Gelombang!


Impian, kata orang harus dikejar. Namun kadang harus dialihkan untuk sesuatu yang lebih besar.

Gelombang, melihat ibunya duduk di kursi teras rumah, membuka sebuah album foto usang yang diambilnya dari bawah meja. Dibuka, lalu tak berapa lama berhenti, tangan ibunya menahan di satu sisi. Matanya seperti betah berlama-lama melihat sebuah pose pada lembaran itu. Tangan  ibu menyapu segaris senyum yang tersungging di sana.Bungah, dan Gelombang tahu foto siapa yang sedang dilihat ibu.

"Ayah lagi?" Gelombang menyentuh pundak ibunya, memijit perlahan-lahan. 

Perempuan yang tidak lagi muda itu menyambut tangan anaknya lalu menciumnya, "selalu."

"Bu," Gelombang berjalan memutar, duduk begitu saja di lantai, menyandarkan kepala di lutut ibunya. Dia sudah berusia dua lima tapi baginya tidak ada batasan waktu bagi anak yang ingin menunjukkan rasa cinta pada orang tua, "Sudah lima belas tahun, bu. Ibu tidak berniat..."

"Menikah lagi?" Ibu terlihat gemas lalu mencubit pipi anaknya, "Tidak, El. Hanya ada satu nama lelaki di hati ibu dan itu sudah diisi oleh ayahmu. Kamu harus tahu bahwa ayahmu luar biasa. Ibu tidak berlebihan."

Lalu mengalir lagi cerita itu, cerita tentang ayah yang selalu didengarnya setiap kali ibu teringat pada ayah. Tidak peduli pagi, siang, sore atau jelang tidur, setiap ibu teringat pada ayah, ia akan menyendiri, melihat-lihat foto seperti sekarang, atau mendengarkan rekaman suara ayah.

"Ibu jatuh cinta pada suara ayahmu. Sejak pertama kali ibu mendengar suaranya di radio, ibu tahu, pasti ia adalah seorang lelaki yang baik hati." Lalu untuk menanggapi ibunya, Gelombang bertanya, pertanyaan yang diulang-ulang dan sebuah jawaban yang kurang lebih sama. 

"Dari suara? Kok bisa?"

"Suara ayahmu itu..." Ibu diam sebentar memejamkan mata berusaha mengundang suara itu lagi, "hangat, bersahabat, ia seperti khusus berbicara pada ibu. Ia menemani ibu mengerjakan tugas kampus, menghibur saat ibu susah, membantu ibu menyelesaikan masak." Gelombang, hanya tertawa kecil, sebegitunyakah?

"Lalu bagaimana cara ibu bertemu ayah?" 

"Ini cerita yang seru," Wajah Gelombang tetap antusias, meskipun tentu saja ia sudah mendengar cerita ini berulang kali.

"Ceritanya, siang itu ibu dan teman-teman kampus berniat  untuk datang ke radio tempat ayahmu bekerja. Ibu sudah menyiapkan sebuah kado, isinya gelas. Waktu itu di pikiran ibu hanya satu, ayahmu yang terus-terusan bicara pasti haus, dan ibu ingin setiap kali haus ia meminum air dari gelas yang ibu beri."

"Wahh... romantis."

"Setelah ibu pikir-pikir, itu memalukan, ibu kelihatan sangat obsesif. Untung tidak jadi." Gelombang dan ibunya tertawa .

"Kenapa, tidak jadi?"

"Ya, ibu hanya bisa berencana dan Allah yang menentukan jalannya. Alhamdulillah jalannya lebih baik."

"Ibu, jangan bikin El penasaran."

Ibu, menyentuh hidung anaknya memintanya sabar, entahlah ia selalu merasa menggebu-gebu setiap bercerita tentang hal ini, ia butuh waktu untuk mengatur ritme jatungnya sendiri. Setelah menarik nafas dan menghembuskannya, ia melanjutkan cerita, "Saat ibu sudah dandan rapi, sudah cantik dari kepala sampai kaki, tiba-tiba nenekmu memanggil. 'Rubii... antarkan ibu ke dokter, ibu meriang.' Begitu kata nenekmu."

Gelombang mengangguk-angguk, "Mendengar nenekmu sakit, ibu langsung lupakan rencana ibu datang ke radio tempat ayahmu. Ibu pikir, nenekmu lebih berhak atas ibu daripada orang yang tidak pernah ibu kenal sama sekali. Maka ibu bergegas menghampiri nenekmu dan mengantarnya ke dokter terdekat. Di sanalah takdir Allah terjadi. Nenekmu demam tinggi, ibu benar-benar tidak tega, inginnya langsung masuk tanpa mengambil nomor antrian, tapi tidak bisa, ibu harus tetap ambil nomor sesuai prosedur. Setelah membimbing nenekmu duduk, ibu ambil nomor, saat berbalik dari ambil nomor terlihat seseorang sedang mengajak nenekmu bercakap-cakap. Siapa?"

"Ayah?"

"El, jangan ditebak." Ibu terlihat pura-pura kesal, "Tapi, ya, dialah yang dipilihkan Allah jadi ayahmu."

"Ayah tidak siaran?"

"Ia ke dokter karena sedang batuk. Dan benarkan tebakan ibu bahwa dia orang yang baik, mengetahui nenekmu demam, ia lantas merelakan bertukar nomor dengan ibu agar nenek diperiksa duluan."

"Kalau ibu datang ke radio, berarti ibu malah tidak bertemu ayah?"

"Ibu tidak mau menebak-nebak, tapi kalau memang jodoh, kemanapun kita pergi pasti bertemu." Gelombang tersenyum mendengar kalimat terakhir ibunya.

"Bu," kali ini Gelombang berlutut, ia mengambil album foto dari tangan ibunya lalu meletakkannya di atas meja. Sekarang, ia menggenggam tangan ibu dan mendongak mencari bening mata seseorang yang sangat ia cinta "Ibu, ingin aku jadi penyiar seperti ayah?"

Ibunya terlihat menelan ludah. Ia membalas tatapan teduh anaknya sungguh-sungguh. Sebenarnya dari lubuk hati yang paling dalam, ia ingin sekali anaknya jadi penyiar radio. Menghibur orang-orang kesepian. Membuat perjalanan yang macet jadi menyenangkan. Menyuntikkan semangat dengan candaan dan menambah ilmu dengan informasi-informasi. Itu sudah dikomunikasikannya. Tapi sejak dulu, anaknya yang pandai ini ingin jadi seorang guru. Ia ingin mendidik anak-anak, mengajarkannya bahasa, membimbing mereka merangkai kata-kata dari semesta. Ibunya pun sadar jadi guru adalah cita-cita mulia, pahalanya mengalir sampai akhir. Maka ibunya menggenggam balik tangan Gelombang. Tangan kanannya membelai rambut hitam anak itu, "Jadilah apapun yang kamu mau, El, asal berkah, asal Allah ridha, asal bermanfaat. Ibu tidak mau memaksamu untuk menjalani hal yang tidak kamu suka."

Gelombang tersenyum kecil, diciumnya tangan ibu, tangan berbau rempah yang selalu ia rindukan saat jauh, "InsyaAllah El jadi penyiar saja bu."

"Loh? El?" Ibunya keheranan, dahinya berkerut.

"Bukankah kata ibu, bila jodoh, kemanapun perginya akan bertemu?"

Ibunya semakin bingung, ia nampak berfikir, dan senyum jail Gelombang membuatnya  merangkaikan sesuatu, "Oh jadi, kamu mau jadi guru karena..."

"Bukan karena siapa-siapa bu," kata Gelombang sambil berdiri, lalu lari menghindari ibu yang sudah siap mengejarnya.

"Eh, ayo cerita... El... !!!" Ibunya berteriak dari depan pintu, memanggil Gelombang yang sudah melesat ke dalam, "El, kita bertukar cerita tentang sejarah namamu."

"Tentang kenapa Ayah lebih memilih nama Gelombang dari pada Frekuensi?" Gelombang menyumbulkan kepalanya dari balik pintu kamar.

Ibunya mengangguk.

pict : here

Comments