Valdi Valdo
Aku mengaguminya semenjak
kecil. Semenjak pertama kali ia pindah menempati rumah kosong bekas rumah om
Eddy. Aku mengaguminya yang bisa bersenang-senang dengan apapun. Iya,
APAPUN, bahkan tanah becek dan hujan deras.
Sore itu hujan turun
lebat sekali. Suara petirnya membuatku bolak balik dari pinggir jendela
lalu ke kamar mama, lalu ke pinggir jendela lagi untuk mengintipnya. Ia hanya
mengenakan kaos singlet dan celana pendek lalu meletakkan payung di samping
yang akhirnya berbalik karena tertiup angin. Ia jongkok di atas kubangan
berwarna coklat susu, menaruh sebuah kapal kertas yang langsung hancur, tidak
kuat menerima air dari langit yang bertubi-tubi. Tapi ia tetap asik, tetap
tertawa ria, bahkan sekarang ia duduk tidak jongkok lagi. Ia biarkan kertas
yang jadi bubur itu. Kini aku tidak punya ide tentang apa yang akan ia lakukan.
Lalu tiba-tiba, ia menghampiri payung yang terbalik tadi- sudah ada genagan air
di sana, ia mengangkatnya pelan-pelan, masih dalam kondisi terbalik,
meletakkannya di atas kubangan dan ia... menaikinya ? Ya, ampun...
Ia sekarang main
kapal-kapalan dengan payung, meskipun kapalnya hanya diam dan tidak bergerak,
ia terlihat sangat menikmati, seperti seorang nahkoda profesional. "Nenek
moyangku seorang pelauuut..." Aku tidak bisa mendengar suaranya dari dalam
sini. Hujan di atas genteng sedang bertengkar hebat. Bising sekali. Tapi
mungkin ia sedang menyanyikan lagu itu, mulutnya terlihat komat-kamit dan
kepalanya mendongak ke atas.
Tapi tidak, ternyata ia
tidak menyanyi waktu itu.
--
"Jadi apa yang kamu
lakukan dulu?"
Ia ada di depanku,
memegang sepiring nasi goreng dan bersiap menyuapkannya ke mulutku.
"Aaaak..." Aku
membuka mulut dan membiarkan nasi goreng buatannya masuk ke mulut lalu terjun
bebas ke lambung untuk bertemu sahabatnya yang sudah masuk dari tadi.
"Aku berdoa
untukmu," Katanya menjawab pertanyaanku, "Aku berdoa supaya di tempat
tinggal yang baru, Tuhan memberiku teman yang baik, yang bisa menemaniku
hujan-hujanan sampai sakit flu bersama, lalu meminta ijin untuk tidak sekolah,
lalu bermain-main bersama lagi." Ia tersenyum riang, menyuapkan nasi
goreng terakhir, dan meletakkan piring di atas meja.
"Tapi Tuhan tidak
mendengar doamu." Kataku. Ya, sampai sekarang aku tidak pernah
hujan-hujanan bersamanya sampai flu bersama, dan tidak sekolah bersama.
"Ia selalu mendengar
doa kita, dan doaku yang satu itu dikabulkan dalam bentuk yang lain. Untuk
itulah aku di sini."
"Tapi keberadaanmu
di sini adalah doaku."Maksudku, harapanku.
"Doa kita bertemu,
dan mereka bersepakat untuk mempertemukan kita di sebuah tempat yang hangat,
bukan di bawah langit yang sedang kepenuhan muatan air lalu menyemburkannya ke
bumi. Tuhan ingin aku dan kamu sehat. Aku pernah sakit flu, rasanya tidak
nyaman." Ia berkata seolah-olah dia adalah satu-satunya manusia yang
pernah terjangkit flu.
Aku mengangguk dan
tersenyum mendengarnya membela Tuhan. Aku sendiri tidak terlalu percaya pada
kebaikan Tuhan. Tapi semenjak hari ini, saat mendengar ada seseorang yang
menyebut namaku dalam doanya, dan doa itu ditujukan pada Tuhan, lalu Tuhan
mengabulkannya -yah meskipun dalam bentuk yang lain- tingkat percayaku pada
Tuhan sedikit bertambah.
"Hari ini kamu lebih
cantik. Sini biar ku kepangkan rambutmu."
Ia lalu beranjak ke
belakang pelan-pelan menyisir rambut tipisku dengan jemarinya, lalu
mengepangnya.
"Apa kamu lelah jadi
temanku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Aku merasakan tangannya
berhenti mengepang.
"Kenapa kamu
bertanya begitu?"
"Aku merasa selalu
merepotkanmu dengan semua kondisiku. Aku sangat tidak berdaya di atas kursi
roda ini. Aku tidak bisa melakukan apapun. Bahkan aku tidak bisa keluar rumah
untuk menemanimu berhujan-hujanan. Aku temanmu yang tidak berguna!"
Tubuhku menghangat, ia
memelukku dari belakang, "Tolong, jangan katakan itu lagi. Kumohon."
"Kamu adalah
malaikat bagiku. Kamu adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan
manusia berwajah monster sepertiku. Kamu satu-satunya sahabat yang tidak merasa
terganggu dengan air liur yang selalu menetes dari mulutku. Hanya kamu yang
tidak pernah bohong dengan mengatakan aku cantik. Kamu yang membuatku selamat
dari sayatan pisau saat aku sedang mengalami krisis percaya diri. Kamu
sahabatku yang luar biasa. Tolong jangan katakan itu lagi.Kumohon."
Kami terisak, aku merasa
bersalah.Kenapa aku lemah begini? Aku hanya tak enak hati karena ternyata dia
mendambakan aku bisa hujan-hujanan bersamanya. Bahkan ia menyebutkannya dalam
doa.
"Aku minta
maaf." Isakannya mereda. Kini ia berpindah ke depan. Aku menatap wajahnya
yang memang tidak cantik karena bentuknya tidak beraturan. Nama penyakitnya
keren, mandibulofacial dysostosis.
"Sudah ya jangan
nangis lagi, tambah jelek nanti." Ujarku. Dan ia tersenyum.
"Taukah, aku lebih
senang dikatai jelek, wajah monster, gorila atau apapun tapi orang itu mau
bicara padaku tanpa memandangku seperti memandang bangkai hidup. Daripada sok
menguatkan dengan mengataiku cantik, tapi selalu menghindariku."
"Taukah, aku juga
bersyukur ada seseorang yang menemaniku kemanapun, mendorong kursi roda ini
kemana-mana, mengambilkanku ini itu. Sampai selama ini. Terimakasih."
Kami berpelukan, tau
bahwa semuanya akan berakhir sebentar lagi. Sebuah takdir baru akan menjemput
kami.
"Klarisa, Dahlia.
Sudah ditunggu di luar."
Mama membuka pintu mengingatkan
kami.
"Jangan berlebihan
kalian tetap bisa bersahabat." Kami berdua tertawa, saling tatap dan
berpegangan. Menyalurkan energi masing-masing. Benar, kami hanya menjadi
terlalu melankolis. Kalaupun berpisah kami tidak akan berpisah terlalu lama,
setidaknya kami tetap akan sering bertemu.
"Cepatlah, Valdo dan
Valdi menunggu kalian. Atau kalian berubah pikiran."
Kami berdua menggeleng
bersamaan. Sahabatku beranjak dan mendorong kursi rodaku ke luar. Kami
akan menikah hari ini, suami kami, mereka kembar, ya, dua penyakitan ini akan
jadi saudara ipar.
Saat melihat Valdi,
kepercayaanku pada Tuhan lengkap sempurna. Dia memang penyayang. Sedangkan
sahabatku, aku yakin dia akan mencintai Tuhan lebih dari seisi dunia ini. Valdo
begitu tampan hari ini.
pict : here
Comments
Post a Comment