Selamat Telah Bersabar


Apakah Anda termasuk orang yang sering menghabiskan waktu di jalanan? 

Saat Anda berangkat di pagi hari, jalanan Anda dibuat macet dengan kendaraan-kendaraan orang lain yang juga keluar untuk bekerja, ditambah sepeda atau motor anak-anak sekolah. Sore hari  begitu juga, jam pulang kantor Anda sama dengan jam pulang kantor orang lain. Tumpah ruahlah kendaraan roda empat dan dua itu di jalan. Klakson bersahut-sahutan , semua minta didahulukan, semua rindu ingin cepat sampai rumah. Lampu merah? Jika bisa  mungkin semua orang ingin pura-pura tidak lihat lalu berjalan begitu saja meskipun merah sedang menyala. Gerah, gerah sekali, tapi mari kita lihat kegerahan ini dari perspektif yang berbeda.

Kemacetan di jalan adalah sekolah kesabaran dengan level paling ringan. Di dalam kemacetan sesungguhnya Allah sedang memberi kesempatan pada kita untuk mengukur kesabaran diri kita sendiri. Dalam kondisi tidak kondusif seperti macet, di mana suara-suara begitu berisik, asap kendaraan menari di udara dengan menyebalkan, motor-motor berjalan seperti siput, maka akan sangat mudah bagi kita menumpahkan kekesalan dengan sembarangan. Seolah-olah setelah menumpahkan kekesalan itu jalanan akan lengang, tidak macet lagi, padahal? Anda pasti tahu jawabannya.

Bagian dari tubuh kita yang paling sulit menahan kelakuan buruk adalah mulut. Ya, saat kondisi sudah membuat emosi menanjak di ubun-ubun, maka mulut akan cepat-cepat bereaksi. Mengeluh.

 "Ih, kok macet sih." 
"Huh, panas!"
"Motor di depan lama banget."
"Klakson, klakson! Sabar dong!"

Pernah mengalami hal ini? Mengeluh di tengah kemacetan, Anda tidak sendiri, karena sayapun sebenarnya sering. Mulut ini seperti otomatis disetel untuk komentar. Ya, komentar nyinyir seperti yang saya contohkan. Entah mengapa rasanya seperti mendapat kepuasan tersendiri saat berhasil mengeluh, padahal tidak ada perubahan apa-apa selepas kita mengeluh, oh ada, setidaknya tabungan dosa kita meningkat. Astaghfirullah. Sungguh suatu hal yang tidak patut dibanggakan.

Untuk itulah, mari kita belajar. Jika memang kemacetan adalah jalan Allah menguji kesabaran kita, mari kita jalani ujian ini sebaik-baiknya.

Letaknya ada pada cara pikir kita dan kemampuan menahan emosi. Saat macet, dan suasana tidak mengenakkan, coba tenangkan hati. Dalam kemacetan, kita punya lebih banyak waktu untuk mengamati. Ketika mulut sudah gatel untuk mengeluh, paksa dia untuk tersenyum maka hati akan lebih tentram. Amati sekitar, rupa-rupa pengendara, pedagang asongan, jenis-jenis mobil, belajar menebak plat kendaraan. Atau sekadar diam. Menerima kemacetan dengan lapang. Menjalaninya dengan senang. Menikmati setiap laju kendaraan, sesenti demi sesenti. Jalani saja, tanpa banyak protes. Jika mendengar suara klakson begitu ribut, bayangkanlah semua seperti orkestrasi jalanan yang indah. Kalau sudah bosan menatap kanan dan kiri, bagaimana kalau menengadah ke atas, ke langit luas. Pemandangan senja hari selalu istimewa, ada lukisan yang jarang bisa ditangkap oleh mereka yang keburu sampai rumah. Pujilah yang menciptakannya, keagunganNya. MasyaAllah, bukankah bersabar membuat kita menjadi lebih teduh? Dan akhirnya kitapun akan sampai rumah juga. Bedanya, kita akan sampai rumah dengan wajah ceria karena rasanya seperti habis jalan-jalan riang. Orang-orang di rumah akan bahagia menyambut kita, suasana rumahpun menjadi lebih hangat.

Selamat untuk Anda yang sudah berhasil menjadi penyabar. Memang di manapun penyabar adalah seorang pemenang.

Semoga belajar sabar di kemacetan, membuat kita lebih mudah lagi bersabar di level-level ujian berikutnya :)





Comments

  1. Aku belajar banyak hal dari tulisan2 mbak dhita di blog. Maaf dari kemarin aku ngepoin baca2 blognya embak:). Terima kasih untuk ilmunya^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. wiii dikepoin wiwit ;). Alhamdulillah, aku yang trimakasih nduk Wiwit sudah mau mampir, semoga bermafaat :*

      Delete

Post a Comment