Kenapa Cinta Harus Sebegitu Begininya?



Seorang pendengar datang siang ini. Sebenarnya dia adalah pendengar yang sudah terkenal namanya di kalangan kru radio. Sebut saja namanya mbak Jeng. Mbak Jeng adalah seorang pendengar yang begitu ngefans nya dengan salah satu penyiar. Tiap lebaran dia datang bersilaturahmi untuk bertemu dengan mas penyiar yang sayangnya sudah resign. Saya lupa-lupa ingat pernah bertemu atau belum, tapi yang jelas saya belum pernah ngobrol. Dan hari ini saya ngobrol lumayan panjang.

Mendengar cerita dari kakaknya yang tadi turut serta membuat saya geleng-geleng. Cinta oh cinta, kenapa kamu harus sebegitu begininya?

Dia naksir teman saya hanya dari mendengar suaranya saja. Di tahun 2010 ia ikut acara ke Bandung, bertemu langsung dengan teman saya tapi tidak ada interaksi apa-apa, dan begitu sampai Jogja, mbak Jeng ini mengutarakan perasaannya, yang sayang sekali bertepuk sebelah tangan karena teman saya mengaku sudah ada yang punya.

Namun mbak Jeng tak berhenti berharap. Ia memupuk harapannya, menyiraminya dengan air tiap waktu hingga pohon itu tumbuh rimbun bahkan mungkin berbuah. Harapan yang berbuah tersebut ternyata tak kunjung dipetik oleh yang diharapkan hingga membusuk dan jatuh begitu saja ke tanah. Di makan cacing. Mbak Jeng sakit. Kecewa. Harapannya terhempas bersama angin yang bertiup ke selatan. Tapi dia ingin memastikan sekali lagi, hingga akhirnya lebaran ini dia datang lagi, bertanyata lagi tentang teman saya. Yang saya jawab, "Maaf, saya tidak terlalu kenal, saya tidak tahu banyak hal tentang dia." Namun satu hal yang saya tahu, dan tidak saya katakan adalah bahwa dia belum menikah.

Bagaimana saya tega mengatakan yang sebenarnya, kalau saat itu mbak Jeng, menatap saya sambil bilang, " Dia sudah nikah ya?" Ada gurat kecewa, tapi itu bisa membuatnya berhenti berharap kan?

Saya hanya tersenyum, menanyainya hal lain, hal lain yang tidak harus membuat saya bohong dengan berkata iya, atau jujur dengan berkata tidak namun membangkitkan harapan-harapan racun itu lagi. 

Saya tahu teman saya, mungkin hanya keajaiban yang bisa membuatnya melamar si mbak Jeng, dan nyatanya sampai sekarang keajaiban itu belum datang juga. Mbak Jeng sampai menolak beberapa lamaran demi menunggu lamaran dari teman saya yang hampir tidak mungkin terwujud nyata. Orang tuanya sampai sakit melihat mbak Jeng menumbuhkan harapan yang kian hari kian tidak realistis.

Maaf mbak Jeng saya tidak bisa membantu... saya hanya bisa mendengarkan sambil meyakinkan bahwa dia bukan yang terbaik, beranjaklah ke hati yang lain, yang terbuka lebar dan siap menghangatkan.

Terimakasih mbak Jeng, saya belajar untuk mematikan tombol harap pada manusia, dan menghidupkannya hanya untuk Allah saja. 

Comments