Kami Menikah
Tulisan ini sudah terencana sebelum hari itu tiba, hanya
saja karena satu dan banyak hal saya baru bisa mengunggahnya hari ini.
Kami menikah!
Ahad 10 September 2017 ada dua orang yang dini hari sekali
harus bersiap menuju meja akad. Ada dua orang yang berubah status. Ada dua
orang yang akhirnya secara sah dan meyakinkan diperbolehkan untuk bersalaman
padahal sebelumnya melirik pun ragu.
Menulis ini, ingatan saya tidak bisa tidak, harus kembali ke
masa itu. Saat saya menerima proposalnya, saat saya bertanya ke sana kemari
harus menjawab apa, dan saat saya duduk berdoa di atas sajadah meminta jawaban
dari Nya.
Dia adalah sosok lelaki yang tidak pernah saya kenal.
Seratus persen asing. Kami saling tahu karena dikenalkan oleh teman. Awalnya
tentu saja saya yang mengirimkan biodata, tapi saya tidak pernah tahu bahwa
biodata itu akhirnya jatuh ke tangan seorang pria yang saat ini menjadi suami
saya. Lepas menyerahkan biodata pun saya tidak menunggu, saya bahkan lupa kalau
sempat mengirim biodata sampai akhirnya teman saya mengabarkan bahwa biodata
yang saya kirim itu berjawab.
Pertemuan pertama kami terjadi di rumah, ia yang awalnya
hanya saya lihat lewat foto datang mengenakan batik berwarna marun. Debar itu
ada, sebentar, sebelum dia datang, tapi perasaan saya segera netral saat saya
meyakinkan pada diri sendiri, “Dhita, belum tentu jadi.”
Namun ternyata proses ke depan terasa lebih mudah. Orang tua
kami merestui, dan kami juga merasa tak ada hal-hal yang harus membuat kami
membatalkan niat baik kami.
**
Beberapa teman bertanya, “Kok bisa sih nikah sama orang yang
belum dikenal sama sekali?”
Kami bukan satu-satunya pasangan yang menikah lewat jalan
taaruf, ada banyak sekali pasangan di luar sana yang juga menikah lewat cara
taaruf, bahkan prosesnya lebih cepat.
Saat memutuskan untuk menjawab “Iya” yang saya pertimbangkan
satu, dia lelaki yang baik dan saya percaya mudah bagi saya untuk jatuh hati
pada lelaki baik macam dia.
Setelah saya pikir-pikir mungkin sebenarnya rasa percaya itu
ada karena sesuatu yang disebut jodoh-- secara jiwa sudah Allah kenalkan, hanya
saja raganya baru dipertemukan.
Lantas ada juga teman yang bertanya paska kami menikah,
“Gimana, ada banyak kejutan?”
Hm, pertanyaan bagus. Kalau ditanya apakah pernikahan kami
yang baru seumur jagung ini sesuai ekspektasi, maka saya harus bersyukur
berkali-kali karena jawabannya jauh melebihi ekspektasi.
Saya belum menanyakan
kepada suami apakah pernikahan kami sesuai ekspektasinya atau sebaliknya,
semoga kalau pun meleset tidak jauh-jauh amat ya. Dan perkara kejutan, banyak,
banyak kejutan. Umi Dewi narasuber pra nikah di MQ FM bilang, mengenali
pasangan adalah pekerjaan seumur hidup, menyesuaikan diri dengan amanah-amanah
pernikahan selalu butuh waktu.
Pernikahan kami masih begitu belia, kejutan yang
ada juga baru kejutan-kejutan permulaan. Kami perlu banyak belajar dari siapa
pun untuk menjaga yang baru kami pintal, sekaligus selalu mengingatkan diri
tujuan dari pernikahan kami adalah untuk beribadah pada Allah, maka saat
menikah dan ibadah melemah, tentu kami, kita, perlu bertanya… Sudah
melencengkah niat menikah ini?
Untuk teman-teman yang kemarin datang, untuk siapa pun yang
membaca tulisan ini, kami mohon kirimkan doa terbaik agar pernikahan kami selalu
berjalan dalam naungan kasih Nya, diberkahi, dimudahkan menghadapi segala ujian,
dan dilanggengkan sampai di surgaNya.
Untuk yang kemarin minta didoakan segera menyusul, maka doa
kami-- semoga Allah pertemukan teman-teman dengan jodoh di waktu terbaik,
karena cepat belum tentu tepat. Berapa pun lamanya menunggu, selama diyakini menunggu
kebaikan dengan cara yang baik pula, maka percayalah Allah juga akan memberikan
yang terbaik.
Sleman, 10 Muharam 1439 H
Comments
Post a Comment