Seminggu Bersama Mikail
"Aku ingin jadi ayah."
Hah?!
Bicara apa anak ini?
Ia menoleh ke arahku sambil
menunjukkan mulutnya yang cemong terkena es krim coklat, tangannya juga terlihat
kotor dan lengket, jorok. Aku hanya meliriknya, kami berdua sedang duduk bersisihan
di sebuah bangku taman dengan danau buatan terhampar di depan.
"Boleh kan, Yah, aku jadi ayah
seperti ayah?" Ujarnya sekali lagi. Nadanya terdengar begitu polos.
"Memang siapa sih yang bilang
kalau aku ini ayahmu?"
"Ibu." Sekarang anak kecil
ini memutar lidahnya, menyapu pinggiran bibir sampai bersih. Ya, Tuhan, masak
sih anak jorok ini anakku?
Hm, menurut sebuah keterangan yang
dibawanya, dia memang anakku. Tapi setelah kuingat-ingat dia anak yang tidak
sengaja kubuat. Maksudnya, waktu itu kami (aku dan ibu dari anak ini)
sama-sama tidak menyangka bahwa apa yang kami lakukan sembilan
tahun silam di toilet sekolah bisa menghasilkan makhluk ajaib seperti ini.
Makhluk yang memiliki wajah mirip dengan ku. Matanya adalah mataku, hidungnya
juga hidungku, hanya mulutnya saja yang sepertinya mirip ibunya. Awalnya aku
ingin menyangkal, tapi melihat kegigihannya meyakinkanku, mengingatkanku pada
sikapku yang keras kepala. Dan dari situ aku tahu dia benar-benar anakku. Sial
sekali kan?
Aku memandang hamparan danau di depan,
antara ragu yakin, ingin menerima kenyataan ini atau menolaknya saja. Hidupku
yang sudah susah begini kenapa harus ditambah dengan perkara anak kecil ini?
Dan kenapa juga tiba-tiba dia datang ke dalam kehidupanku? Aargh, tapi
sudahlah, toh dia sudah ada di sini sekarang. Mau bagaimana lagi?
"Bagaimana kabar ibu mu?"
Semenjak kejadian itu, ia tidak pernah masuk sekolah. Bahkan ia juga pindah
rumah. Jujur aku menyesal, tapi saat "hal itu" terjadi sepertiya ia
baik-baik saja. Ia bahkan mengucapkan terimakasih. Apa karena mabuk?
"Ibu baik."
"Apa saja yang dia ceritakan
tentang aku?"
Anak laki-laki ini terlihat berpikir,
"Hm, katanya ayah orang yang baik dan sabar, lucu, suka memberi." Oh,
baik sekali dia bercerita seperti itu pada anak ini setelah apa yang kulakukan
padanya.
Kulihat es krim anak di sebelahku
sudah habis dan bisa kutebak ia sedang bersiap-siap akan mengusapkan tangan
kotor penuh coklat lengket itu ke celananya.
"Eit, stop, stop," Ia
mringis menatapku. Aku mengeluarkan sapu tangan dari dalam saku lalu memegang
kedua tangan mungilnya dan membantunya membersihkan coklat lengket itu.
Di momen ini, tepat saat aku melihat
pantulan wajahku di bola mata beningnya aku merasakan sesuatu, kehangatan
tiba-tiba yang membadai dalam hati. Satu hal yang tidak bernama, rasanya aneh,
berdebar, campur nyaman. Aku memegang tangannya agak lama. Kejadian inipun
seperti membekukan waktu. Dan rasanya aku ingin membiarkan tangan itu terus
tergenggam erat di dalam tangan besarku.
"Ayah" Suara mungil
itu memanggil begitu saja. Bening dan polos. Ya, Tuhan, rasanya aku seperti
tersadar setelah pingsan bertahun-tahun, manusia mungil di depan ku ini, yang
tangannya sedang kugenggam, dia adalah anakku, anak yang dalam tubuhnya
mengalir darahku. Lihatlah wajahnya, lihatlah sikapnya, ia miniaturku. Aku
menelan ludah. Apakah seperti ini rasanya menjadi ayah? Apakah semua ayah di
luar sana juga merasakan ini? Merasa tenang karena mengetahui bahwa ada
seseorang yang mewarisi sifat-sifatnya dan melanjutkan garis keturunannya.
Mengetahui bahwa saat tua mungkin ada yang bisa diharapkan untuk diajak bicara.
Melilitkan syal saat kedinginan. Menyeka keringat saat gerah. Meniadakan frasa
sebatangkara.
Ya, ampun apa yang kupikirkan? Aku
menarik tangan dengan kikuk. Dan kali ini tidak berani menatap matanya lagi.
Dia memang anakku, tapi bukan milikku, tentu saja aku tidak diijinkan berharap
apa-apa padanya. Jangankan mengajaknya bicara waktu tua, bisa jadi ini
pertemuan pertama dan terakhirku dengannya.
Setelah selesai membersihkan tangannya
aku kembali menatap danau yang kini mulai didatangi orang-orang, mereka
menyenja bersama keluarga. Keluarga? Sial sekali anak ini, bukankah aku sudah
berhasil mengubur dalam-dalam keinginan untuk berkeluarga? Menumbuhkan semangat
untuk hidup sendiri saja, tapi kenapa, kenapa hanya karena kehadirannya lantas
aku berpikir, menyenangkan juga ya punya
keluarga? Baru datang sebentar saja sudah merepotkan.
"Kata ibu ayah seorang
pelukis?" Tanyanya, selalu dengan tiba-tiba.
"Ya begitulah," bagaimana
sih anak ini, jelas-jelas dia menemuiku di taman saat aku sedang asik melukis.
Gambar danau itu baru setengah jadi saat tangannya memeluk pinggangku tadi. Ia
datang sendirian, memelukku dari belakang sambil mengaku-ngaku kalau dia anakku
dan minta dibelikan es krim. Dasar bocah.
"Kata ibu lukisan ayah,
juara." Dari tadi kamu bilang kata ibu-kata ibu. Sembilan tahun tidak
bertemu, sekarang ibumu seperti apa sih? Apa masih cerewet? Apa masih
dikerubuti banyak laki-laki? Tapi yang jelas ibumu pasti jauh lebih baik
dariku, dia bisa membesarkanmu hingga jadi anak semanis ini. Manis? Maksudku...
ah ya begitulah.
"Mikail,"Suara perempuan itu
datang dari belakang bagai badai typhoon. Membuatku kaku beberapa saat. Aku
hapal suara ini, suara yang kusimpan rapat-rapat dalam sebuah kotak kenangan.
Keluar begitu saja tanpa permisi. Suara yang sesungguhnya ingin kudengar setiap
hari meskipun produksi kata-katanya sedikit berlebih. Namun tidak bisa karena
pemilik suara keburu kabur entah ke mana. Meninggalkan aku yang hanya bisa
mengubur semua-muanya, aku sudah seperti tukang gali kubur. Dan setelah
sembilan tahun, akhirnya suara ini datang lagi. Terimakasih hei udara, kamu
telah memungkinkan aku mendengar suara ini lagi.
"Ibuuuu." Anak laki-laki di
sebelahku serta merta berlari , begitu antusias menyambut kehadiran
ibunya. Sedangkan aku terus menatap nanar ke arah danau, belum berani menoleh
dan sejujurnya tidak tahu apakah aku masih layak memperlihatkan wajahku ini
padanya.
"Mikail main sama eyang dulu ya,
di sebelah sana." Kudengar Miranti memberi instruksi pada anak “kami”. Dia
agak ogah-ogahan tapi akhirnya aku mendengar suara langkah anak laki-laki itu
menjauh. Sebentar, tadi aku bilang apa, anak kami? Lancang sekali.
"Argo." Kali ini suara itu
memanggil namaku. Sumpah demi apapun, sebenarnya aku ingin menjawab tetapi
tiba-tiba seperti ada sesuatu tersangkut di tenggorokan, dan aku hanya bisa
megap-megap saja tanpa suara.
Yang barusan adalah sebuah kesalahan,
baiklah kebodohan karena aku terlalu gugup, dan kini aku tidak ingin Miranti salah
paham, maka kuberanikan diri untuk membalikkan badan dan oh la la... ini
Miranti?
Iya dia Miranti, wajahnya tidak
berubah, tapi tentu saja ia Miranti yang berbeda. Pantas ia bisa mendidik anak
itu jadi begitu manis. Miranti kini berjilbab lebar, ia menggunakan baju
terusan longgar. Benar-benar bukan Miranti yang kukenal dulu, yang dekat dengan
siapa saja, yang menyemangati para pemain basket dengan gerakan-gerakan
agresifnya.
"Mir," Ia menahanku
melanjutkan kata-kata.
"Kamu di situ aja, Ar. Dan lebih
baik balik badan." Sebagai pihak yang bersalah tentu saja aku harus
mematuhi apapun perintahnya. Balik badan, ok.
Aku mendengar hembusan nafas Miranti,
sepertinya begitu berat, "Dia anak kita, namanya Mikail. Sekarang usianya
delapan tahun." Miranti diam sejenak, aku juga tidak berani menyela.
"Masa lalu itu sedalam-dalamnya ku kubur tetep nggak bisa, setiap lihat
Mikail aku selalu inget kamu dan dosa kita.”Di bagian ini suaranya melemah,
kutebak ia menangis. “Aku minta maaf atas dosa yang pernah kita lakukan dulu.
" Aku masih diam menunggunya mengakhiri laporan sembilan tahun yang
dirapel jadi sepuluh menit, "Seminggu lagi, kami pindah ke London, aku
akan menikah di sana. Makanya dia aku bawa buat ketemu kamu. Untuk yang
terakhir."
“Dan yang pertama,” kataku dingin.
Posisinya sekarang sedikit terbalik, baiklah dosa itu meskipun kami lakukan
sama-sama, tetap aku yang salah, aku yang berinisiatif, tapi jika sejak awal
dia bilang bahwa dia mengandung anakku, pasti aku mau bertanggung jawab
menikahinya, dan kami akan hidup sebagai keluarga bahagia. Toh aku
mencintainya, dulu. Argh baiklah, gara-gara dia datang rasa itu jadi mulai datang
lagi sekarang di tengah kabar dia akan menikah dengan orang lain. Pahit.
“Aku minta maaf, Ar,” lirihnya.
“Mir, apa kamu tahu rasanya,
membiasakan diri untuk hidup sendiri sambil terus-terusan mematikan keinginan
punya keluarga, berniat mati membujang tanpa repot-repot memikirkan siapa yang
akan menguburkan, dan berhasil, namun tiba-tiba di tengah keberhasilannya
merayakan kemalangan, seorang anak kecil datang, mengaku sebagai anaknya, lantas
membuat ia berpikir ulang tentang konsep hidup sendirinya yang bodoh itu?” Aku
bangkit dari kursi, dan berbalik menatap Miranti yang langsung menunduk.
“Aku baru saja menyadari, saat melihat
wajah Mikail, melihat sikapnya, ada aku di sana Mir. Sebagian dari aku adalah
dia. Dan ternyata rasanya menyenangkan mengetahui bahwa ada seseorang yang mau
dengan tulus memanggilku sebagai ayah, meskipun aku tidak menjalankan
kewajibanku sebagai ayah. Awalnya aku bingung dan tidak ingin menerima, namun
ternyata aku menyayanginya. Kenapa kamu sembunyi waktu itu?” Tanyaku pelan,
tapi dia tidak tahu bahwa dalam hatiku sedang ada perang bintang yang dahsyat.
Miranti mengangkat wajah tersenyum
pada Mikail yang sedang bermain bola dengan eyangnya, ia tidak mengalihkan
pandangan dari sana, "Aku minta maaf, aku sempat drop saat tau aku hamil. Waktu
itu aku dan keluargaku hanya fokus buat menahan agar aku nggak nekat
menggugurkan Mikail."
Mendengar pengakuannya, hatiku merasa ngilu.
Dan di sini aku baru menyesali tindakan bodohku sembilan tahun silam. Kalau tahu
hukumannya akan seperti ini tentu saja dulu aku akan memilih untuk menahan
diri, di mana –mana sama penyesalan tidak pernah mau datang duluan,
“Aku minta maaf, Mir aku nggak nyangka
kalau kejadiannya akan sep...”
“Sudah, Argo. Aku sudah berdamai
dengan kesalahan masa lalu itu. Penyesalan seperti apapun tidak akan mengubah
keadaan, yang bisa mengubah mungkin taubat, dan berhijrah.”
Aku menelan, ludah. Merasa
kata-katanya terlalu tinggi. Sedangkan aku semakin terjatuh jauh ke dasar
sumur, menggapai-gapai udara kosong. Kecil, terlihat hina dan tidak pantas.
Syukurlah dia akan segera menikah, pasti dengan lelaki yang sepadan.
“Ya, Mir. Selamat atas perubahan
baikmu.”
Miranti mengangguk, “Mir, boleh Mikail
tinggal denganku? Seminggu saja, sebelum kalian pergi.” Permohonan itu
terdengar konyol, tapi aku serius. Aku sendiri tidak menyangka bisa seserius
ini.
Ia reflek menoleh ke arahku, nampak
terkejut, namun segera menunduk lagi.
"Mir, kamu tinggal sama dia
delapan tahun ini. Setelah ini kamu juga akan bawa dia pergi, nggak tau berapa
lama. Aku nggak tau juga apa besok-besok masih bisa ketemu Mikail. Tolong,
seminggu aja. Biarin aku nunjukin ke dia bahwa kebaikan tentang aku yang selama
ini kamu ceritain ke dia bukan cerita bohong." Aku menatap penuh mohon
padanya, entahlah kurasa dia tidak melihat, tapi aku yakin dia bisa merasakan
kesungguhan dari setiap kata-kata yang kulempar.
"Ayaaah..." Mikail melempar
bola ke arahku, aku membungkuk mengambilnya. Anak laki-lakiku berlari
menghampiri kami dan memeluk pinggangku seperti tadi.
Miranti terlihat menatapku dan Mikail
dengan mata berkaca-kaca, sialnya, aku juga ikut mati-matian menahan diri agar
tidak terlihat cengeng di depan anak ini.
"Mikail mau nggak tinggal sama
ayah sebelum kita ke London?"
Mikail spontan menoleh ke arah ibunya,
"Boleh?" nadanya terdengar ceria.
Miranti mengangguk, "Beneran
boleh Buk?" Ia masih tidak percaya, sama akupun tidak percaya. Aku menatap
Miranti.
"Iya, boleh," katanya lirih sambil
berusaha meraih Mikail, Mikail berjalan ke arah ibunya, mereka berpelukan
cukup lama.
"Makasih ibuk," Miranti
mengecup kening anak kami, lalu membiarkan Mikail kembali padaku.
"Terimakasih Mir, baju-baju dan
segala keperluan Mikail biar aku yang urus. Enam hari lagi kita ketemu di sini,
kamu bisa jemput dia."
Miranti mengangguk. Aku meminta Mikail
naik ke punggungku, lalu berdiri pelan-pelan, "Urgh, berat juga ya anak
ayah."
"Ha ha iya dong."
Mirati tersenyum, ia terlihat begitu
anggun. Seandainya... ah kenapa harus berandai-andai, toh seharusnya aku
berterimakasih karena sudah diberi kesempatan untuk jadi ayah selama
seminggu. Aku benar-benar tidak tahu diri jika berharap lebih.
Aku dan Mikail bersiap pergi, orang
tua Miranti sudah lebih dulu kembali ke mobil. "Mir, congratulation on
your wedding ya. Beruntung banget suami kamu."
"Thanks, Ar. Kamu juga jangan
lupa nikah, dan tobat." Ia tersenyum kalem.
Bertaubat, yaa bisa dicoba. Menikah?
Entahlah.
"Aku duluan Ar, aku akan kasih
nomor kami di London jadi kamu bisa telpon Mikail kalau kamu kangen dia."
"Pasti Mir, aku pasti kangen
dia." Kataku sambil memegang tangan Mikail, dagunya bertumpu di kepalaku.
"Aku duluan, jangan lupa sholat
ya sayang." Miranti mewanti-wanti anak kami.
"Oke, bu." Mikail
mengacungkan jempolnya, suaranya masih tedengar senang.
"Mikail belum pernah sesenang ini sebelumnya." Kata Miranti.
Apa yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa menanggapi kata-kata Miranti barusan dengan senyum. Asal dia tahu, aku juga belum pernah sebahagia ini.
"Mikail belum pernah sesenang ini sebelumnya." Kata Miranti.
Apa yang bisa kukatakan. Aku hanya bisa menanggapi kata-kata Miranti barusan dengan senyum. Asal dia tahu, aku juga belum pernah sebahagia ini.
Ibu dari anak ini pelan-pelan berjalan
menjauh meninggalkan sepasang ayah dan anak baru.
"Mikail, ayo kita pulang. Ayah
gendong sambil lari ya... satu dua tiii...gaaa..." aku berlari sambil
membawa anakku di punggung. Ya Tuhan, kenapa rasa luar biasa ini hanya Kau
titipkan padaku sebentar saja? Apakah kalau aku bertaubat Kau akan
memperpanjang masa berlaku rasa bahagia ini?
"Ayaaah stooooop... stooop."
Mikail menepuk-nepuk punggungku.
Spontan aku mengerem laju lariku,
"kenapa?"
"Alat lukis ayah
ketinggalan."
Aku menepuk keningku sendiri, "Oh
iya, lupa, ayo kita ambil. Tapi sekarang kamu yang gendong ayah."
Mikail terdiam mencerna kata-kataku,
"Ha ha ha... ayah bercanda, sayang."
“Aku ingin jadi seperti ayah.” Lagi-lagi tiba-tiba.
“Kamu berhak jadi lebih baik, Nak.”
pict : weheartit
Comments
Post a Comment