Di Sana

Jangan berharap pada langit,
Karena langit lebih sering menawarkan warna kelabu dari pada biru.

Belira gusar. Ditumpahkannya pensil dua puluh warna dari dalam kotaknya. Ia sedang mencari warna biru. Ia ingin mewarna biru pada langit. Tangannya gemetaran memilah-milah. Seharusnya ada. Seharusnya warna biru itu bersatu dengan warna-warna lainnya. Namun tidak! Biru itu lenyap entah dibawa oleh apa atau siapa. “Biru-biru-biru”, mulutnya menceracau tidak jelas. “Biru kamu di mana?” Ia memanggil-manggil pensil warna biru seolah dia punya telinga.

 “Biru”
“Biru...”
“Biru......”

“Aaaarrgh!” , ia mulai tak sabar. Tangannya  mengacau ke kanan, kiri, memutar, sembarangan. Diacak-acaknya pensil-pensil berkepala lancip yang sudah terserak, membuatnya makin porak poranda.

Wanita berambut kusut itu mementalkan dirinya ke sudut kamar. Meringkuk. Giginya bergemelutuk. Tubuhnya bergetar. “Biru...,” suaranya lirih tapi penuh emosi. “Biru kamu di mana?” Kini ada isak di sela-sela kalimatnya. Lidah Belira mencecap asin air matanya sendiri. Ia habis akal tanpa warna biru. Ia tidak bisa membuktikan bahwa Langitnya selalu menawarkan warna biru tanpa sedikitpun kelabu.

Tapi tidak ada yang percaya pada Belira. Langitnya pergi begitu saja, katanya hanya seminggu. Namun, sudah sebulan ini Langit tidak memberi kabar. Semua orang mulai membisikkan prasangka-prasangka pada Belira. Mungkin Langit bertemu wanita lain. Mungkin Langit punya anak dengan orang lain. “Buat apa mengharap Langit?! Pelukis tanpa penghasilan tetap. Cari suami lain, kamu berhak Belira.” Bahkan ibunya sendiri tidak luput ikut menghasut. Tapi Belira selalu berharap pada Langitnya. Ia menggantungkan cintanya pada Langit dan berharap kehadiran Langit akan menjawab cinta-cintanya. Ia masih yakin Langitnya tetap biru meskipun ia begitu sulit membuktikan.

 Belira masih meringkuk. Masih mencari cara untuk menunjukkan pada semua orang bahwa Langit adalah kunci bagi hatinya. Langit tidak pernah sekalipun ingkar janji. Dan ia yakin saat ini pun Langit tidak akan ingkar janji. Langit pasti kembali, sekarang mungkin belum bisa, mungkin dia kehabisan ongkos di jalan. Mungkin ia sedang mengumpulkan banyak uang lalu kembali dan segera membawanya pergi dari rumah ini. Atau mungkin-mungkin yang lain, tapi yang jelas – bukan sebuah kemungkinan yang mempertaruhkan kesetiaan Langit. Belira percaya itu dan hatinya menjadi sedikit tenang.

Kini, Ia menengadah . Membiarkan matanya menembus jendela kamar , memandang langit yang berwarna kelabu. Hatinya pedih. Kepalanya segera berpaling. Ia benci langit kelabu. Langit kelabu bukan Langitnya. Tidak ada Langitnya di sana.

Sementara itu...

Dari atas langit, Langit menangis menatap Belira. Ia sesak melihat tubuh kekasihnya semakin kurus, ia nelangsa memandang diri istrinya yang tak terurus. Tangannya maju ke depan, ingin merengkuh tubuh lemah Belira. Ingin membelai rambutnya lagi. Ingin bersama-sama melukis hal-hal sederhana bersama Belira lagi. Tapi sekarang tidak bisa. Sekarang bukan kanvas sahabatnya, tapi awan. Langit duduk di atas awan. Bersedih atas nasibnya sendiri. Bersedih atas keisengannya yang membuat istrinya lebih tertekan.

Langit tau, Belira sangat mencintai warna biru. Dan sebelum berangkat dulu, dia sengaja mengambil pensil warna biru milik Belira lalu menyembunyikannya di suatu tempat.

Sore itu Langit keluar rumah, berpamitan akan ke hutan. Ia ingin mencari inspirasi dari alam. Di hari terakhir penyerapan inspirasinya, ia berjalan di atas guguran daun-daun. Matanya masih berputar menikmati hutan hijau nan lembab, tiba-tiba dari ekor matanya ia melihat sebuah bunga biru menggantung sangai cantik, agak ke bawah diantara batu-batu. “Belira pasti senang menerima hadiah ini”. Baginya hadiah harus sesuatu yang original, sesuatu yang diusahakan. Meskipun bunga itu merekah cantik di bibir jurang, Langit menghampirinya. Berusaha merengkuhnya. Tubuhnya ia julurkan ke bawah , susah payah menggapai. Ya Tuhan, tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, akar bunga cantik ini begitu kuat terhujam. Ia berusaha lebih keras lagi. Terbayang senyum Belira yang akan menyambut bunga itu dengan suka cita. Ia lupa di depannya jurang menganga lebar, dan ketika ia berhasil menarik bunga itu, tepat ketika peluh dan senyum puasnya melebur, tubuhnya ikut terdorong, terperosok ke depan dan terlempar ke jurang. Tubuhnya menggelinding menabrak batu-batu terjal. Trpental-pental kesakitan. Namun tangannya berusaha menggenggam bunga itu kuat - kuat. Sampai detak jantunya menghilang. Langit hilang ditelan alam.

Kini Langit kembali ke langit. Mengawang-awang dengan resah. Ia hanya ingin membisiki sesuatu pada Belira. Tapi dimensi berbeda membuatnya begitu susah menembus kaca...

“Belira aku hanya ingin bilang. Aku mencintaimu, itu janji yang hingga detik ini tidak kuingkari. Pensil biru mu ada di bawah kulkas dapur. Semoga suatu saat bisa kau temukan. Maaf kan aku yang belum sempat pergi baik-baik. Satu lagi... Jangan berharap pada langit,Karena langit lebih sering menawarkan warna kelabu dari pada biru. Aku tidak ingin kamu sedih. Harapan tersering membuat kita kecewa. Selamat tinggal Belira”

Belira terhenyak. Suara petir begitu keras menyambar. Kepalanya mendongak lagi menembus kaca. Titik-titik air mulai turun. Entah mengapa ia merasa Langitnya begitu dekat. Langitnya berubah wujud jadi kelabu. Dan ia kecewa.

Comments