Mencintai Perokok



Hei, selamat malam dan selamat hari tanpa tembakau.
Berbicara tentang tembakau, saya langsung teringat pada produk hasil olahannya. Rokok. 

Saya yakin kita semua akrab dengan benda ini, dan penghisapnya. Tidak perlu jauh-jauh, ia yang menghisap rokok bisa jadi ayah , paman , atau sahabat yang sangat kita sayang. Bagi seorang non perokok, tentu kita bertanya-tanya, apa sih enaknya merokok? Kok bisa sih ada orang yang sudah tahu bahaya merokok tapi tetap memilih merokok?

Atau mungkin kita juga sering mencibir, menyalahkan, menganggap seolah perokok itu orang yang sangat bodoh dan tidak berguna. Tidak ada baik-baiknya.

Saya khilaf, pernah seperti itu. Begitu benci terhadap perokok, berteriak lantang (meski hanya lewat tulisan) bahwa perokok itu dzalim, pendosa dan sebagainya, namun, setelah menyadari bahwa di rumah Bapak juga sering membawa bungkus rokok, saya jadi merenung, apa iya saya harus membenci bapak hanya karena merokok? Apa iya, saya harus memandang bapak begitu miring hanya karena beliau seorang perokok? Duh, rasanya kok saya begitu tergesa menghakimi seseorang.

Bapak, meskipun sudah menghisap ratusan linting rokok, menyebarkan asapnya ke sekeliling rumah, namun ia jugalah yang menjadi pahlawan di rumah kami. Tulang punggung keluarga, yang susah payah kerja demi kami, yang menghibur saat saya sedih, yang mijeti saat saya lelah, yang nembang saat saya tidak bisa tidur. Apa iya hanya karena rokok lantas semua kebaikan itu tertutupi?

Mungkin saatnya kita tanya pada diri, untuk apa kita meminta orang-orang berhenti merokok? Berangkat dari ego pribadi, atau cinta?

Cinta tidak pernah menyakiti. Ia akan terencana dan terwujud dalam bentuk yang indah, cantik, sehingga yang kita cintapun sadar bahwa kita membawa cinta untuknya. Namun, ketika yang keluar adalah ungkapan kebencian, kata-kata kasar, atau penyalahan-penyalahan. Mungkin sebenarnya kita tidak bicara atas nama cinta, kita bicara atas ego kita sendiri. Kita ingin mereka berhenti karena kita menyayangi diri kita sendiri. Kita takut sakit. Kita egois. Sehingga akhirnya kita berkata, kalau mau sakit, sakit sendiri lah, nggak usah ngajak-ngajak.  Saya sampai tidak habis pikir pada diri sendiri, kok tega?

Saat orang-orang tersayang kita merokok, mungkin kita perlu pahami dulu alasannya. Kenapa? 

Tidak semua perokok aktif merokok secara aktif, maksudnya, dia hanya merokok di waktu-waktu tertentu, saat stress misalnya. Nah untuk yang seperti ini mungkin kita bisa bantu dengan mengurangi stressor, mendengarkan ceritanya, tidak buru-buru menyalahkan.

Bagaimana dengan perokok yang sangat aktif. Bapak saya, adalah salah satu contohnya, beliau merokok sejak ... setahu saya saya tumbuh besar bersama kepulan asap rokok ;)

Mari kita ambil nafas sejenak karena pembahsannya tidak sesimpel, kalau niat pasti bisa berhenti. Kita perlu membuka hati, mencoba berempati.

Teman, pahamilah, bahwa rokok membuat kecanduan. Kita yang tidak pernah kecanduan, tidak akan tahu bagaimana rasanya berjuang untuk terlepas dari jerat candu. Bagaimana rasanya selalu ditarik-tarik oleh hal yang kita benci tapi kita rindu. Ditambah kebiasaan merokok ini sudah dipupuk begitu lama, sudah tumbuh subur dan terasa nyaman di badan. Rokok bersahabat dengan orang yang kita sayang lebih lama daripada masa persahabatan kita dengan orang tersebut. Bapak saya sudah kenal rokok mungkin sejak kuliah, ia menemani Bapak, ngapel, mengerjakan skripsi, ngopi-ngopi. Kita harus pahami bahwa berpisah dengan rokok sama seperti berjuang menceraikan sahabat karib. Susah. Suuu...saaaah! 

Maka kadang saya pikir, kok enak sekali kita bilang, gampang kok kalau mau berhenti ngerokok, asal niat, pahami konsekwensinya, PASTI BISA BERUBAH. Pernah punya sesuatu yang sangat di sayang, yang menemani kita sejak kecil, mendukung kita di masa-masa tersulit, bagaimana rasanya jika kita disuruh meninggalkannya tiba-tiba? Semudah itukah? TIDAK

Dulu, saat saya masih kecil saya sering diminta untuk belanja rokok di warung, setelah tahu rokok tidak baik, saya menolak disuruh-suruh bapak untuk beli rokok lagi. Dan bapak memaafkan, ia mengalah. Lalu, ketika asap rokok terasa begitu menusuk, saya protes dengan tutup hidung, sambil pasang wajah cemberut. Bapak yang sadar, segera mematikan rokoknya. Kejadian seperti ini sering terjadi di rumah saya. Saya yang kesal (ya gara-gara egois tadi) protes ke ibu. Lalu ibu turun tangan, beliau pelan-pelan mengomunikasikan masalah saya yang tidak tahan terhadap asap rokok ini pada Bapak, akhirnya setiap akan merokok Bapak keluar rumah. Perlahan jumlah rokok yang dihisap bapak turun. Duh sebenarnya saya nyeseg menuliskan ini, ingat betapa jahatnya saya pada Bapak, dulu saya sering menyindir dengan nyinyir, tapi Bapak diam saja, mungkin menahan dalam hati, (kula nyuwun pangapunten Bapak) . 

Perlu diakui bahwa dalam hal perokokan ini ibu memiliki andil besar. Awalnya ibu juga sebal, sebal yang egois, memikirkan kesehatannya sendiri, eman-eman dengan uang yang dibakar, tapi lama-lama ibu saya merasa bahwa uang habis tidak masalah, yang penting Bapak sehat. Nah mulai dari sinilah , alasan ibu ingin Bapak berhenti merokok adalah karena beliau cinta. Ibu memilih untuk menegasi Bapak, ibu memberi pilihan yang membuat Bapak, mau tidak mau berhenti merokok. Ibu membelikan bapak permen sebagai gantinya. Di awal bapak masih sering curi-curi merokok. Kami bukannya tidak tahu, kami tahu itu. Lalu saya laporan ke ibu, "Bu, Bapak ngerokok lagi." Ibu hanya bilang, "Nggak papa, paling nggak udah berkurang. Nggak bisa instan, pelan-pelan. Semua butuh proses." Baru sejak saat itu saya mengubah niat saya untuk meminta Bapak berhenti merokok, dari yang egois menjadi karena cinta, kami semua ingin Bapak sehat. Kami tidak ingin dengar Bapak batuk-batuk atau pusing. Apalagi simbah punya riwayat penyakit jantung, kami tidak mau Bapak sakit seperti simbah, tapi jangan keburu-buru. Sabar. Maka saat saya tahu bapak merokok lagi, kali ini saya lebih memafhuminya. Saya ingat kata ibu, semua butuh proses. Saya tidak ingin menyalahkannya, tapi tetap harus diingatkan. Untuk masalah mengingatkan, saya rasa lebih baik dilakukan oleh ibu. Ibu yang lebih tahu bagaimana cara mengingatkan Bapak.

Hingga pada suatu ketika bapak membuat saya terharu, membuat saya merasa, Bapak adalah bapak terkeren yang saya punya. Saat itu di sore hari ada seorang tamu datang ke rumah, Pak dhe saya sendiri.  Ibu sedang pergi ketika itu, saya ada di dalam kamar. Dari dalam kamar saya bisa mendengar percakapan Pakde dan Bapak dengan jelas. Pakdhe menawari rokok pada Bapak, tau apa jawaban Bapak? "mboten, kula sampun leren. Sampun nyuda. Dulu saya jagoan merokok, sekarang tidak lagi" Bapak menolak tawaran untuk merokok bukan karena ada ibu atau saya. Beliau menolak saja. Dan saya tahu pasti tidak mudah menolak tawaran yang begitu menggiurka tersebut. Maka dari dalam kamar saya memuji Allah. Berucap Alhamdulillah dalam hati... Alhamdulillah Bapaak... Rasanya ingin langsung keluar kamar lalu memeluk Bapak, sambil bilang, "Bapak HEBAT!"

Ya, perubahan selalu butuh proses, dan proses itu menuntut kesabaran tidak hanya dari pejuang perubahan, namun juga orang-orang disekitarnya. Saya sadari bahwa apapun masalah dalam keluarga, hanya keluarga itulah yang tahu solusinya. Jika masing-masing masih ada rasa cinta dan semangat saling mendukung maka permasalahan apapun  dapat diminimalisir. Temukan seorang kunci yang bisa jadi jembatan komunikasi, maka keluarga yang lain bisa berperan sebagai penyokong.

Berikutnya, jangan pernah lelah mendoakan orang yang kita sayang, mendoakan agar Allah jaga mereka, mudahkan mereka dalam setiap proses perubahannya menjadi baik. Dan berdoa juga, agar kita punya hati yang mudah memaafkan, saya jadi teringat sebuah kutipan dari novel Anna Karenina " Selalu ada maaf dalam ruang bernama cinta"

Mulai sekarang mari kita cintai para perokok, kita mencintai mereka untuk itulah kita ingin mereka berhenti merokok. :)

Comments