Negeri Entah Berantah dan Serenteng Doa

Suatu hari di musim penghujan, kita diminta pergi dari dunia yang sangat kita. Berpindah ke sebuah tempat yang begitu tidak kita. Entah Berantah. Bersama seorang entah siapa, tidak kita kenal sebelumnya. Tapi kita tau, dia baik. Itu saja kata kuncinya. BAIK. Lalu kita ragu, apakah cukup baik saja, atau memang sesungguhnya kita boleh memilih untuk pergi ke sebuah tempat yang pertengahan. Tidak sangat kita, tapi bukan tidak kita sama sekali? Bersama yang lainnya. Di titik ini mungkin bekal serenteng doa saja tidak cukup. Harus ada berenteng-renteng. Sekarung mungkin? atau sekontainer. 

Ya, karena sesungguhnya doa-doa itu yang akan membantu kita membacakan peta negeri entah berantah, menerangi jalan-jalan gelap di negeri itu. Menyamarkan kegirangan tentang petualangan. Menjernihkan air keruh dalam kepala. Serenteng doa yang dipintal-pintal menjadi anak tangga menuju jawabanNya, yang tidak akan sesat jika kita iyakan. Apapun jawabanNya! Apapun.

Negeri entah berantah ini panjang kawan. Mungkin lebih panjang dari usiamu sekarang...

Tidak untuk candaan, negeri entah berantah ini... untuk rumah berikutnya.

Comments