Kail-Kail Harapan di Awan


Aku punya sebuah cerita, tentang harapan yang sama-sama kita punya. Taukah? Dia tidak berupa di depan mata kita. Dia tak beraroma saat kita menghirup udara. Dia tak terasa oleh indra peraba, tapi dia ada. Dia ada sebagaimana kita meyakini adanya cinta.

Dia berjalan dari dalam hati. Iya, bayangkan... setiap hati kita punya pintu yang bisa dibuka. Lalu lewat pintu itu ada yang bisa masuk, ada yang bisa keluar. Harapan adalah dia yang menunggu lama untuk dikeluarkan. Jumlahnya banyak, di sana ia berjejal - jejal dengan yang lainnya.  Saling tunjuk tangan untuk dikeluarkan duluan.


Waktu-- mengeluarkan mereka satu persatu. Lewat mulut kita yang merapal doa, atau sekedar mengucap seadanya. Namun kadang ada harapan yang bernasib kurang mujur. Berkat rasa takut kita, atau jerih kita, dia tertahan di dalam hati. Engsel pintunya tiba-tiba mogok tak mau dibuka. Kasihan.

Em... Nanti kita singgung lagi dia yang tertinggal di dalam. Sekarang kita lanjutkan perjalanan harapan yang telah keluar lewat mulut-mulut kita. Lirih atau lantang dia sudah keluar.

Harapan itu lantas berkelana, ia berterbangan bagai gelembung udara, membumbung ke angkasa. Di sana ternyata pasukan awan telah siap dengan kailnya. Mereka mengeluarkan kail yang pendek dan panjang. Jumlahnya, sama banyak bahkan lebih banyak dari harapan kita. 

Harapan kita yang tidak punya mata begitu mudah tersangkut di kail-kail itu. Di sanalah harapan kita digantung. 

Berhenti dulu untuk harapan yang digantung. Sekarang, mari kembali pada harapan yang tersimpan dalam hati. 

Untuk harapan yang tersimpan dalam hati -- ada beberapa jalan istimewa untuk mengeluarkannya...

Pertama, ia akan keluar melalui ceracau kita saat tak sadarkan diri. Menjelma jadi mimpi, terbawa kata-kata saat pejam menguasai.

Atau yang kedua... diam-diam ada yang punya harapan sama dengan kita. Untungnya, dia berani mengajukan itu saat berhadapan dengan Tuhannya.

Baiklah, akhirnya ia yang di dalam hati keluar juga. Meski agak terlambat. Prosesnya sama dengan yang lalu-lalu. Ia keluar, melayang-layang dan kail awan siap menangkapnya.

Lihatlah di langit sana, begitu banyak harapan kita yang digantung. Allah, Tuhan kita yang maha kuasa mudah saja melepas kait-kaitnya. Tapi bukankah inti dari hidup adalah ibadah? Bukankah ibadah adalah perjuangan?

Dia ingin kita memahami harapan. Esensi menggantung harapan adalah untuk menariknya kembali. Dan kita yang tau bagaimana cara menarik harapan itu dari kail-kail awan. Ada yang mudah, tapi... ada yang sangat sulit.

Bukan salah kita. Saat harapan kita digantung, dia tidak sekadar digantung. Tuhan memeriksa harapan kita satu per satu. Ya, mudah saja bagiNya memeriksa ratusan bahkan triliunan harapan manusia yang mengangkasa. DitelitiNya, apakah harapan itu tepat untuk kita... atau tidak. Baik untuk kita atau sebaliknya.

Jika kita merasa harapan itu sulit ditarik, padahal kita sudah berusaha keras, mungkin bagiNya harapan itu tak cocok untuk kita. Atau bisa jadi waktunya yang kurang pas. Maka ia mengganti gelembung harapan itu dengan yang laiinya. Atau menarik kailnya agak ke atas sampai ketika saatnya tepat ia menurunkan kail itu dan memudahkan kita menariknya.

Entahlah... sejak dulu aku percaya bahwa cara Nya memain-mainkan kail awan untuk kita tidak pernah salah. Ia tidak pernah salah tarik pun salah ulur. Dia selalu tepat, akurat. 

Dan kini aku sedang membidik salah satu harapanku di sana. Di sebuah kail awan yang meliuk... dia tentang kita. Apa kamu juga membidik kail awan yang sama untuk kita tarik berdua?

-Dhita.3.6.14-


Comments