Anak Hujan
Jangan suka menebak-nebak!
"Ini kayanya lahir hari Jumat nih!" Kata mbah Kung. Hari Jumat lewat. .
.
"Berarti kalau lahir hari Sabtu wetonnya adalah..." Mbah Kung menebak lagi. Hari Sabtu lewat.
.
.
Tiba-tiba Ahad. Pagi itu sudah buka sepuluh, gara-gara sering menonton prosesi lahiran di youtube, aku optimis bahwa buka sepuluh tandanya tinggal meneran sekali lalu sebongkah raga dengan jiwa di dalamnya akan lahir ke dunia. Memekik keras, lantas membuat kami ikut menangis haru. Saya membayangkan begitu bayi lahir suami akan mengusap kepala, mengecup kening, persis seperti kelahiran anak selebritis yang foto-fotonya instagramable. Mamanya cantik, anaknya yang masih merah diletakkan di dada dan tersenyum menggemaskan, tapi hari itu...
.
.
"Ayo, ayo, sayang, pinter, pinter, terus, ngejennya kaya mau BAB, jangan ditahan di perut, ayoooo... Ini udah kelihatan rambutnya,"
.
.
Nafas habis. Kepala bayi naik lagi.
.
.
"Oke istirahat dulu, nanti begitu mau ngeden lagi bilang ya."
.
.
"Ibunya harus kuat ngedennya. Ayo semangat. Kalau sampai jam 11 belum keluar terpaksa diepisiotomi ya. Aduh, saya sebenernya juga nggak mau, udah lama sekali nggak epis,"kata bu bidan sambil memasang wajah tak rela.
.
.
Epis? Digunting? Aku suka menggunting kertas jadi bunga-bunga, tapi kertas tak punya rasa, sedangkan bagian bawah sana yang terdiri dari otot, daging dan darah bukankah punya rasa?
.
.
"Aku mau e eeeek!"
.
.
Tiga bidan plus ibu dan suami, serentak berdiri, "Siap ya ayo ancang-ancang."
.
.
"Errgghhh...."
"Terus sambung, ayo pinter sayang, ngedennya udah bener!"
"Errrggghhh....." Mulai ngos-ngosan.
"Errrgghhh...." Tenaga makin hilang.
.
.
Mereka duduk lagi. Kasihan melihat mereka yang kelelahan, apalagi semalam tiga bidan ini juga baru saja membantu persalinan, ditambah jabang bayi juga sudah terlalu lama di dalam, akhirnya ku putuskan, "Di epis aja bu. Jangan sakit-sakit ya." Kataku bergurau, mana bisa, jawabku sendiri.
.
.
"Jangan takut rasa sakitnya diepis ya, insyaAllah menjadi penggugur dosa kita semua," alamak... Aku mulai mengingat-ingat, apa hal tersakit dalam hidup yg pernah kualami. Keguguran? Wah itu sudah lewat tadi. Apa ya? Apa ya? Alhamdulillah tidak ketemu. Baik, aku mengatisipasi rasa sakitnya, dan krek... suara gunting itu terdengar merobek sesuatu. Wow...
.
.
Rasanya biasa saja.
.
.
"Aku mau e eek lagiiiiiii!!!" Teriakku.
.
.
Semua bersiap, akupun bersiap, harus, yang ini harus lahir, jangan sampai mundur lagi.
.
.
"Ayo, bismillahirahmanirahim, semangat!"
"Errghh"
"Ayooo, terusin, pinter sayang!" Ruang bersalin ini terasa bagai tempat nobar pertandingan sepak bola, semua termasuk pemain menantikan kapan bola itu bisa menjebol gawang.
"Huf...huf...huf..."
"Istirahat dulu, udah ngganjel banget ya? Itu kepala udah di bawah sayang, udah nggak bisa masuk lagi."
Hah?! Nggak bisa masuk lagi? Oke, ayok!
.
.
Segenap kekuatan itu muncul, bismillah ya Allah.
"Eerrggghhhhhh!!!!!"
"Errrggghhhhh!!!!"
"Errrgghhhh!!!!"
.
.
.
Kamu tahu, detik itu rasanya ingin kuhentikan. Detik itu saat kudengar suara robekan sekali lagi, saat kulihat dengan cekatan para bidan menarik sesuatu dari jalan lahirku, saat suamiku bingung ingin melakukan apa kecuali mengucap hamdalah, saat aku masih tidak percaya bahwa bayi merah yang berenang2 dalam perutku selama 42 minggu telah lahir dan menangis pelan.
.
.
Detik saat dia yang kata suamiku bernama Salim rebah di dadaku. "Ya Allah, aku pengen ngelahirin lagi." Entahlah berapa detik hormon oksitosin itu membuncah, tumpah, yang jelas detik itu aku seperti dibius tapi sadar, atau begini rasanya terbang? Aku lupa rasa sakit kontraksi, aku merasa bahagia saja dijahit tiga, aku tak masalah saat tangan bidan merogoh dan mengorek-ngorek rahimku untuk mengeluarkan sisa-sisa kotoran. Dan begitu dia ada... Hujan turun lebat. MasyaAllah...
.
.
Kalaulah suamiku pujangga tentu anak ini kuberi nama Rintik, atau Hujan, atau Rinai, tapi nama Rinai nampaknya lebih mirip nama kompor gas daripada nama anak orang. Untunglah suamiku bukan pujangga, ia beri nama Salim, yang maknanya ... SELAMAT.
Comments
Post a Comment