Pengalaman Pertama Donor Darah



Postingan ini tidak saya niatkan apa-apa selain untuk, pamer. Muahaha... nggak lah, saya hanya norak saja karena ini pertama kalinya saya donor darah dan saya ingin sharing ke teman-teman yang sudah punya niat untuk donor tapi masih malu-malu meong, atau takyut.

Perjalanan saya dengan donor darah lumayan panjang sebenarnya, saya punya teman sekantor yang darahnya sudah sering dihisap. Sampai-sampai dia dapat penghargaan. Wow. Setiap dia posting kegiatan donor darahnya sebenarnya hati saya meronta-ronta, ingin juga. Tapi apa daya rasa takut ternyata lebih mendominasi. Selalu bayak alasan untuk tidak donor,

1. Saya tidak tahu sepenting apa donor darah itu. Ya, saya tahu bahwa donor darah bisa membantu saudara kita yang sakit atau bahkan hampir meninggal, tapi, kan pendonor sudah banyak, saya rasa ketika saya tidak donorpun tidak masalah.

2. Alasan klasik, jarum. Gede-gede gini saya takut sama jarum lo. Tahu kan mitos jarum yang melegenda itu? Mulai dari yang menyakitkan, sampai jarum tidak steril. Meskipun sebelumnya saya pernah disuntik dan baik-baik saja sampai sekarang, tapi mitos bertemu jarum suntik selalu menegangkan seperti mitos bertemu camer #eaaa

3. Saya takut kalau gara-gara tes yang dilakukan sebelum ambil darah, tiba-tiba ketahuan bahwa saya punya sakit terpendam yang mengerikan. Seperti darah tidak bisa membeku, atau kena virus apa gitu, naudzubillah. Iya, yang ini konyol sih.

4. Saya selalu beralasan bahwa daging saya tebal maka akan sulit mencari pembuluh vena. Atau lebih parah lagi nanti jarumnya patah tidak bisa menembus. 

Itulah alasan-alasan yang selama ini menghalangi saya. Mereka bermain drama di kepala sampai saya ketakutan.

Lalu bagaimana ceritanya sampai akhirnya saya mau donor darah? Anda penasaran?

Jadi, kemarin siang teman saya sebut saja Alfredo share tentang kebutuhan darah O, di grup whatsapp alumni. Saya tidak membaca dengan seksama sih, hanya menangkap bahwa darah O yang dibutuhkan. O? I'm O. 

Entah bagaimana pikiran drama yang selama ini bercokol di kepala saya pergi tiba-tiba, secara spontan saya ambil keputusan. Ok, now i'm in! Saya akan donorkan darah saya yang tak seberapa ini.

Saya segera kontak Alfredo untuk tahu cara-caranya. Saya bilang bahwa hari ini saya ada waktu luang dan saya bisa donor. Asli keputusan itu diambil tanpa berfikir. Baru setelah Alfredo nampak serius, saya mikir. Duuuh... yakin nih mau donor. Aduuuh... udah terlanjur ngomong lagi. Tengsin dong kalau ngebatalin. Apalagi Alfredo sudah kontak Santi- teman kami, untuk menemani saya ke sardjito.

Tadi malam, perasaan saya campur aduk, antara senang, menggebu-gebu karena ini pengalaman pertama saya yang cukup heroik, campur tegang . Saya browsing, tentang pengalaman manusia cupu macam saya yang baru pertama kali donor juga. Kebanyakan sih bilang sakit, tapi setelah itu lega.

Fu fu fu... 

Dan akhirnya hari ini tiba. Saya coba menjalani hari sesantai mungkin. Ini hari biasa dhita, kamu hanya akan donor darah, darahmu hanya akan diambil sedikit lalu kamu bisa pulang dengan damai. Ah baiklaah, pokoknya kalau nanti saya sudah berhasil donor darah saya mau kasih hadiah ke diri sendiri, saya mau makan sushi...

Sebelum berangkat , saya bertemu dengan teman kantor yang rajin donor itu. Intinya dari kata-kata dia saya menyimpulkan bahwa banyak orang yang membutuhkan darah, bisa saja darah kita menyelamatkan mereka yang sekarat, mengembangkan senyumnya dan mengembalikan keceriaan keluarga yang selama ini harap-harap cemas. Dengan izin Allah tentu saja, dan rasanya kok egois sekali kalau saya mati-matian mempertahankan diri saya agar tidak sakit terkena jarum, padahal di luar sana ada anak yang terancam kehilangan bapaknya karena kurang darah. Dhita, you can do it.

Di perjalanan saya menguatkan diri saya lagi,percakapan antara dhita baik dan dhita nakalpun terjadi, , dhita baik bilang, "kamu harus maju terus, kamu sudah terbiasa sakit kan? Ya, tiap bulan kamu haidh, donor darah nggak lebih sakit dari haidh." Lalu si dhita nakal bilang, "tapi kan haidh tidak melukai kulit." Waaah iya juga yaa... gimana dong. Si dhita baik datang lagi, "Coba kamu ingat-ingat film LUCY, perut mbak Lucy itu dibedah terus dimasukin narkoba, terus dia harus jalan-jalan, dia fine-fine aja kok. Terlihat cool kan." Iya, betul. mbak lucy aja bisa, masak saya enggak. Dan hal terakhir yang akhirnya membuat saya mantab adalah, "Mumpung kamu masih sehat dan punya kesempatan bermanfaat Dhita. Suatu hari nanti (ya kita tidak berharap) tapi bisa jadi kamu juga akan  dimasuki jarum suntik, untuk selang-selang infus dan sebagainya. Di saat itu kamu tidak punya pilihan selain mengiyakan, meskipun kamu takut setengah mati. Rasanya sama-sama sakit, tapi waktu itu kamu tidak bisa menyelamatkan siapa - siapa. Sekarang kamu punya tubuh yang memenuhi syarat untuk donor darah, darahmu adalah hak mereka. Donorkanlah, biar berkah. Lagian kamu kan insyaAllah juga bakalan melahirkan coy!" Hm.... ya ya ya...

Yah, meskipun sudah mantab, namun ternyata sesampainya di rumah sakit saya tetap merasa deg-degan. Saya mulai cerewet untuk menghilangkan tegang, saya banyak tanya untuk menghalau takut dan saya sok ngelucu biar nggak mules.

Santi mengantar saya sampai ke tempat transfusi. Saya diminta untuk mengisi formulir, lalu disuruh menunggu. Selama menunggu lagi-lagi saya banyak ngomong, supaya tidak terlalu tegang.

Tak lama nama saya dipanggil. Ya Allah, paringana kuat. Di dalam saya bertemu mas-mas, eh ternyata mereka juga baru pertama donor. Ketiga newbie donor darah inipun ngobrol, tujuannya sama, menghilangkan unsur mencekam. Lalu mbak-mbak petugas datang, dia memanggil  mas- mas untuk dicek darah dan HB nya. Saya juga dipanggil, dicoblos jarum, tapi nggak kerasa apa-apa. Sesudah fix bahwa kami memenuhi syarat donor, kami dipanggil ke ruang transfusi. Huaaa... saya pasti memalukan, karena saya banyak nanya, sok ngebanyol, intinya saya melakukan apapun untuk meneguhkan hati.

Saat berbaring saya cerewet juga, "ada musik apa gitu nggak mbak?"

"Tenang, ya, nanti-nanti."

"Nggak mbak, saya cuma bercanda. Segede apa sih jarumnya?"

Lalu si embak yang baik menyodorkan jarum. Oalaaah... biasa aja ternyata.

"Mbak, kalau gendut kaya saya, nyari venanya susah nggak?"

"Ya tergantung, " sambil dia melakukan proses-proses. Meraba-raba, tensi-tensi, oles-oles alkohol. "Agak ke dalam ini mbak venanya." Mbak- mending aku nggak usah tahu kenyataan itu. Di sebelah saya ada mas-mas yang selesai donor, dia abis mimik jeruk anget. Akhirnya saya ngajak ngobrol masnya, supaya pas jarumnya dimasukin saya pas nggak fokus gitu, biar nggak terlalu sakit.

"Mas, habis donor ya?"

"Iya."

"Sakit nggak?"

"Kalau sakit, saya nggak ke sini lagi."

" Duh saya baru pertama nih" (mbalah curhat)

"Wah nanti pasti ketagihan"

"Ah yang bener?"

"Maaf ya mbak..." kata si embak menyela percakapan, nah nah mulai nih mbaknya masukin jarum. Saya mau fokus ke masnya ajaaa... 

Kayaknya sih jarum udah mulai dimasukin, kok rasanya biasa aja ya. Kok nggak seperti yang saya bayangkan? Rasanya cuma sedikit linu, sedikiiit. Kalau kamu pernah patah hati, nah lebih sakit patah hati 67 kali.

Akhirnya saya nggak jadi fokus ke masnya, "udah mbak?"

"Maaf mbak belum." Whaaa, belum?

Malahan mbaknya bilang sama mas-mas yang juga jaga di sana "iki pie kok getih e ra metu-metu?" sambil pasang tampang cemas tapi sok tenang. Ya Allah mbak, saya ngerti artinya kalii... im not bule, I know your omong-omongan with that mas-mas, menunjukkan there is something wrong with me.

"Mbak jangan-jangan tubuh saya nggak ada darahnya?"

"Ada kok mbak, pasti ada."

Lalu mbak-mbak yang nampak lebih berpengalaman datang, "Mbak. ini kok darahnya nggak mau keluar?"

Dengan sigap si mbak yang berpengalaman melakukan sesuatu pada pembuluh vena saya. "Kenapa mbak? Apa aku kurang beruntung?" Tanya saya.

"Tenang mbak, kalau sakit banget bilang ya." Alamak, kata penyemangat macam apa pula itu. Saya hanya bisa mengangguk pasrah. Tapi setelah saya tunggu, tidak ada ciri-ciri sakit banget itu. Sampai akhirnya darah saya keluar, waaa... emejing. 

"Udah mbak?"

"Udah." Kata mereka tersenyum. Ya ampun, rasanya cuma gini aja? Nggak sakit ini mah. Kalao cuma gini mah saya mau suruh donor berapa kali juga. Ini mah bukan pengorbanan namanya.

Sambil nunggu diambil darahnya, saya ngobrol sama mbak dan mas petugas, tanya ini itu. Wiih petugasnya ramah-ramah, makanya saya betah. Mereka juga sabar menanggapi pertanyaan saya. Terimakasih kakak.

Sekitar 15 menit menunggu jarum saya dicabut, rasanya juga nggak sakit, biasa aja. 

"Pusing nggak?"

"Nggak tuh."

"Tiduran dulu aja mbak."

"Biasanya kalau tiduran nanti saya tidur beneran mbak... eheheh"

"Ada kartu parkir? Nanti kami cap biar parkirnya gratis."

Yeaaay... saya buru-buru ambil kartu parkir di depan. Ha ha semangat denger kata gratisan. Yee dasar mental. Bukan, saya hanya mensyukuri nikmat sekecil apapun *kibasin jilbab.

Terus saya pura-pura tiduran lagi, tapi nggak betah, lha wong saya segar bugar alhamdulillah.
"Mbak, udah yaa?"

"Nggak pusing? "

"Nggak kok."

" Oh ya udah. Tangannya jangan buat buka pintu dulu ya, takutnya darahnya keluar lagi" 

"Angkat beban mbak?" biar kesannya saya rajin fitness gitu, padahal ngelihat performa saya aja dia pasti tau, mana mungkiiin ha ha ha .

Eh ternyata, pas balik saya dikasih jajan. Ada susu, ada roti, ada aqua?

Whaaa... nyenengin. Alhamdulillah. Bener kata masnya, donor darah bikin ketagihan. Bukan apa-apa, we can help others tanpa merasakan sakit apapun. Ya kalaupun sakit, nggak ada apa-apanya dibandingin manfaat yang dibagikan. 

Terimakasih, Santi dan Alfredo, mas-mbak di bagian transfusi, semoga Juli saya bisa kembali lagi :)

Alhamdulillah menyenangkan.

Saya nggak jadi belik sushi, karena rasanya kok berlebihan sekali, wong nggak sakit-sakit amat. Mungkin kalau rasa sakitnya kaya digigit Edward Cullen, nah, saya akan beli sushi similikiti.


pict : here

Comments