Aku membaca lagi surat kusam itu hati-hati. Seharusnya di masa ini aku bisa tersenyum tiap senja di teras rumah, memetik gitar untukmu, merayumu dengan suaraku yang merdu mendayu walau sedikit serak dan menerima secangkir teh panas yang khusus kau siapkan untuk lelaki tua sepertiku. Setelah itu kita duduk berdua, berdampingan, tidak terpisah walau oleh meja kecil di depan rumah. Kita tidak berjarak, lekat. Seperti mentari yang pelan-pelan juga mendekatkan tubuhnya, menenggelamkan diri pada malam yang ikut merapat naik. Berpadu dalam tenang namun diam-diam saling mengaitkan hati. Lalu anak lelaki kita pulang. Mencium takzim kedua tangan kita, masuk sebentar ke dalam rumah. Lalu keluar lagi menceritakan semua yang ia alami seharian. Dengan bersemangat. Sampai pada akhirnya kita melihat wajahnya merona, saat ia menceritakan tentang hatinya yang mungkin sudah berhasil dicuri oleh seorang wanita pemalu, yang hanya bicara bila ada perlu. Lalu pura-pura tidak k...