Taman Pelangi









Dentum suara petasan membelah langit Jogja malam ini. Tak hanya itu, bunga api warna-warni yang entah disulut oleh siapa bertaburan indah mempercantik pekatnya langit kota. Gerimis tidak berhenti sejak satu jam lalu. Namun bukankah skenario Tuhan yang seperti ini maha sempurna? Langit indah dimalam hari ditemani rintik-rintik hujan di sebuah tempat yang penuh dengan lampion berbagai rupa saat pergantian tahun. Bukankah ini romantis? 

Aku duduk sendiri di atas bangku panjang berwarna coklat, di dalam sebuah kafe yang mau tak mau harus buka hingga dini hari. Ini malam tahun baru teman, tentu saja muda mudi baru keluar jam sembilan malam, dan mungkin enggan pulang hingga subuh. Kalau kafe ini tutup seperti jam biasa, berapa ratus ribu yang mereka buang sia-sia. 

Latte ku yang kedua. Aku berjanji pada Ibu untuk tidak banyak-banyak minum kopi, Aku ingin pesan secangkir lagi tapi  urung. Aku segera sadar ada yang harus kujaga, bukan hanya diriku sendiri, ada yang lain yang harus kupedulikan. Maka untuk berikutnya aku memesan air mineral. 
 
Sudah satu jam lebih aku disini sejak pukul sepuluh, ayah berjanji menjemputku pukul Satu dini hari. Aku yakin pantatku tak akan pegal ditempat ini, toh setahun lalu tepat ditanggal yang sama aku pernah berada disini dari sore hingga pagi. Berlarian riang, foto sana sini bak model majalah remaja, makan ini itu, duduk dan memesan kopi di kafe ini.  Bedanya aku tidak sendiri, ada dia yang duduk disampingku, ada dia yang membantu merapikan kuciran kudaku, ada dia yang melingkarkan cicin di jari manisku.
---
Dia adalah siswa baru di sekolahku. Datang dari Jakarta. Dari perkenalannya aku tahu namanya Bahana, wajahnya tampan seperti tokoh-tokoh yang ada di komik Jepang. Sebentar-sebentar, kalau ku amati lebih seksama wajahnya mirip sekali dengan salah satu tokoh di serial Slam Dunk, ah iya dia mirip sekali dengan Rukawa. Tubuhnya tinggi atletis, matanya sedikit sipit, kulitnya putih bersih tanpa sedikitpun noda atau jerawat di wajah. Aku yakin, jika ia mendaftar sebagai model iklan pembersih wajah pasti akan dipertimbangkan. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh anak kelas satu SMP yang akan naik ke kelas dua, setampan-tampan dia, wajahnya masih terlalu kanak-kanak untuk jualan sabun wajah. Bahana duduk tepat di sebelahku. Ia meletakkan tas di atas meja sambil mengulurkan tangan, “Bahana, tapi boleh di panggil Bana”, aku menyambut uluran tangan Bahana sambil tersenyum melihat lirikan sirik teman-teman perempuanku di kelas “Jasmin, panggil saja Jasmin”. 

Satu jam duapuluh menit duduk di sebelah Bahana, aku tau dia sangat rajin mencatat. Apapun selalu ia catat, termasuk hal-hal yang tidak penting. Ah mungkin ada otak seorang obeserver nyangkut di kepalanya. Yang kedua, Bahana tidak banyak bicara. Kalau dia tau aku butuh sesuatu ia langsung tanggap menyodorkan tanpa banyak berkata-kata. Seperti tadi ketika aku salah mencatat, dan uring-uringan karena lupa membawa Tip Ex, Bahana langsung membukakan kotak pensilnya untukku. Ada lagi yang bisa kusimpulkan dari seorang Bahana, tapi aku tidak yakin. Kalau aku tidak salah tebak Bahana suka mengkliping foto-foto dari majalah, bindernya dipenuhi oleh hal-hal semacam itu.

Istirahat tiba, Serly dan Dania menghampiri mejaku. Ber ehem-ehem ria. Aku menyikut lengan Bahana, ia sedikit kaget sampai akhirnya sadar ada dua gadis salah tingkah yang mengajak kenalan. Bahana mengulurkan tangan terlebih dulu, yang disambut dengan wajah berbinar dari mereka berdua. Dasar genit. Tiga menit menunggu tidak sepatah katapun keluar dari mulut Bahana, mereka jengah dan akhirnya pergi meninggalkan kami.

“Kamu nggak jajan Min?”,tanya Bahana ragu-ragu. Aku melotot kesal “Bana, tolong jangan panggil Min. Emangnya namaku Mimin? Panggil yang lengkap Jasmin. J-A-S-M-I-N”. Bahana tertawa “O...ow... galak juga si Mimin, eh Jasmin. Maaf-maaf, Jasmin nggak jajan?”. Kalau tadi aku sempat bilang si Bahana ini pendiam, berarti aku khilaf, Bahana ini ga ada pendiam-pendiamnya dia rese. “Aku nggak pernah jajan”, “ buat apa jajan kalau bisa bawa bekal sendiri” kataku dan Bahana hampir bersamaan, aku bengong, kok bisa kami berdua sekompak itu? Tawa kami pecah. Ia mengeluarkan sekotak nasi goreng dengan telur dadar, ragu-ragu aku juga mengeluarkan menu yang sama. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kok bisa samaan sih? Mulai detik itu kami sepakat mengatur menu bekal makanan supaya bervariasi dan kami bisa saling mencicipi.

Istirahat lima belas menit rasanya kurang untuk ngobrol dengan Bahana, ternyata Bahana asik. Banyak hal baru yang aku pelajari dari dia. Dia juga hebat, foto-foto dari majalah yang ada di bindernya semua hasil jepretannya. Bukan kliping dari majalah hehe. Iya, Bahana adalah seorang fotografer muda berbakat. Beberapa fotonya sudah nampang di majalah nasional, bahkan katanya ada juga satu majalah internasional yang memuat hasil karyanya “Berarti kamu tukang poto ya?”, tanyaku asal sambil membolak – balik foto di binder Bahana. Bahana nampak berfikir sebentar, ia menggigit ujung bibirnya, belakangan aku tahu, itu adalah gaya khas Bahana ketika berfikir. “Sebenernya ada istilah yang lebih keren sih, fotografer. Bukan tukang foto. Tapi kayaknya disebut tukang foto juga nggak masalah” Bahana tersenyum menjawab pertanyaanku. Aku menyeringai nakal “Bana, mulai sekarang aku mau panggil kamu Popo, kependekan dari poto-poto, gimana? Lebih keren kan?” Bahana mendengus sebal “Oke, nggak masalah. Tapi aku juga manggil kamu Mimin ya... soalnya ukuran kamu mini” balas dia asal, sambil nyengir puas dan menepuk pundakku. Sial. Tapi kesepakatan sudah kami buat, masalah panggilan dan juga persahabatan kami.
 
Bahana adalah sahabat yang menyenangkan juga menenangkan. Aku dan Bahana selalu saling dukung dalam hal apapun, aku mati-matian mempelajari ilmu fotografi agar bisa nyambung saat ngobrol dengannya. Bahana juga tidak pernah lelah maupun bosan memberi masukan atau pujian untuk corat coret desain baju yang kubuat, aku memang bercita-cita ingin menjadi desainer terkenal.

Hampir lima semester kami bersahabat, kelulusan SMP pun tiba. Bahana menyarankanku untuk masuk SMK agar bakat desainku lebih terasah. “Min, kamu pasti bisa jadi desainer terkenal. Desain-desain baju bikinan kamu tuh nggak kalah sama karyanya siapa itu Anne... Anne...”, “Anne Avantie” kataku menimpali. “ Nah Anne Avantie, yah meskipun kadang masih aneh dan ga jelas, tapi aku yakin kamu pasti bisa jadi desainer terkenal kok”, “Adow..adow...sakit Min” Ia menjerit sambil menepis tanganku yang sudah berhasil mecubit pinggangnya gara-gara mengatai desainku aneh dan tidak jelas, enak saja.
 
 Sejurus kemudian ia memegang kedua pundakku menatapku serius, ada kesungguhan dari sorot matanya “Min kamu masuk SMK ya”. Mataku berkaca-kaca, aku yakin dia bilang begitu pasti karena dibujuk Ibu, Ibu tau anaknya yang satu ini tidak mau sekolah, kalau tidak bersama-sama dengan Bahana, sahabat karibnya. Satu-satunya lelaki yang mengisi kehidupannya setelah ayah. Aku melepaskan tangan Bahana, “Nggak mau Popo, aku maunya sekolah bareng kamu, sebangku sama kamu, main bareng kamu...” tanpa terasa air mataku sudah mengalir campur ingus, aku terisak-isak kepayahan. Dadaku naik turun tersengal-sengal. “Aduh Min, cengeng sama jorok kamu tuh nggak ilang-ilang ya, nih dilap ingusnya”, Bahana menyodorkan tisu padaku. Bahana mengajakku untuk duduk di pinggir kolam ikan belakang sekolah “Min, denger baik-baik. Persahabatan itu kaya siang dan matahari, malam dan bulan. Mereka tidak menyatu tapi mereka selalu bertemu. Mereka memiliki tugas berbeda tapi berpadu dan tidak saling menyakiti. Min kalau kamu masih nganggep aku sahabat, kamu masuk SMK! Deal?”, itu kalimat perintah, aku mengangguk pelan. Kasian Bahana, pasti semalam dia memikirkan kalimat gombal sok puitis tentang sahabat itu mati-matian. Mana nggak nyambung lagi bulan matahari siang malam apa coba?

Kami berpisah mulai saat itu, Bahana kembali ke Jakarta. Aku melepasnya untuk terakhir kali di bandara Adi Sucipto, Papa Bahana menghadiahkanku Hand Phone agar aku dan Bahana tetap bisa terhubung. Kami tetap bersahabat dan tetap karib.

Tiga tahun sejak perpisahanku dengan Bahana, ia sangat sering berkunjung ke Jogja. Mengajakku foto sana-foto sini, jepret ini – jepret itu. Membidik lampu kota dan objek lainnya. Hasilnya, “Bangga Po, punya temen kaya kamu. Ga salah kamu berhenti sekolah dan fokus untuk belajar fotografi, hasil jepretan kamu brilliant” pujiku ikhlas. Yang dipuji hanya mesam-mesem, tidak merasa hebat sama sekali. “Mimin Mimin, kamu ga inget dulu waktu orangtuaku habis-habisan menentang aku, siapa yang ngebelain dan kasih argumen ke mereka, siapa yang bilang kalau kesuksesan itu bukan dilihat dari berapa banyak gelar yang dia dapat, tapi sebahagia apa hidupnya? kamu Min, kamu yang bikin aku bisa kaya sekarang. Makasih Mimin”. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kok si Bahana jadi berlebihan gini ya?

Aku menjalani kuliah di salah satu universitas negri di Jogja jurusan desain busana. Bahana, aktif mengisi seminar fotografi dimana-mana, sekarang dia sering terbang Amerika, Prancis, Malaysia, Jepang. Menyenangkan ya?

Bahana datang ke Jogja membawa oleh-oleh dari London. Sesungguhnya hari itu aku malas menemuinya, entah sejak kapan aku suka deg-degan kalau mengingat Bahana. Mengingat saran-sarannya, mengingat perhatiannya. Kalau dipikir-pikir Bahana lumayan juga, wajah khas Rukawanya semakin dewasa, sekarang dia sudah benar-benar cocok untuk jualan sabun wajah. Sikapnya, jangan ditanya. Ia lelaki paling lelaki yang pernah kutemui. Pekerja keras, tanggap, cekatan, bisa tegas ketika harus tegas, namun mudah lunak dan mengalah dalam situasi tertentu. Ia baik tidak hanya padaku tapi pada semua orang, bedanya di depan orang lain ia lebih banyak menjadi pribadi pendiam. Sehingga orang lain akan menganggapnya dewa sempurna tanpa cela. Tapi didepanku, yah terlepas dari sikap-sikap baik yang dia punya, jailnya setengah mati. Pernah suatu ketika saat kami SMP Bahana sengaja melepas ban sepedaku dan bersama teman-teman lelaki kami, mengikatkan ban ku di atas pohon. Jadilah siang itu aku pulang dibonceng Bahana. Baru paginya ia membenahi sepedaku. Anak kurangajar.
 
Bila kuingat-ingat sepertinya Bahana belum pernah punya pacar. Ah bahkan bercerita tentang perempuan yang ia sukapun belum pernah. Masa sih lelaki sesempurna Bahana belum ada yang punya. Di Jakarta kan perempuannya cantik-cantik, mungkin ada salah satu yang singgah di hati Bahana? Loh kenapa aku harus bingung, aku kan sahabatnya, aku puya hak untuk tau lebih dulu siapa wanita yang disukai Bahana. Bahana harus cerita kepada sahabatnya ini. Dan aku akan siap-siap menjadi pendengar terbaik atas kisah cinta Bahana. Aku tersenyum hambar di depan cermin. Dalam hati aku berharap semoga tidak ada kisah cinta apa-apa dari Bahana, kalau ada pasti membosankan. Tolong jangan ada kisah apapun kumohon. Tolonglah Bahana cerita apapun kecuali masalah cinta.

Pukul 16.00 Bahana akan menjemputku. Entah apa yang menyebabkanku kali ini berdandan lebih cantik, aku yang biasanya cuek dengan pakaian yang kukenakan kini mulai coba memadupadankan dengan baik. Tapi aku juga tidak mau berlebihan, kemeja kuning gading dengan celana jeans tiga perempat berwarna hitam, dan sepatu flat yang berwarna senada dengan kemeja. Rambutku biasa saja ku kucir kuda. Sedikit bedak dan pulasan lip gloss yang langsung kuhapus kasar dengan punggung tangan. Ah apa-apaan sih Jasmin, cuma mau ketemu Popo aja ribet.
 
Bahana sudah duduk manis dikursi ruang tamu, blazer coklat tua sangat pas dipadukan dengan kaos bermodel v neck warna hitam. Ia menggunakan celana jeans yang pas tapi tidak ketat. Rukawa Indonesia, sudah siap kencan. Apa? Bukan kencan kami berdua hanya akan jalan-jalan seperti biasa. Sahabat mana ada yang kencan Jasmin. Bahana tersenyum padaku, aku sedikit gugup, sejak kapan dia punya senyum semanis itu. Biasanya biasa saja. 
 
“Wow, ibu desainer kita sekarang udah pinter dandan ya, kamu cantik Min”,aku hampir menimpuk Bahana dengan sepatu flatku. Aduh Bahana, dia pasti tidak tau kalau akhir-akhir ini aku sedikit pemalu dan sensitif. Kata-kata Bahana barusan efeknya magis. “Ya ampun Min kamu tuh dipuji bukannya bilang makasih malah mau nimpuk aku”, “Ya,ya makasih... aku emang cantik dari lahir” jawabku ketus. Setelah berpamitan pada ibu kami berangkat. Kali ini tidak dengan sepeda seperti ketika Bahana mengerjaiku waktu itu. Mobil sedan warna hitam metalik mengantarkan kami membelah kota gudeg tercinta. 

Sepi, aku diam, Bahana diam. Di dalam mobil kami hanya memutar lagu Adelaide Sky Aditya Sofyan berulang-ulang itu lagu favorit kami. “Gimana kuliahmu Min?” akhirnya Bahana memutuskan memecah kebekuan diantara kami. “Eh?” aku yang kaget gelagapan menjawab patah-patah “La..lanca..r Po”, “Alhamdulillah, baguslah. Besok-besok boleh dong minta di deasinin Jas?”, aku melirik Bahana, yang dilirik fokus memperhatikan jalan di depan sambil tersenyum, “Jas apa?”, “Jas nikah dong Mimin” katanya sambil menatapku hangat. “Untuk kamu gratis Po” kataku lirih tak bersemangat. Ada sesuatu kurang nyaman yag menelusup, entah ia menangkap gelagatku atau tidak.

Harapanku masih sama semoga tidak ada kisah cinta membosankan dari Bahana di tempat ini, di sebuah monumen yang bagian depannya disulap menjadi taman bermain yang lengkap dengan bom bom car, ratusan lampion berbagai rupa dan juga kafe-kafe tenda. Taman Pelangi. Dari gerbang masuk Bahana sudah sibuk jepret ini itu, menjepret Bak sampah, lampion-lampion, balon-balon, anak menangis, semua jadi objek jepretan Bahana, kecuali aku. 

“Cekrek”, terasa blitz kamera sedikit menyialukan mata. “Belom siap Po...” Bahana tertawa jail. Sesi foto-foto berjalan lancar, setelah itu kami memutuskan untuk menyewa sepeda tandem mengelilingi monumen Jogja Kembali. Puas bersepeda, kami main petak umpet. Norak memang mengingat kami sudah dewasa. Tapi kami kangen dengan masa-masa kecil kami. Tidak terasa adzan maghrib berkumandang Taman Pelangi makin ramai, hari ini taggal 31 Desember tak kurang dari enam jam lagi, kami akan merayakan tahun baru. “Min ayok sholat” ajak Bahana, aku menggeleng “baru dapet” bisikku lirih. “Oh baru dapet” katanya keras-keras, pengunjung lain sontak menoleh kearah kami. Aku melempar Bahana dengan bungkus popcorn ditanganku, awas ya. Bahana berjingkit dan lari menjauh sambil tertawa-tawa.

Saat aku sendiri, aku teringat lagi tentang jas nikah Bahana. Oh jadi dia sudah punya calon? Aku tidak cemburu. Sungguh aku tidak cemburu. Aku hanya kesal kenapa dia tidak cerita padaku? Aku kan sahabatnya, sahabat satu-satunya Bahana. Jas nikah yang cocok buat Bahana sepertinya tidak ada, pasti semua jelek dipakai Bahana, apalagi kalau nanti aku diminta mendesainkan gaun pengantin mempelai perempuan, rasanya tidak bisa pasti tidak ada yang cocok, aku yakin. Ah aku gagal mensugesti diriku sendiri, aku benar-benar cemburu. Setelah bertahun-tahun kami bersama rasanya aku belum siap ada orang ketiga diantara kami, meskipun itu kekasih Bahana yang tentu saja harus kuanggap sahabat juga. Kenapa urusannya selalu kacau kalau menyangkut perasaan. Yah mungkin nanti kalau aku sudah tau siapa calon Bahana, aku bisa mulai belajar menerima dia diantara kami. Dan aku juga akan berbaik hati mendesainkan gaun pengantin untuknya, tidak gratis tentu saja, kan sahabatku hanya Bahana bukan calon istrinya. 

Sudah hampir satu jam aku menunggu, Adzan Isya sudah berkumandang. Jangan-jangan Bahana kabur, jangan-jangan dari jauh dia menertawai wajah cemasku. Tolong Bahana, mood ku sedang tidak baik aku sedang tidak ingin bercanda.

 “Bip bip” Ada sms masuk dari Bahana “Sorry Min lupa bilang aku sekalian sholat Isya, kalau kamu mau makan pesen dulu aja. Ok?”. Sepertinya Bahana semakin relijius. Apakah ini pengaruh dari calonnya? Baguslah kalo Bahana jadi alim. Seingatku waktu SMP dulu dia masih sering bolos sholat Jumat. Aku balas singkat sms nya “Iye Pak Kyai”. Aku makan ayam rica-rica sendiri dan memesankan satu porsi sup jagung untuk Bahana. Dari dulu Bahana tidak suka makan daging, entah ayam, entah sapi, kambing, ikan juga tidak doyan. Nyaris jadi vegetarian dia.

Cekrek, Bahana datang sambil memotretku yang sedang makan. “Po, kalo mau motret tuh bilang-bilang dong”, protesku “Nggak ah, bagus gini natural”. Gawat aku mulai deg-degan lagi. “Ini sup buat aku Min?”, “I..i iya” jawabku gugup. Bahana memperhatikan wajahku “Kamu ga sakit kan Min? dari tadi kayaknya kamu gugup gitu”, dengan santainya ia menyetuh keningku dengan punggung tangannya “normal kok”, kali ini ia bicara serius “kalo kamu sakit kita pulang sekarang Min” aku menggeleng. Setelah dipaksa akhirnya aku mengalah untuk memakai blazer Bahana.

Ragu-ragu aku bertanya “Jas nikahnya, mau dipake kapan Po?” kataku sambil mengetuk-etukkan jari di atas meja, Ia menghentikan menyeruput sup jagung dan mengigit ujung bibirnya, “dua bulan lagi lah”. Oh jadi beneran udah ada calonnya?. “Orang mana?” tanyaku sejurus kemudian, tidak menyelidik tidak memaksanya untuk menjawab. Bahkan kalau boleh jujur aku ingin Bahana diam saja dan tidak menjawab. “Jogja” jawabnya ringan. Aku benar-benar ingin menyiramkan latte di cangkirku ke wajahnya. Orang Jogja dan bisa-bisanya dia tidak cerita. “Nanti habis makan aku cerita” sambungnya setelah melihat perubahan wajahku.

“Dia orang Jogja Min, udah lama kenal sih, udah lama suka juga” aku menelan ludah, kelu. “ Anaknya baik, riang. Cuma di depan dia aku bisa jadi diri sendiri Min” aku mulai menata hati, ternyata Bahana yang yang didepanku masih belum seutuhnya menjadi diri sendiri, ada wanita lain yang lebih dia percaya, “aku bolak-balik Jogja Jakarta juga cuma buat ketemu dia Min”, aku tau mataku mulai berkaca-kaca, sebesar itu pengorbanan Bahana untuk wanita yang tak kukenal itu. “Namanya...” “Selamat ya Po, kamu udah gede sekarang, udah mau nikah bentar lagi” aku memotong perkataanya sambil beranjak pergi menjauh dari riuhnya hati yang menyakitkan Sisanya aku tidak mau dengar lagi, nama wanita itu tidak penting. Aku beranjak benar-benar akan berpaling menjauh sebelum akhirnya Bahana meraih tanganku“Namanya Jasmin, Min”, kata Bahana “semoga kamu nggak lupa sama nama asli kamu”, katanya sambil tersenyum. Riuh sesak itu berubah jadi gelora yang berbunga. Aku masih tidak percaya. Jasmin? aku? aku belum tau apakah aku mencintainya atau tidak. Tapi mendengar namaku disebut sebagai calon pendampingnya, entah mengapa aku tidak marah atau keberatan. Harus kuakui aku senang. Senaaaang!

 Malam itu dengan latar suara sorak sorai hitung mundur dari angka kesepuluh, sembilan, delapan dan seterusnya, di bawah gemintang malam dan pendar-pendar kembang api . Kami resmi menaikkan level dari sepasang sahabat ke sepasang kekasih. Tidak ada peluk-peluk norak gaya sinetron, kami merayakannya dengan minum kopi di bangku panjang warna coklat di dalam sebuah kafe di Taman Pelangi. Hari ini tanggal 1 Januari 2011
---
Paginya Bahana pamit pulang, cincin emas yang sudah ia lingkarkan di jari manisku semalam menjadi pengikat kami. Ia akan pergi untuk workshop fotografi di Toronto dalam waktu yang tidak sebentar. Dua bulan. Yah baru jadian, udah ditinggal pergi batinku. Tapi aku senang sekarang semuanya jelas. Jelas bahwa kami ternyata memang saling mencintai. Aku memutuskan untuk mencintainya semalam. Oke mungkin perasaan itu sudah kutabung sejak dulu, aku hanya enggan mengakui. Dan sekarang aku mengakuinya.

Aku tidak bisa mengantarkan kepergian Bahana, kebetulan pagi ini ada kelas. Bahana tidak marah ia hanya bilang “Yang rajin Min kuliahnya, kejar terus mimpi jadi desainernya, dua bulan lagi aku balik ke Indonesia. Kamu siap-siap jadi Bu Bahana ya”, aku tersipu malu, Bu Bahana? Kok kayanya nggak enak ya ditelinga. Kurang keren. “Iya Po, kamu juga workshopnya yang bener, begitu sampai Toronto jangan lupa kasih kabar. Nanti aku kasih tau cara irit telpon ke Indonesia” kataku sambil tersenyum bangga, bisa kasih petuah. “Kita skype an aja ya yang gratis” katanya sambil membenarkan kucir kudaku yang longgar, telak, kok nggak kepikiran ya ada sarana gratisan. “Ya..ya, dasar nggak modal”, Ia hanya tersenyum, masuk ke mobil dan melambaikan tangan.
--
Tiga bulan selepas kepergian Bahana. Belum pernah sekalipun ia memberi kabar. Skype juga tidak pernah. Aku telepon Papa-Mamanya tidak aktif, telepon Bahana apalagi. Telepon rumahnya yang di Jakarta diangkat tapi menurut keterangan yang ku dapat keluarga Bahana sudah pindah, entah kemana pemilik yang baru tidak tahu. 
 
Aku hampir gila, setelah kejadian tiga bulan lalu, sejak malam itu cincin emas ini tidak pernah kulepas, mandipun kupakai. Ia harapan satu-satunya yang membuatku percaya bahwa Bahana akan kembali. Takut gila beneran, aku mulai mengikuti ajakan teman ku untuk rajin datang ke pengajian. Mendekatkan diri pada Allah, mulai belajar sholat lima waktu secara rutin.

Empat bulan setelah kejadian malam itu, banyak perkembangan yang terjadi, tidak hanya sholat, aku terbiasa puasa sunnah, alhamdulillah. Hatiku juga jadi lebih tenang. Hingga kini aku tidak pernah lelah menghubungi dan mencari tau dimana Bahana dan keluarganya. Aku tidak akan membiarkan sedikitpun pikiran negatif tentang Bahana masuk ke dalam otakku, aku tau siapa Bahana, aku mengenalnya lebih dari sangat dekat.

Lima bulan berlalu, aku melihat cincin yang melingkar di jari manisku. Aku menggumam pelan “Udah lima bulan Po, kamu kemana?”, dimanapun kamu Bahana semoga setelah kamu kembali ke Indonesia kamu masih mengenaliku, aku memutuskan untuk berjilbab.

Sebentar lagi ujian semester dan aku mulai sedikit melupakan hubunganku dengan Bahana yang semakin tidak jelas, aku hanya ingat ketika aku melihat cincin ditanganku. Sarah sahabat baruku menyarankanku untuk total melupakanmu Bahana, mungkin di sana kamu sudah menemukan wanita lain yang lebih baik, mungkin sudah ada yang menjadi Mrs Bahana di luar sana.

Aku menepis pikiran-pikiran negatif itu. Tapi entahlah dari kajian yang ku dapat selama ini, setauku ikatan yang sah hanyalah ikatan pernikahan. Maka janji-janji kita di Taman Pelangi waktu itu, di bawah gemintang yang berkelip genit menggoda, ketika kembang api berbunga suka ria. Semua tidak bermakna apa-apa Bahana. Kita bukan suami istri Bahana. 

Genap satu semester kau pergi tanpa kabar, dengan lemas, aku melepas cincin pemberianmu, bukan aku tidak percaya lagi padamu. Tapi aku memutuskan untuk memutus hubungan kita, sayangnya secara sepihak karena kamu sulit dihubungi. Aku hanya menginginkan proses yang halal bagi ku. Enam bulan rasanya cukup untuk merubah pola pikirku. Aku meletakkan cincin itu di kotak perhiasan milikku. Aku menyimpannya Bahana, suatu saat kalau kamu pulang dan kita tidak berjodoh aku akan mengembalikannya. Hari ini aku berangkat kekampus dengan atasan kemeja putih polos, rok panjang bermotif bunga kecil-kecil dan jilbab biru langit menutup dada.
--
“Jasmin” Sarah berteriak memanggilku sambil tergopoh-gopoh saat aku sedang menyalin catatan teman di kelas. Aku menatapnya heran “di..di bawah...”, aku masih menatapnya penuh tanya, “Bahana,di bawah ada” kalimatnya mulai kacau. Tapi aku tau maksudnya ia melihat Bahana di bawah, Benarkah?. Deg. Jantungku berdegup lebih cepat, kalau itu benar dia, apa yang harus kulakukan saat aku bertemu dengannya nanti? Menamparnya, meminta penjelasan kenapa ia kabur selama ini? Memintanya duduk dan membelikannya kopi, mengajak ngobrol biasa seperti tidak terjadi apa-apa, Atau langsung bilang “Bahana diantara kita sekarang tidak ada hubungan apa-apa”. Wajahku pias, aku panik, aku tidak siap. Sarah menenangkanku “Oke tenang Jasmin, ingat semanis apapun kata-katanya jangan termakan rayuan gombal oke, hubungan yang sah hanyanlah pernikahan, segera minta putus, kalau kalian berjodoh kalian pasti bersatu lagi dalam ikatan yang halal. Pernikahan Jasmin”, Sarah sibuk mewanti-wanti ku seperti nenek-nenek yang mewanti-wanti cucunya agar tidak pulang lewat jam sembilan malam. Aku mengangguk Sarah benar. Aku juga tidak akan marah atas sikap tidak tanggung jawabnya kabur berbulan-bulan. Aku melangkah mantap kebawah dari atas kulihat ia berdiri gagah, masih seperti dahulu, dengan matanya yang sedikit sipit dan kulitnya yang putih bersih, bedanya sekarang ia sedikit berjenggot. Oh Rukawa memelihara jenggot, sejak kapan?

Ia menyadari kehadiranku tatapan kami beradu, aku segera mengalihkan pandangan beristighfar. Ia tampak tersenyum senang melihatku. Kami duduk ditemani Sarah. “Maaf” itu kata pertama yang keluar dari mulutnya setelah ia pergi meninggalkanku selama berbulan-bulan. “Iya Po, aku maafin” jawabku malu-malu. Aku melihatnya melirik tangan kiriku tepat di jari manisku. “Cincinnya?”, tanyanya penasaran. “Ada di rumah Po” ia bernapas lega. Ia panjang lebar menceritakan yang terjadi selama enam bulan terakhir. Aku dan Sarah sama-sama berlinang air mata, bedanya aku menangis sambil mengeluarkan ingus. “Aduh... Min, masih juga jorok ya, nih di lap ingusnya”, Bahana menyodorkan tisu. Sarah pelan-pelan mentertawaiku. Aku gemas, dan mencubit paha Sarah, yang dicubit meringis kesakitan, biar tau rasa.

“Aku seneng Min kamu sekarang udah berjilbab, sebenernya aku mau bilang kamu tambah cantik, tapi perempuan berjilbab nggak bisa dipuji sembarangan kan?” kata Bahana sambil tertawa kecil. Aku menatap Bahana dengan tatapan iba, tapi aku segera mengalihkan pandangan saat ia sadar aku mengamatinya, aku takut dia tersinggung. Bahana, Ia memaksakan diri untuk tegar ditengah kondisinya yang seperti ini. Aku urung bilang putus, nanti saja toh katanya malam nanti ia akan kerumah.
--
Kali ini Bahana menepati janjinya, tepat pukul 19.15 ia tiba dirumah, Ibu yang sudah kuceritakan tentang segala sesuatu yang menimpa Bahana dan keluarganya langsung memeluk Bahana erat-erat, seperti memeluk anaknya sendiri. Bahana menangis haru, ia mengusapkan air mata yang menetes di mata ibu. Aku kembali menggunakan cincin Bahana di jari manisku.

Ibu akhirnya meninggalkan kami berdua. “Udah lama ya Po, kamu nggak kerumah ini”, “iya”, katanya sambil terus mengusap air mata yang membuat wajahnya sembab. Ia memang lelaki yang mudah terharu. “Popo, udah gede kok masih cengeng, nih di lap air matanya” kataku sambil menyodorkan tisu. Ia menerimanya sambil tertawa. Sungguh Ia tak tahu di lubuk hatiku yang paling dalam aku mati-matian berusaha untuk tidak menangis... “Po”, “Min”. Kami bicara hampir bersamaan, “Oke ladies first” , “Oh No..no... guest first” kataku meyakinkan. Ia berdehem sebentar “Setelah ngasih tau semuanya ke kamu, sebenernya aku laki-laki yang paling nggak tau malu, kalau aku tetap melakukan hal ini. Tapi nggak bisa nggak Min, aku harus bilang ini ke kamu” Aku menggeser posisi dudukku membuat diriku senyaman mungkin karena apapun bisa terjadi beberapa detik kedepan. “Mimin” ia menatapku serius. “Kamu masih mau membina hubungan serius sama aku nggak? kita menikah, meskipun entah sampai berapa lama. Kamu berhak menolak Min. Toh aku memang udah nggak ada harapan lagi”, ia berlutut di hapanku memohon ku untuk menikahinyanya. Aku tidak bisa tahan lagi, aku menangis kali ini . Ajaib! ingusku tidak keluar. Keputusan cepat harus kubuat.

Siang tadi ia bercerita, begitu tiba di Toronto ia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya, sebenarnya hal itu sering ia rasakan di Indonesia tapi ia abai. Untuk yang kesekian kalinya Bahana muntah darah, takut mengganggu workshopnya ia melakukan check up, kanker hati adalah diagnosis dokter. Ia lemas, shock. Ia tidak tega menghubungiku. Maka ia segera menghubungi keluarga. Malangnya tepat disaat yang bersamaan bisnis Papa Bahana ditipu orang, semua hartanya ludes. Rumah, mobil disita. Ia tidak jadi mengabarkan tentang penyakitnya, takut memperkeruh suasana, ia hanya bilang akan tinggal di Toronto lebih lama. Beruntung Papanya orang yang cerdas dan hemat, ia masih punya tabungan yang cukup untuk membeli rumah baru yang jauh lebih kecil, keluarga Bahana memulai bisnisnya lagi dari nol. Biaya untuk pengobatan Bahana tidak kecil, ratusan juta. Sampai saat ini ia masih merahasiakan penyakitnya pada keluarganya. Diam-diam selama di sana ia menjadi fotografer freelance, alhamdulillah, karya-karya nya mendapat apresiasi positif. Ia melakukan oprasi pertama yang bisa menyambung hidupnya hingga saat ini. Ratusan juta sudah dia keluarkan, Bahana juga orang yang suka menabung ia masih punya sisa uang yang bisa ia gunakan untuk menghidupi keluarga kecil kami katanya.

Bukan, bukan masalah finansial. Aku tetap akan menerima Bahana walaupun ia jatuh miskin. Tapi sakitnya, aku berpacu dengan waktu, aku akan selalu was-was terhadapnya. Jujur dari hati terdalam hanya Bahana yang bisa membuatku jatuh cinta setiap hari, yang bisa membuat aku tersenyum. Tapi menikah dengan orang sakit merupakan kebodohan. Aku tidak mau menikah atas dasar iba, aku juga berhak bahagia, berhak memiliki suami yang panjang umur, yang bisa bersama-sama membesarkan anak-anak kami. Bahana masih berlutut di depanku, menunggu jawaban dariku. Keputusan sudah kubuat.

Aku melepaskan cincin dari jari manisku, Bahana tersentak, namun ia tersenyum meraihnya. Memasukkannya kedalam saku, aku tau ini berat baginya, bagiku bahkan bagi ibu dan ayah yang dari tadi mengintip dari balik tirai ruang keluarga. Ia beranjak setelah mengucapkan terimakasih. Selangkah sebelum ia benar-benar meninggalkan rumah “Po”, ia tidak menoleh. Aku tahu perasaannya sama denganku beberapa bulan silam saat di Taman Pelangi, ketika ia bercerita panjang lebar dengan gadis yang dicintainya, yang ternyata aku. “Po, bawa lagi cincin itu besok Ahad, bawa keluargamu juga. Kita menikah kita cari penghulu secepatnya masih ada waktu tiga hari. Menikah siri pun tak masalah yang penting sah dulu, untuk pencatatan sipil kita lakukan bersama lain waktu. Pasti bisa”, Wajahnya berubah merekah cerah, seperti pualam yang terkena sorot mentari di pagi hari. Ia mengangguk mantap dan melangkah pergi. Kulihat ayah dan ibu berpelukan senang. Aku juga senang, aku lega, biar saja ada orang yang berkata aku bodoh. Aku tau ini cinta, dan hanya orang-orang yang sadar cinta yang bisa membedakan mana yang bodoh mana yang benar-benar cinta.
--
Resmi sudah Bahana menjadi suamiku. Aku tinggal dirumah baru Bahana, kecil tapi nyaman. “Sorry ya Min, udah nggak ada AC lagi sekarang, besok aku beliin kipas angin”, “Alah ... aku nggak butuh kipas angin mas Po, Kaliurang kan udah dingin”, sekarang panggilanku ke Bahana berubah, ada embel-embel mas. Biar lebih sopan, gimanapun kan Bahana itu suamiku. 

Setelah sebulan tinggal di pondok mertua indah, Bahana memboyongku ke rumah baru kami. Hanya aku dan dia. Jangan ditanya apa yang kami lakukan. Semua orang juga tau. Aku sangat bahagia menikah dengan Bahana, ia bisa menjadi imam yang baik bagiku. Ia juga lelaki yang lurus, berkali-kali ada tawaran untuk memotret model dengan bayaran sangat tinggi, berkali-kali pula ditolaknya. Katanya, sayang kalo matanya nggak ikut masuk surga. Aku terkekeh “PD banget mas”. Aku rutin menemani mas Bahana check up ke Dokter, progresnya bagus. Ia juga semakin sehat sudah jarang batuk-batuk dan mengeluh sakit lambung lagi.
Malam itu tepat empat bulan kami menikah, belum ada tanda-tanda aku hamil. Mas Bahana tenang, tidak menyoalkannya. Beberapa tetangga mulai kasak kusuk, nyinyir dan jail. “Udah empat bulan lho... isinya kemana?”, ada juga yang menyarankan , “Priksa di sini lho mbak Jasmin, uampuh manjur”, ada juga yang terang-terangan mengatai “mesaake yo sik lanang Bagus, sik wedok ayu, tapi kok gabug”. Aku menagis di pundak mas Bahana semalaman, ia membenarkan kucir kudaku yang longgar. “Min, anak itu titipan Allah, Allah tau yang terbaik untuk kita. Jangan nangis Min. Insya Allah kalau waktunya udah pas, Allah akan kasih kita titipan paling berharga itu”, “Tapi mas Po malu nggak di katai tetangga-tetangga kita?” tanyaku sambil terus menangis, ingusku juga ikut mengalir “Kamu malu nggak?” tanya mas Bahana balik. Aku menggeleng. “Nah aku lebih malu kalo istriku keluar rumah ingusan kaya gini” Mas Bahana me lap ingusku dengan kaosnya, sambil tertawa “ Iih jorok, tisunya mana?”, “Tisunya abis” katanya santai. Ia melepas kaosnya dan melemparnya ke ember. Malam itu kami bercanda sampai pagi.

Setelah kuhitung-hitung, tepat, aku sudah telat hampir dua minggu. Maka aku memutuskan untuk ke dokter, sebenernya nggak baik sih, pergi tanpa sepengetahuan suami, tapi aku tidak ingin ada dua orang yang kecewa di depan dokter. 

“Selamat Bu Jasmin, anda positif hamil”, Alhamdulillah aku sujud syukur saat itu juga. “Belum ada sebulan Bu Jasmin jadi masih rawan, dijaga baik-baik ya” Aku mengangguk. Perasaan ini membuncah buncah dalam dada, mas Bahana harus tau secepatnya. 

Keluar dari ruang priksa aku segera menghubungi kecintaanku .Tut....tut...tut... teleponya tidak aktif. Tumben. Aku telpon Mama, Papa, Ibu, semua tidak aktif. Kok bisa gitu? Aku telepon Bapak, kok tidak diangkat juga ... 

Hand phone ku terjatuh, tanganku tiba-tiba lemas. beberapa perawat berlari – lari mendorong seseorang yang sangat mirip dengan mas Bahana di atas ranjang, aku segera berlari, tapi aku tau aku tidak sendiri, maka aku tetap menyusul secepat mungkin tanpa membahayakan bayi dalam kandunganku. Di depan ICU sudah berdiri Papa, Mama, Bapak, Ibu. “Jasmin tau darimana?” Wajah Mama kaget melihatku, tapi ia reflek memeluk, jadi aku sengaja tidak diberitahu? Aku ingin marah tapi percuma. Aku adalah istri mas Bahana, aku adalah orang yang seharusnya tau pertama kali apa yang terjadi pada suamiku. Kata Ibu mas Bahana pingsan di sofa saat mengantar makan siang kerumahku. 

“Keluarga?” kata dokter yang memeriksa Mas Bahana. Sudah dua jam kami menunggu, ketika dipanggil kami semua berdiri. “Saya istrinya Dok”, Dokter bicara dengan nada penuh simpati , katanya harapan mas Bahana untuk sembuh sangat kecil. Ia koma. Aku pias, pening, tiba-tiba semua gelap suara Ibu yang memanggil-manggil namaku semakin lama- semakin terdengar jauh - jauh dan kini, sunyi.
--
Pagi yang indah, mentari baru saja menyembul dari ufuk timur, belum terang tapi juga tidak gelap, aku joging ringan bersama mas Bahana, kami beli Bubur Ayam di pinggir jalan. Ah nikmatnya. Perjalanan pulang kami memilih untuk santai kami hanya jalan-jalan saja, sepanjang perjalanan mas Bahana menggandengku sama sekali tidak berniat melepaskan. Sampai dirumah setelah mandi, aku ngobrol santai dengan mas Bahana. Ini pasti jadi kejutan baginya. “ Mas tadi tetangga depan masih kasak kusuk tentang kita”, mas Bahana menatapku bingung, kok tiba-tiba jadi ngomongin masalah tetangga “Kalau kamu sakit hati dan terganggu, mereka harus aku tegur Min”, ups “bukan-bukan” aku menenangkan mas Bahana, aku membelai lembut dadanya, katanya kalau lelaki sedang marah belailah dadanya, niscaya marahnya reda dan ia akan kembali tenang. Manjur. “Sekarang aku nggak khawatir lagi mas, dan sebenernya nggak peduli juga sih sama mereka, aku cuma peduli sama hubungan kita bertiga”, mas Bahana menatapku dengan serius, aku mengeluarkan surat keterangan dari dokter yang menyatakan aku positif hamil , mas Bahana berkaca-kaca. 

Aku tau mas selama ini kamu juga cemas menanti, tapi lelaki tetap harus terlihat lebih tegar kan? Ia memelukku erat sambil berbisik “Nakal ya priksa ke dokter nggak ngajak-ngajak”, aku mengerling menggoda, “Aku takut mas kalo hasilnya nggak sesuai harapan, entar mas Po nangis di depan dokter, aku kan malu”, ia menjitak lembut kepala ku sambil membenarkan ekor kudaku yang longgar.

Kami berdua sepakat kalau anak kami laki-laki, akan kami beri nama Anugrah, kalau Perempuan namanya Rahmah.
--
Jam menunjukkan pukul 00.00 kepalaku pening tapi daru baunya aku tahu, sekarang aku masih di rumah sakit. Astaghfirullah, aku belum sholat, aku mengingat-ingat Ashar, Maghrib, Isya. 

Mas Bahana, mana mas Bahana, aku bangun bergegas ingin menemui mas Bahana, aku harus tanya, kalau aku terlewat tiga sholat maka apa yang harus kulakukan? Kalau dijamak caranya bagaimana? Saat seperti ini aku membutuhkan petunjuk imamku. Ibu yang tertidur di sampingku, mengucap hamdalah berkali-kali ketika tau aku siuman. “Mas Po mana bu?” Tanyaku tak sabar, “Aku tolong dianter ke mas Po Bu”, Ibu menatapku iba. “Nanti Jasmin kamu belum sehat, belum boleh jalan-jalan. O iya kata dokter kamu hamil?” aku mengangguk senang, “Mas Po belum tau Bu, aku harus bilang dulu ke mas Po, nanti dia marah kalau yang tau ibu duluan”, aku tertawa renyah. Ibu mengusap kepalaku “Mas Po di ruangan mana Bu?”, “Ada di ruangan yang sana” kata Ibu. “Astaghfirullah, aku belum sholat Bu, Ashar, Maghrib, Isya. Aku harus tanya mas Po cara jamaknya gimana?”, “Sholat Isya aja nduk, yang lain nggak wajib diganti kan kamu nggak sadar”, aku menepuk jidatku sendiri. “Oh iya ya... mas Po udah sholat Isya Bu?”, Ibu mengangguk.
“Ya udah aku wudhu dulu Bu” ibu membantuku wudhu ditempat tidur. 

Selesai salam, Hp ku bunyi tak henti – henti, “Bip-bip”,”Bip-bip” banyak sms masuk. Kalimat pertama “Innalillahi wa innaillaihi rojiun”, “Ada yang meninggal Bu” aku berujar pada ibu. “Siapa?”tanya ibu. Wajahku yang tadinya datar mulai memanas. Janutungku yang tadinya normal, kini seperti berhenti, aku menangis tergugu saat menscroll sms ke bawah “turut berduka mbak, atas kepergian Mas Bahana, semoga dilapangkan kuburnya....” teks-teks berikutnya sudah tak terbaca, kabur oleh air mataku yang menggenang dipelupuk mata, Aku berteriak histeris “ Mas Bahana mana Bu...??!!!”. Ibu menenangkan ku memelukku seeratnya. Mama Papa masuk ke ruangan. 

Aku tidak peduli, aku segera menyambar jilbab biruku. Aku turun mencari kamar mas Bahana, aku harus memastikan. Pasti dokter salah. SMS itu bohong! BOHONG! Ibu mengikutiku dari belakang. Mobil ambulance meraung-raung membawa jenazah mas Bahana kerumah ditemani Bapak. Aku lemas, kakiku kebas persendiaku bagai dilolosi satu –satu, aku terduduk lesu dilantai depan pintu keluar Rumah Sakit. Berselonjor begitu saja tidak peduli tatapan orang.

 Allah memang mempergilirkan malam dan siang, sedih dan bahagia. Tapi untukku Allah memberikan satu yang istimewa, perasaan senang dan sedih dalam satu waktu. Tak masalah karena toh takdir Allah selalu indah. Ia tidak akan lalai mengurus hamba Nya. Aku percaya.
--
Sebulan tepat setelah kepergian mas Bahana untuk selamanya. Aku tak sengaja menemukan kumpulan foto ku di bindernya , foto sejak aku SMP. Ternyata diam –diam dia suka mengambil gambarku. Hm jail. Culun sekali wajah kami berdua , tepatnya wajahku, wajah mas Bahana selalu tampan, pas tidak lebih tidak kurang. Aku mendesainkan satu jas pengantin untuk mas Bahana, aku ingat percakapan kami dulu .
"Besok - besok aku boleh dong minta didesainin jas"
"Jas apa?"
"Jas peengantin dong"

Tau gitu aku desainin dari dulu-dulu mas, kataku sambil menatap foto mas Bahana. Nggak papa deh nggak dipake. Yang penting aku sudah menepati janji, kataku riang dalam hati. Mas Bahana mengurus segalanya dengan sempurna, sebelum kepergiannya ia sempat membuat kesepakatan dengan notaris Ia melunasi semua hutangnya dan meninggalkan beberapa hal untukku dan si kecil yang ada dalam kandungan, salah satunya surat. Ia menuliskannya saat tersadar dari koma, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

Assalamualaikum
Min, waktu kamu baca ini, mas Po mu yang ganteng pasti udah ga ada di samping kamu lagi. Udah nggak bisa benerin kuciran ikat kudamu yang unik itu. Udah nggak bisa nyodorin tisu buat air mata sama ingusmu. Makanya Min jadi perempuan jangan jorok. Piss Min 

Min, jangan nangis terus ya, malu sama tetangga. Nanti dikiranya Mas Po sering nyakitin kamu... padahal memang iya kali ya... hehe. Min aku bangga banget punya istri sekaligus sahabat kaya kamu, dari awal aku kenal kamu Min, aku yakin kita pasti akan disatukan oleh Allah. Kamu baik Min, cantik, pinter, periang, bisa ngimbangin aku yang pendiem (hush jangan protes), dan lebih sering nglamun. Makasih Min selama ini udah mendukung mas Po, baik dalam suka maupun duka. Makasih udah memutuskan membahagiakan lelaki sakit-sakitan ini di akhir hidupnya. Makasih udah jadi foto model terhebatku. Makasih udah memperjuangkan talentaku sebagai fotografer. 

Min mas Po seneng banget, ada si kecil yang nantinya nemenin kamu. Kalo laki-laki kasih nama Anugrah ya... kalo perempuan kasih nama Rahmah Oke?pliss. Min maaf, mas Po nggak punya banyak tinggalan untuk kalian. Yang jelas rumah dan mobil yang kita punya, semua sudah atas namamu Min. Mas juga ada tabungan, inshaaAllah cukup untuk modal usaha kamu buat butik dan nyekolahin Anak kita sampai jadi sarjana. Kejar terus cita-cita jadi desainer ya. Miminku pasti bisa. Kalau ada apa-apa yang bertanggungjawab atas anak kita adalah Papa, atau keluarga dari pihak laki-laki. Anak kita amanah Min dijaga baik-baik ya.

Dari Mas Bahana Po mu, yang akan selalu cinta dan sayang sama Mimin sampai ajal menjemput...
Oiya Min Kalo Anugrah atau Rahmah udah lahir jangan ragu-tagu untuk cari Papa baru buat mereka ya... pilih yang baik jangan Cuma yang ganteng kaya aku :p
Wassalamualaikum
Cium Mimin cium anak kita

Tanggal 31 Desember 2011 Aku memutuskan untuk pergi lagi ketempat itu. Tempat pertama kali Mas Po melingkarkan cincin di jari manisku. Malam sudah beranjak berganti pagi, gegap gempita tahun baru bersahut-sahutan di udara. Aku menatap langit Jogja sambil teresenyum dari sini, dari kursi panjang coklat di sebuah kafe di Taman Pelangi. Langit itu masih indah, seindah dulu. Aku mengeluarkan kamera SLR dari dalam tas. Beberapa kali aku menjepret keindahan langit Jogja di malam tahun baru, memotret juga hal-hal yang menurutku agak janggal tetapi selalu kau lakukan Mas Bahana, balon-balon, lampion-lampion, anak menangis, bahkan para penjual. Jepretanmu tak terkalahkan mas, tapi Kamera ini sekarang jadi milikku, mungkin besok akan digunakan dengan baik oleh Anugrah atau Rahmah. Pukul satu dini hari air mineralku sudah habis. Aku berjalan pelan sambil mengelus perut buncitku, tinggal beberapa bulan lagi Nak. 

Bug! Tiba-tiba seseorang menyenggolku dari belakang, barang-barangku berjatuhan, beruntung kamera ini menggantung kuat dileherku, Aku sedikit menjerit, kaget dengan hantaman tiba-tiba”Aww..”, “Ups maaf mbak, maaf”, ia membantuku memunguti barang-barang dari dalam tas. Tatapan kami beradu, Ia menyerahkan barang-barangku. Aku kenal dia, aku hapal mati wajahnya “Mas Po” aku mendesis. “Iya? nama saya Popo mbak”, Ia menjulurkan tangan, sambil tersenyum.

 Ada di Kumcer Pengantin Qur'an... masih banyak kisah romantis lainnya dari teman penulis hebat di sana :)

sumber gambar : kompasiana.com

Comments