kepergian Mas Bahana, semoga dilapangkan kuburnya....”
teks-teks berikutnya sudah tak terbaca, kabur oleh air mataku yang menggenang
dipelupuk mata, Aku berteriak histeris “ Mas Bahana mana Bu...??!!!”. Ibu
menenangkan ku memelukku seeratnya. Mama Papa masuk ke ruangan.
Aku tidak peduli, aku segera menyambar jilbab biruku. Aku
turun mencari kamar mas Bahana, aku harus memastikan. Pasti dokter salah. SMS itu bohong! BOHONG! Ibu
mengikutiku dari belakang. Mobil ambulance meraung-raung membawa jenazah mas
Bahana kerumah ditemani Bapak. Aku lemas, kakiku kebas persendiaku bagai
dilolosi satu –satu, aku terduduk lesu dilantai depan pintu keluar Rumah Sakit. Berselonjor begitu saja tidak peduli tatapan orang.
Allah memang mempergilirkan malam dan
siang, sedih dan bahagia. Tapi untukku Allah memberikan satu yang istimewa,
perasaan senang dan sedih dalam satu waktu. Tak masalah karena toh takdir Allah
selalu indah. Ia tidak akan lalai mengurus hamba Nya. Aku percaya.
--
Sebulan
tepat setelah kepergian mas Bahana untuk selamanya. Aku tak sengaja menemukan kumpulan
foto ku di bindernya , foto sejak aku SMP. Ternyata diam –diam dia suka
mengambil gambarku. Hm jail. Culun sekali wajah kami berdua , tepatnya wajahku,
wajah mas Bahana selalu tampan, pas tidak lebih tidak kurang. Aku mendesainkan
satu jas pengantin untuk mas Bahana, aku ingat percakapan kami dulu .
"Besok - besok aku boleh dong minta didesainin jas"
"Jas apa?"
"Jas peengantin dong"
Tau gitu aku
desainin dari dulu-dulu mas, kataku sambil menatap foto mas Bahana. Nggak papa
deh nggak dipake. Yang penting aku sudah menepati janji, kataku riang dalam
hati. Mas Bahana mengurus segalanya dengan sempurna, sebelum kepergiannya ia
sempat membuat kesepakatan dengan notaris Ia melunasi semua hutangnya dan
meninggalkan beberapa hal untukku dan si kecil yang ada dalam kandungan, salah
satunya surat. Ia menuliskannya saat tersadar dari koma, sebelum akhirnya
menghembuskan nafas terakhir.
Assalamualaikum
Min, waktu kamu baca ini, mas Po mu yang ganteng pasti
udah ga ada di samping kamu lagi. Udah nggak bisa benerin kuciran ikat kudamu
yang unik itu. Udah nggak bisa nyodorin tisu buat air mata sama ingusmu.
Makanya Min jadi perempuan jangan jorok. Piss
Min
Min, jangan nangis terus ya, malu sama tetangga. Nanti
dikiranya Mas Po sering nyakitin kamu... padahal memang iya kali ya... hehe.
Min aku bangga banget punya istri sekaligus sahabat kaya kamu, dari awal aku
kenal kamu Min, aku yakin kita pasti akan disatukan oleh Allah. Kamu baik Min,
cantik, pinter, periang, bisa ngimbangin aku yang pendiem (hush jangan protes),
dan lebih sering nglamun. Makasih Min selama ini udah mendukung mas Po, baik
dalam suka maupun duka. Makasih udah memutuskan membahagiakan lelaki
sakit-sakitan ini di akhir hidupnya. Makasih udah jadi foto model terhebatku.
Makasih udah memperjuangkan talentaku sebagai fotografer.
Min mas Po seneng banget, ada si kecil yang nantinya
nemenin kamu. Kalo laki-laki kasih nama Anugrah ya... kalo perempuan kasih nama
Rahmah Oke?pliss. Min maaf, mas Po nggak punya banyak tinggalan untuk kalian.
Yang jelas rumah dan mobil yang kita punya, semua sudah atas namamu Min. Mas
juga ada tabungan, inshaaAllah cukup untuk modal usaha kamu buat butik dan
nyekolahin Anak kita sampai jadi sarjana. Kejar terus cita-cita jadi desainer
ya. Miminku pasti bisa. Kalau ada apa-apa yang bertanggungjawab atas anak kita
adalah Papa, atau keluarga dari pihak laki-laki. Anak kita amanah Min dijaga
baik-baik ya.
Dari Mas Bahana Po mu, yang akan selalu cinta dan
sayang sama Mimin sampai ajal menjemput...
Oiya Min Kalo Anugrah atau Rahmah udah lahir jangan
ragu-tagu untuk cari Papa baru buat mereka ya... pilih yang baik jangan Cuma
yang ganteng kaya aku :p
Wassalamualaikum
Cium Mimin cium anak kita
Tanggal 31
Desember 2011 Aku memutuskan untuk pergi lagi ketempat itu. Tempat pertama kali
Mas Po melingkarkan cincin di jari manisku. Malam sudah beranjak berganti pagi,
gegap gempita tahun baru bersahut-sahutan di udara. Aku menatap langit Jogja
sambil teresenyum dari sini, dari kursi panjang coklat di sebuah kafe di Taman
Pelangi. Langit itu masih indah, seindah dulu. Aku mengeluarkan kamera SLR dari
dalam tas. Beberapa kali aku menjepret keindahan langit Jogja di malam tahun
baru, memotret juga hal-hal yang menurutku agak janggal tetapi selalu kau
lakukan Mas Bahana, balon-balon, lampion-lampion, anak menangis, bahkan para
penjual. Jepretanmu tak terkalahkan mas, tapi Kamera ini sekarang jadi milikku,
mungkin besok akan digunakan dengan baik oleh Anugrah atau Rahmah. Pukul satu
dini hari air mineralku sudah habis. Aku berjalan pelan sambil mengelus perut
buncitku, tinggal beberapa bulan lagi Nak.
Bug! Tiba-tiba seseorang
menyenggolku dari belakang, barang-barangku berjatuhan, beruntung kamera ini
menggantung kuat dileherku, Aku sedikit menjerit, kaget dengan hantaman
tiba-tiba”Aww..”, “Ups maaf mbak, maaf”, ia membantuku memunguti barang-barang
dari dalam tas. Tatapan kami beradu, Ia menyerahkan barang-barangku. Aku kenal
dia, aku hapal mati wajahnya “Mas Po” aku mendesis. “Iya? nama saya Popo mbak”,
Ia menjulurkan tangan, sambil tersenyum.
Ada di Kumcer Pengantin Qur'an... masih banyak kisah romantis lainnya dari teman penulis hebat di sana :)
sumber gambar : kompasiana.com
Comments
Post a Comment