Apabila Dia Memanggilmu
Tato di leher itu tidak bisa menipu, usianya lebih muda dari saya, namun nampaknya ia punya cerita hidup lebih banyak.
Namanya Gebyar Putra Ramadhan, kalau saya bertemu begitu saja dengannya di jalan, mungkin saya akan ketakutan atau setidaknya pikiran saya yang judgemental ini akan mulai menilai dia pasti begini atau dia pasti begitu dari tato yang merambati leher sampai tangannya. Namun untunglah, sore itu saya punya kesempatan untuk berbincang, berenang dalam kehidupannya, dan menyelami makna adanya ia sebagai serangkaian episode kehidupan saya hari itu.
Berbincang dengan Gebyar, membuat saya percaya bahwa ia baik. Sorot matanya, nada suara, serta gesturnya yang malu-malu, agak kurang sinkron dengan tato yang selama ini setahu saya merupakan simbol perlawanan, simbol pemberontakan dan keberanian. Ya, mungkin dulu begitu, tapi pembangkangan Gebyar sudah luluh oleh kasih sayang Allah dan taubat yang panjang.
2006-2007 masa SMP adalah awal pria ini mengenal narkoba, pintu gerbangnya- miras (minuman keras). Awalnya ia hanya minum-minum dengan temannya, namun saat ia merasakan nikmatnya hidup setengah sadar, ia ingin yang lebih, ia mau sesuatu yang bisa membuatnya seolah terbang, tak menjejak tanah dan berenang bebas di udara. Akhirnya dari kawannya yang "baik" ia mendapatkan pil-pil penenang yang dibeli di apotek. Semakin lama dosis yang ia tenggak semakin banyak. Ia semakin sering pulang ke rumah dalam keadaan ambruk dan tak sadar.
Kondisi ini membuat orang tua Gebyar sedih. Mereka pun membawa Gebyar ke panti rehabilitasi. Tidak serta merta tentu saja, karena saat itu Gebyar bilang, ia dibohongi. Ia diajak oleh orang tuanya untuk pergi ke rumah saudaranya di Bandung, di sana pun ia sempat menenggak beberapa pil penenang, dan dalam kondisi tidak sadar, tubuhnya diangkut ke Tasik Malaya, ke sebuah tempat rehabilitasi. Ia merasa kesakitan saat tubuhnya mulai diseret oleh seseorang. Waktu itu ia masih tidak bisa membedakan, apakah ia sedang bermimpi atau dalam kenyataan. Namun, ketika kesadarannya mulai datang, ia merasa, bahwa ia dibuang.
Ia marah pada orang tuanya, ia tidak paham kenapa orang tuanya tega melakukan hal tersebut? Gebyar kabur, dan manisnya, ia malah mendapat refrensi baru seputar obat terlarang. Ganja!
Sekeluar dari tempat rehab, Gebyar semakin menjadi, tidak hanya sebagai pemakai, di usia yang sangat muda itulah ia mulai jadi pengedar, dan mulai merajah tubuhnya.
Entah nasib baik, atau sial, yang jelas kegiatan Gebyar dan teman-temannya diendus oleh BNN.
Sekeluar dari tempat rehab, Gebyar semakin menjadi, tidak hanya sebagai pemakai, di usia yang sangat muda itulah ia mulai jadi pengedar, dan mulai merajah tubuhnya.
Entah nasib baik, atau sial, yang jelas kegiatan Gebyar dan teman-temannya diendus oleh BNN.
Ia dibawa lagi ke panti rehabilitasi, jauh, di luar pulau Jawa, namun lagi dan lagi ia kabur. Sampai pada akhirnya, kedua orang tua Gebyar mendapatkan informasi tentang pondok pesantren khusus pecandu, Ponpes Bidayatusalikin, letaknya tak jauh dari pasar Sleman.
"Sampai di ponpes, apa yang mereka lakukan pada mas Gebyar?" Tanya saya.
"Saya diberi nasihat, diminta mengaji, lalu dilakukan detox dengan disiram air, meski pun saya sangat ingin menggunakan obat lagi, tapi pengurus sama sekali tidak mengijinkan."
"Butuh berapa lama sampai akhirnya mas Gebyar bisa terlepas dari narkoba?"
"6 bulan."
"Ada keinginan untuk pakai lagi mas?"
"Tidak! Bahkan saya sudah tidak mengikuti lagi berita2 yang berhubungan dengan narkoba."
"Apa yang membuat seorang Gebyar saat itu memutuskan untuk berhenti? Nasihat apa yang mengubah Anda?"
"Kematian. Saya diingatkan pada kematian, dan kehidupan setelah mati, sejak saat itu saya merenung."
"Bagaimana perasaannya setelah bisa bebas dari narkoba?"
"Tenang... Saya merasa sangat tenang, saya jadi tahu bahwa Allah begitu dekat dengan hambaNya. Saya jadi tahu bahwa dulu saat orang tua membawa ke panti rehab semata karena mereka sayang. Saya juga menyesal, dulu saat dalam pengaruh obat, tidak sadar sempat memukul ibu dan bapak. Jadi sekarang saya harus berubah lebih baik untuk membahagiakan ibu, karena bapak sudah tidak ada. Saya berhutang pada mereka."
Satu jam bersama Gebyar, membuat saya merenungi beberapa hal.
Beberapa orang mungkin akan menghakimi Gebyar dari penampilannya, label pendosa bisa jadi sangat lekat dengan image Gebyar, tapi siapa yang tahu penilaian Allah padanya? Siapa yang tahu bahwa tangisan malamnya saat menghadap Rabb lebih panjang dan lebih tulus?
Saya, kita, dengan tampilan rapi, manis, menutup aurat mungkin akan mengundang simpati orang, membuat orang berpikir bahwa kita adalah orang baik-baik. Tapi bagaimana penilaian Allah terhadap kita? Apakah Allah sama percayanya terhadap kita sebagaimana orang-orang lain memandang kita? Kita mungkin tidak berbuat dosa terang-terangan, tapi dosa saat sendiri? Dosa dalam hati yang lirih tanpa suara? Begitu mudah kita tergelincir dalam dosa, kalau bukan Allah yang bantu kita menghindar maka kita akan terperosok.
Gebyar juga mengajarkan saya untuk tetap optimis. Selegam apa pun kehidupan kita di masa lalu, percayalah bahwa Allah maha pemaaf. Jangan berhenti dan putus asa. Minta maaf sesering mungkin pada Allah. Saat kita mendekati Allah dengan berjalan maka Ia akan mendekati kita dengan berlari kan?
Semangat selalu, karena kasih sayang Allah lebih luas dari murkaNya.
Terakhir saya jadi teringat oleh nasihat ibu Khairati, jangan hakimi seseorang dari masa lalunya, karena saat Allah berkenan memanggil, memberi hidayah, maka bisa jadi ia lebih kuat (keimanannya) dari kita yang merasa sudah baik.
pict : canva
Comments
Post a Comment