Mendewasakan Rasa



Siang tadi saya blog walking, dan menemukan tulisan menarik milik teman. Katanya laki-laki itu ceroboh, mereka ceroboh dalam menebar harapan, menaruh hati di segala penjuru. Saya tersenyum membacanya, tentu saja saya tidak berhak menghakimi laki-laki karena saya bukan lelaki dan saya tidak tahu bagaimana menjadi mereka, namun jika diminta untuk mewakili perempuan mungkin saya bisa. Tidak mewakili sebagian besar tentu saja, bahkan mungkin hanya saya satu-satunya. Jika laki-laki dianggap ceroboh dalam menebar perhatian, maka wanita adalah makhluk yang teledor dalam menerimanya.

Gayung bersambut bukan? Umpan yang disebar itu di tangkap tanpa filter. Kami tidak punya jaring-jaring rasa yang mampu memilah mana perhatian yang tulus, mana perhatian yang dikirim secara berjamaah kepada banyak perempuan. 

Lalu diam-diam perhatian itu dianggap sebagai sesuatu yang serius, sesuatu yang menyemai harap, padahal si laki-laki sudah lupa dengan apa yang dia lakukan. Sekali lagi saya akan menyalahkan perempuan termasuk diri saya sendiri yang kadang menggantungkan logika terlalu tinggi hingga tak tergapai. Mudah jatuh dalam kubangan yang kata orang disebut cinta.

Cinta? Sangkallah sehebat-hebatnya, bahkan jika kau adalah pendebat terulung kau  tidak akan pernah bisa mendebat cinta. Dia datang dari asumsi-asumsi yang dibangun di atas pondasi harapan, mengakar dan menghujam dalam. Dia menyentak,menyeruak walau sudah diinjak. Dan bukannya kapok, semakin diinjak, cinta akan semakin ngelunjak. Maka tidak ada cara lain selain menerimanya. Membiarkannya masuk lewat pintu yang sengaja dibuka, untuk selanjutnya diusir jauh-jauh.

Hei, apa salah cinta? Kenapa harus diusir?

Saya tidak memaksa, tapi tidak semua harapan bermuara pada jawaban yang indah. Anggukan kepala atau persetujuan. Maka untuk menjaga agar hati kita baik-baik saja, ada baiknya kita siaga. Jodoh tidak akan pernah tertukar namun berharap pada yang tidak semestinya, mencinta yang belum tentu jadi miliknya, akan merepotkan perasaan. Maka mari kita dewasa. Terimalah jika cinta itu ada, namun jangan disiram, diberi pupuk, dipandang-pandang setiap waktu. Jangan jadikan ia hiasan yang begitu indah, yang menyedot perhatian kita  setiap waktu, membuat kita lupa ini itu, mengacaukan rotasi kehidupan. Sesuatu yang nampak indah namun tak tepat waktu bisa jadi jelmaan nafsu. Rasa yang dewasa seharusnya mampu membedakan itu.

Yang saya sering takut, jatuh cinta dalam harap-harap tanpa kepastian, membuat kita kering rasa. Menjadi indikasi bahwa selama ini kita sudah begitu kehausan, padahal bukankah cintaNya berlimpah luar biasa. 

Haus cinta dari makhluk, berharap dari makhluk juga menunjukkan bahwa sesungguhnya kwalitas hubungan kita dengan Allah berada di titik nadir, titik yang menyedihkan.

Yah... biaralah cinta datang, syukurilah sebagai hadiah rasa yang menyenangkan, sementara. Setelah itu hentikan, berfokus padaNya, mengemis cintaNya, memohon supaya dimudahkan jadi baik, agar saat Ia hadirkan yang terbaik kita tidak repot menimbang rasa, ragu-ragu untuk memilih pilihanNya atau pilihan kita yang belum tentu memilih kita. Supaya ketika waktunya datang kita tahu bahwa bahtera ini tidak mudah goyah karena semua dilandaskan pada ketaatan pada Allah. Semoga kita punya rasa yang dewasa, yang paham bahwa cinta tidak cukup berhenti di cinta namun juga ridhaNya.

Rabb, jaga hati kami . Jauhkan dari muslihat nafsu yang terbungkus cinta. 


Comments