Miliknya Bukanlah Untukmu, Milikmu Adalah Yang Lebih Baik



Suatu ketika Anda berbicara dari hati ke hati pada sahabat. Bahwa Anda begitu menginginkan sesuatu, katakanlah Anda sangat menginginkan bisa kuliah ke luar negri. Anda punya tujuan dan rencana yang sudah diatur dengan sangat apik. Usahapun tak kalah keras, Anda apply beasiswa sana-sini, mengurus passport, bertanya pada siapa saja yang pernah dapat beasiswa ke luar negri, tentang bagaimana mereka bisa sampai di sana, budayanya, Anda juga memasang peta besar negara yang ingin Anda kunjungi di tembok kamar. Tiap pagi saat bangun tidur Anda memandang peta tersebut sambil berdoa "Ya Allah, bawa saya ke sana." Namun sekian lama berusaha, usaha Anda belum mendapat jawaban dari Allah, tak masalah, Anda bertekad selalu menunggu jawaban dari usaha-usaha Anda.

Sampai suatu saat di  sore hari dengan hembusan angin yang hangat, sahabat Anda  mengajak Anda untuk makan di sebuah tempat istimewa. Percakapan-percakapan ringan mengalir, hingga akhirnya Anda bertanya, dalam rangka apa makan-makan ini? Ya, kita memang sering berbuat baik saat ada maksud-maksud tertentu, maka wajar jika Anda bertanya, karena rasanya aneh seseorang berbaik hati tanpa ada "rangka" tertentu.

Tidak, sahabat Anda tidak sedang membutuhkan sesuatu, ia tidak sedang dalam rangka "modus", sahabat Anda hanya ingin berbagi rasa bahagia pada Anda, bersyukur dengan mentraktrir sahabatnya. Dia, baru saja diterima di salah satu kampus ternama yang selama ini Anda idam-idamkan. Sebelumnya ia tidak pernah terlihat bersemangat saat Anda bercerita tentang kampus itu dan sekarang, di tengah makan sore yang menyenangkan untuknya ia bilang, bahwa ia terinspirasi dari usaha Anda, maka iapun ikut mendaftar.

Bagaimana perasaan Anda?

Mungkin sulit dideskripsikan, di satu sisi Anda merasa bahagia, karena selama ini kalian sering berbagi kabar gembira. Merayakannya bersama-sama. Tertawa sampai sakit perut karena hal tersebut memang menyenangkan untuk keduanya. Tapi di sisi hati yang lainnya ada sesuatu yang tidak ingin Anda akui, karena Anda merasa jahat jika Anda sampai memiliki perasaan itu. Ya, ada sebagian dari perasaan Anda yang merasa tidak rela. Diam-diam memandang iri pada keberhasilan sahabat Anda yang seolah didapat tanpa usaha.

Anda tersenyum tapi bukan senyum penuh. Anda memberi selamat tapi hanya setengah hati.

Hei, apakah semenyakitkan itu, melihat seseorang mendapatkan apa yang kita inginkan selama ini. Sedangkan kita masih terus menunggu sampai waktu yang tak tentu?

Jika Anda sakit, wajar, manusiawi. Namun segera setelah sampai di rumah, cobalah untuk membuka album foto kalian. Coba ingat-ingat hal menyenangkan tentang persahabatan kalian. Bukankah kalian sudah sering saling bela? Dia adalah Anda dan Anda adalah dia. Maka yang pertama  perlu Anda sadari adalah keberhasilannya merupakan keberhasilan Anda juga, ingat kan, dia bilang terinspirasi dari Anda. Ada nama Anda dalam langkahnya meraih cita-cita.

Selanjutnya, ambillah air putih minumlah beberapa teguk, lalu berbaringlah, tatap langit-langit kamar, tarik nafas dan hembuskan, tenangkan diri Anda. Perlahan pejamkan mata. Betapa damai bisa menangis dalam diam. Menangis dalam pengorbanan. Menangis saja karena air mata memang diciptakan untuk dikeluarkan. Tapi ingat setiap tetes air mata yang mengalir tidak boleh mengalir sia-sia. Ia harus juga pergi bersama sisa-sisa kesal dalam hati, ampas-ampas ketidak ikhlasan. Menangis saja terus sampai Anda sadar bahwa tangisan itu sebenarnya bukan untuk rasa perih Anda melainkan rasa sesal Anda betapa Anda kurang paham, cara Allah menyayangi hambanya.

Allah menyayangi setiap hamba ciptaanNya. Dan Allah tidak mungkin salah mencurahkan rasa sayang. Beasiswa itu hak sahabat Anda, dan tidak akan pernah menjadi hak Anda. Karena kalaupun suatu saat Anda mendapatkannya, itu adalah bentuk kasih sayang Allah yang lain, yang sudah Ia gariskan untuk Anda.

Dan perkara usaha keras yang Anda jalani, yang membuat Anda merasa lebih layak mendapatkan beasiswa itu daripada teman Anda yang nampak malas, mungkin kita perlu belajar untuk memaknai usaha-usaha kita sebagai bentuk pengabdian pada Allah. Kita berusaha, untuk mensyukuri potensi yang Ia berikan, bukannya untuk memaksa Allah mewujudkan apa yang kita mau dengan usaha kita. 

 Dan selanjutnya, cobalah untuk menjalani hidup ini dengan tenang. Memangkas keinginan-keinginan yang bisa dipangkas, tidak menjadikannya sebagai tujuan utama hidup yang seolah-olah merusak hidup Anda sampai ke akar-akarnya kalau hal tersebut tidak terwujud. Tidak ada yang lebih merusak kehidupan kita daripada berkurangnya keimanan pada Allah, maka masalah tidak mendapat apa yang diinginkan sebenarnya hanyalah masalah sepele. Selama Allah masih menjaga kita, merangkul dalam keimanan padaNya, bukankah sudah cukup? Apa lagi? Apa lagi yang kita mau? Mungkin kita perlu sadar bahwa kita sudah terlalu banyak berkeinginan.

Terakhir, percayalah bahwa takdir masing-masing orang adalah yang paling baik baginya. Anda memang tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan, tapi Anda mendapatkan yang lebih baik. Entah apa, tunggu saja kejutannya sambil selalu minta pada Allah untuk diberi hati yang lapang, agar senantiasa merasa cukup. Suatu saat Allah akan menunjukkan pada Anda bahwa Ia memang tidak pernah salah membagi kasih sayangnya. 

Mari belajar bersyukur bersama :)

Comments