Sebuah Hari Bernama Bahagia
Pagi, dingin, dan bau tanah sisa hujan merupakan asesoris romantis pagi itu. Tidak nampak matahari, mendung belum juga mau pergi sejak semalam, namun bukan berati hari jadi kelam, hari hanya nampak lebih malu dari biasa. Setelah memastikan bahwa segala peralatan yang dibutuhkan masuk ke dalam tas punggung berwarna kuning coklat yang mulai pudar, saya bergegas memacu motor membelah kota Jogja, dari utara ke selatan, tujuan saya adalah terminal Giwangan, terminal yang kini tak sekadar jadi tempat keluar masuk bus, lebih dari itu, terminal Giwangan adala sebuah terminal kenangan. Di sanalah titik kumpul kami, beberapa kepala asal Jogja, dan kombinasi kepala lain dari luar kota bahkan pulau, Jakarta, Denpasar, Kalimantan. Bukan, kami bukan berkumpul untuk membuat makar, sebaliknya, pagi itu orang-orang dengan variasi usia mulai yang muda hingga yang setengah tua punya niat untuk menularkan inspirasi bagi anak-anak berseragam merah putih di sebuah desa nun jauh di pucuk Jog...