Scary Marry
Ada sebuah em mungkin bisa dikatakan sindrom dari para wanita yang takut menghadapi kenyataan pasca menikah. Dulu, pas masa-masa SMA rasanya saya pengen banget nikah, apalagi lihat pasangan ustadz - ustadzah nan sakinah, mawaddah, wa rahmah, uh gemesh deh. So sweet aja gitu membayangkan mereka gandeng-gandengan meniti jembatan shiratal mustaqim, atau bocengan asik di atas kambing yang saat di dunia mereka qurbankan?
Dan saat SMA itulah saya mencanangkan, GUE BAKAL NIKAH MUDA UMUR 20 TAHUN. Yah meskipun belum tau gimana caranya. Harapannya sih ada pangeran berPajero putih yang tiba-tiba dateng ngelamar, terus yakin aja gitu sama saya. Nggak ngelihat muka saya gimana, nggak ngelihat tingkah saya, nggak nanyain hapalan AlQuran saya, harapan saya sih dia rada cinta buta gitu kwak kwak kwak.
Tapi harapan itu kayanya cuma bunga tidur yang langsung layu setelah bangun deh. Sampai saya umur dua puluh, nggak ada tuh ciri-ciri jejaka ngedeketin saya, jangankan yang berPajero putih, yang naik sepeda mini aja kaga ada. Kebanyakan sih secret admirer << ini mah cuma pencitraan aja biar kesannya tetap ada yang mencintai saya meskipun diam-diam dan mungkin bahkan nggak sadar kalau dia sedang mencintai saya ha ha #abaikan.
Waktu bergulir, matahari dan bulan operan jaga. Namun ternyata lama kelamaan, disadari maupun tidak, ada semacam rasa cemas yang menggerogoti relung-relung hati. Apalagi saat siaran saya sering membacakan curhatan dari ibu-ibu yang #duh memilukan banget. Saya sendiri sampai bertanya-tanya, "is it real?" atau ibu itu hanya menceritakan ulang kisah sinetron yang semalam ditontonnya?
Yah mulai dari suami yang selingkuh, minta nikah lagi, nggak menafkahi, sampai suami yang suka nggebukin istri layaknya nggebukin drum.
Ngeri sekali kan teman-teman? Pernikahan macam apa itu?
Dan ternyata kecemasan ini tidak hanya saya alami. Ada beberapa teman juga yang yah mulai rada-rada takut buat menikah - rata-rata perempuan, meskipun nggak sampai bikin kami ogah nikah sih.
Setelah ngobrol ngebrel mengungkapkan semua ketakutan, finally kami sampai pada sebuah kesimpulan. Sekeren apapun suami kita, mau dia ustadz kek, mau dia syaikh sekalipun, dia hanya MANUSIA yang punya peluang buat khilaf. Jadi yah kita memang nggak bisa bergantung pada dia, apalagi kalau timbangan kita di atas 80 bisa ambrol tuh gantungannya ^^v.
Tetep sih sebagai istri nantinya kita harus taat pada suami, selama suaminya nggak ngehe. Tapi untuk bergantung, cuma Allah yang bisa kita harapkan. Dan satu lagi, menilik kasus-kasus yang ada, kok saya prefer untuk perempuan juga tetap bisa mandiri secara finansial ya? Kerja, bukan cuma nadah hasil kerjaan suami. Kita harus bisa saving dari jerih payah kita sendiri, karena kita nggak tau apa yang akan terjadi ke depan. Saudara saya biidznillah ditinggal meninggal suaminya di usia yang relatif muda, baru tigapuluhan, dan dia punya satu anak. Untung saudara saya kerja, jadi dia bisa strugle untuk terus menghidupi diri dan anaknya. Bayar cicilan rumah, nyekolahin anak, nah gimana kalau sodara saya nggak kerja? Ya, kurang kerjaan juga sih sebenernya tanya gimana-gimana, toh kalau nggak kerja Allah juga pasti udah atur. Tapi ya itu tadi ibarat kata kita sedia minyak kapak sebelum masuk angin. Berjaga-jaga kan nggak ada salahnya. Untuk jenis kerjaan ya, ambil yang halal dan thayib dong. Yang nggak menzalimi hak anak dan suami #saelaaah sok teu bener.
Oh iya, selain itu kita juga harus bisa membedakan antara setia dan bego. Kita menikah meskipun isinya nggak cuma hepi-hepi tapi nggak untuk menyiksa diri juga kan? Islam hadir memberikan hak yang luar biasa banyak pada lelaki dan wanita. Islam mengangkat harkat manusia. Kalau suami marah pakai kata-kata yang yaah rada nylekit mungkin masih bisa dimaklumi, masih bisa diajak ngomong baik-baik. Tapi kalau udah mulai nafsu buat nggebukin istri, wah udah nggak bener tuh! Dzalim! Kalau bisa dikomunikasikan dan dia bener-bener janji untuk nggak ngelakuin lagi, okelah kasih kesempatan. Tapi kalau tuman, kalau belum nggebuk belum ngerasa seger, sebagai istri kita harus berani ambil tindakan. Jangan cuma cengo. Kalau kita diem aja bukankah sama halnya dengan kita menyakiti diri sendiri? Nggak boleh loh menyakiti diri sendiri. Bangkit! Tempuh jalur yang baik untuk menyelesaikan masalah.
Akhiru kalam, ini cuma teori, dan ini hanya ungkapan ketakutan dari pengecut-pengecut nikahan macam kami. Selamat pagi.
pict :
Aku mau 21 mba' maret besok.. dan akupun mulai kepikiran tentang banyak hal, termasuk "nikah".. +3+
ReplyDelete