Ketika itu Menyangkut Kamu, Beranjak Dan Melupakan Menjadi Tidak Mudah
Percayalah...
Dulu ku pikir aku adalah seseorang yang bisa jatuh cinta berkali-kali dan bangun berkali-kali. Karena pada kenyataannya hal itulah yang sering ku alami. Jatuh cinta, bangun, lalu melupakan. Jatuh cinta lagi, bangun lagi, melupakan lagi. Jatuh cinta bagiku semudah membalik telapak tangan. Bahkan hanya karena hal-hal super sepele aku bisa jatuh cinta. Sebaliknya karena hal-hal maha sepele juga aku berhenti mencinta.
Kamu tau dulu ada seorang lelaki dengan gelang di tangannya. Suka memetik gitar. Iya, dia pengamen jalanan yang selalu duduk di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret untuk memetikkan lagu-lagu lawas milik Ebiet G Ade atau Iwan Fals. Lelaki itu datang ke sana lepas Ashar. Lalu dengan kursi kecil yang di bawanya sendiri ia duduk. Di depannya ia meletakkan toples kosong transparan kusam berbercak hitam. Kakinya selalu dibuka agak lebar, gayanya lelaki sekali. Setelah itu lekukan gitar tanpa sarung itu melekat di pahanya. Jari-jarinya yang berkuku agak hitam memetik senar-senarnya dengan sopan. Seakan gitar itulah kekasihnya.Aku mengamatinya dari dari dekat. Berdiri tepat di depannya. Memberikan yang terbaik yang ku punya.
Lalu bagaimana aku jatuh cinta padanya?
Ia tersenyum. Baiklah, memang hanya selengkung senyum. Tapi saat itu hujan baru saja reda, matahari mulai mengintip pelan-pelan. Lengkungan itu di mataku sempurna pelangi. Dan aku menyukai pelangi. Sesederhana rumus gravitasi, aku jatuh cinta padanya. Pada pandangan entah ke berapa karena ku akui, aku perlu ke sana berkali-kali untuk tau aku memang cinta.
Tapi taukah cinta itu bertahan berapa lama? Tiga puluh detik saja. Tepat saat ia mengeluarkan rokok untuk menghalau Jogja yang lumayan dingin sisa hujan, perasaan cinta ku lenyap tidak bersisa. Sama seperti pelangi yang tidak pernah bertahan lebih dari sehari. Aku suka senyumnya tapi tidak rokoknya.
Maka ketika itu menyangkut namamu ku pikir akan semudah itu juga melenyapkan apa yang membuatku susah tidur. Mengacaukan hal-hal yang harusnya beres.
Ternyata...
Tidak!
Waktu itu kamu datang di depanku, membawa secangkir kopi untuk menemani sepi berjaga sendiri di depan ruang ICU. Malaikat mana yang menuntunmu menuju ku? Aku ingin tau. Aku ingin protes, kenapa harus kamu?!
Kamu duduk di sebelahku. Membisu. Menatap pintu yang sama. Tapi perasaan kita berbeda. Aku marah. Kamu merasa bersalah.
Kamu tau, tegukan pertama kopi itu rasanya pahit. Tapi lama-lama lidahku terbiasa. Seperti kehadiranmu. Pertama kali melihatmu berkunjung ke sini aku benci, marah, ingin melemparmu dari loteng Rumah Sakit hingga ke dasar dan melihat jasadmu berkeping-keping. Tapi lama-lama aku terbiasa. Lama-lama saat kamu ijin tidak bisa datang, aku kesepian. Lama-lama melihatmu menjadi semacam kebutuhan. Berbagi denganmu menjadi hal yang harus terjadi setiap hari. Diam-diam rasa terbiasa itu berubah jadi cinta.
Dan hari itupun tiba. Saat komputer mulai menghentikan hitungan-hitungan berbau rupiah untuk menyewa kamar dan berbagai peralatan di dalamnya. Saat selang-selang itu dilepas satu-satu. Saat ia yang sangat kucintai, seorang wanita yang pernah membawaku kemana-mana selama sembilan bulan. Membesarkan ku bertahun-tahun, harus memejamkan mata cantiknya. Bukan hanya satu jam dua jam. Tapi selamanya. Kamu tau? Betapa aku membencimu. Membenci tingkah lakumu yang mabuk seperti orang gila lalu menabrak wanita paruh baya yang tidak salah apa-apa! Kamu jahat! Keparat!
Sini, biar ku layangkan tinjuan ini ke arah matamu. Agar kamu tau bagaimana sakitnya mata ku yang menangis setiap hari karena Ibu pergi. Sini, biar ku patahkan tanganmu agar kamu tau bagaimana pedihnya tidak bisa lagi menyalami tangan Ibu saat akan pergi kemanapun... Sini... sini berikan tubuhmu!
Betapapun begitu semua tidak akan membuat Ibu kembali. Aku puas! Tapi apa yang ku inginkan tidak benar-benar datang.
Kamu... aku ingin membiarkan tubuhmu lenyap dari pikiranku. Aku ingin si pembunuh ibu ikut mati saja waktu itu. Daripada begini. Daripada aku kebingungan harus bagaimana bersikap padamu. Kamu tidak usah datang-datang lagi. Tidak usah kasihani aku lagi. "Kamu pergi! Pergiiiiiii!!!!!" , "Aku tidak cinta kamu! AKU BENCI KAMU!" "Pergiii...!!!!".
"Dewanti, Dewanti ayo masuk. Sudah saatnya minum obat," perawat berbaju biru muda itu mencengkram erat lenganku. Aku meronta-ronta seperti biasa. Aku ingin dia pergi-pergi dari otakku. Selamanya sampai aku mati!
Tapi keinginanku hanya keinginan. Setiap hari dia selalu mengikutiku. Bahkan tiap malam dia tidur di sebelahku.
Dulu ku pikir aku adalah seseorang yang bisa jatuh cinta berkali-kali dan bangun berkali-kali. Karena pada kenyataannya hal itulah yang sering ku alami. Jatuh cinta, bangun, lalu melupakan. Jatuh cinta lagi, bangun lagi, melupakan lagi. Jatuh cinta bagiku semudah membalik telapak tangan. Bahkan hanya karena hal-hal super sepele aku bisa jatuh cinta. Sebaliknya karena hal-hal maha sepele juga aku berhenti mencinta.
Kamu tau dulu ada seorang lelaki dengan gelang di tangannya. Suka memetik gitar. Iya, dia pengamen jalanan yang selalu duduk di depan Museum Serangan Oemoem 1 Maret untuk memetikkan lagu-lagu lawas milik Ebiet G Ade atau Iwan Fals. Lelaki itu datang ke sana lepas Ashar. Lalu dengan kursi kecil yang di bawanya sendiri ia duduk. Di depannya ia meletakkan toples kosong transparan kusam berbercak hitam. Kakinya selalu dibuka agak lebar, gayanya lelaki sekali. Setelah itu lekukan gitar tanpa sarung itu melekat di pahanya. Jari-jarinya yang berkuku agak hitam memetik senar-senarnya dengan sopan. Seakan gitar itulah kekasihnya.Aku mengamatinya dari dari dekat. Berdiri tepat di depannya. Memberikan yang terbaik yang ku punya.
Lalu bagaimana aku jatuh cinta padanya?
Ia tersenyum. Baiklah, memang hanya selengkung senyum. Tapi saat itu hujan baru saja reda, matahari mulai mengintip pelan-pelan. Lengkungan itu di mataku sempurna pelangi. Dan aku menyukai pelangi. Sesederhana rumus gravitasi, aku jatuh cinta padanya. Pada pandangan entah ke berapa karena ku akui, aku perlu ke sana berkali-kali untuk tau aku memang cinta.
Tapi taukah cinta itu bertahan berapa lama? Tiga puluh detik saja. Tepat saat ia mengeluarkan rokok untuk menghalau Jogja yang lumayan dingin sisa hujan, perasaan cinta ku lenyap tidak bersisa. Sama seperti pelangi yang tidak pernah bertahan lebih dari sehari. Aku suka senyumnya tapi tidak rokoknya.
Maka ketika itu menyangkut namamu ku pikir akan semudah itu juga melenyapkan apa yang membuatku susah tidur. Mengacaukan hal-hal yang harusnya beres.
Ternyata...
Tidak!
Waktu itu kamu datang di depanku, membawa secangkir kopi untuk menemani sepi berjaga sendiri di depan ruang ICU. Malaikat mana yang menuntunmu menuju ku? Aku ingin tau. Aku ingin protes, kenapa harus kamu?!
Kamu duduk di sebelahku. Membisu. Menatap pintu yang sama. Tapi perasaan kita berbeda. Aku marah. Kamu merasa bersalah.
Kamu tau, tegukan pertama kopi itu rasanya pahit. Tapi lama-lama lidahku terbiasa. Seperti kehadiranmu. Pertama kali melihatmu berkunjung ke sini aku benci, marah, ingin melemparmu dari loteng Rumah Sakit hingga ke dasar dan melihat jasadmu berkeping-keping. Tapi lama-lama aku terbiasa. Lama-lama saat kamu ijin tidak bisa datang, aku kesepian. Lama-lama melihatmu menjadi semacam kebutuhan. Berbagi denganmu menjadi hal yang harus terjadi setiap hari. Diam-diam rasa terbiasa itu berubah jadi cinta.
Dan hari itupun tiba. Saat komputer mulai menghentikan hitungan-hitungan berbau rupiah untuk menyewa kamar dan berbagai peralatan di dalamnya. Saat selang-selang itu dilepas satu-satu. Saat ia yang sangat kucintai, seorang wanita yang pernah membawaku kemana-mana selama sembilan bulan. Membesarkan ku bertahun-tahun, harus memejamkan mata cantiknya. Bukan hanya satu jam dua jam. Tapi selamanya. Kamu tau? Betapa aku membencimu. Membenci tingkah lakumu yang mabuk seperti orang gila lalu menabrak wanita paruh baya yang tidak salah apa-apa! Kamu jahat! Keparat!
Sini, biar ku layangkan tinjuan ini ke arah matamu. Agar kamu tau bagaimana sakitnya mata ku yang menangis setiap hari karena Ibu pergi. Sini, biar ku patahkan tanganmu agar kamu tau bagaimana pedihnya tidak bisa lagi menyalami tangan Ibu saat akan pergi kemanapun... Sini... sini berikan tubuhmu!
Betapapun begitu semua tidak akan membuat Ibu kembali. Aku puas! Tapi apa yang ku inginkan tidak benar-benar datang.
Kamu... aku ingin membiarkan tubuhmu lenyap dari pikiranku. Aku ingin si pembunuh ibu ikut mati saja waktu itu. Daripada begini. Daripada aku kebingungan harus bagaimana bersikap padamu. Kamu tidak usah datang-datang lagi. Tidak usah kasihani aku lagi. "Kamu pergi! Pergiiiiiii!!!!!" , "Aku tidak cinta kamu! AKU BENCI KAMU!" "Pergiii...!!!!".
"Dewanti, Dewanti ayo masuk. Sudah saatnya minum obat," perawat berbaju biru muda itu mencengkram erat lenganku. Aku meronta-ronta seperti biasa. Aku ingin dia pergi-pergi dari otakku. Selamanya sampai aku mati!
Tapi keinginanku hanya keinginan. Setiap hari dia selalu mengikutiku. Bahkan tiap malam dia tidur di sebelahku.
assalamu'alaikum mb.. subhanallah sekali mb ceritamu.. skenario-Nya kadang membuat manusia sebingung mencari jarum di tumpukan jerami ya. Tapi skenario-Nya pasti sudah dibuat utk yang terbaik buat kita.
ReplyDelete